AKU BERSEMBUNYI DI DALAM TERANG

1
AKU BERSEMBUNYI DI DALAM TERANG
(Sebuah bahan perenungan untuk menemukan dan mengenal hakekat Aku)
Tidak dimaksud untuk keperluan masyarakat umum
Penulis: Noname
Disalin ulang oleh: David Goh
Kata Pengantar
1. Untuk Siapa Buku ini ditulis
2. Sebuah bahan perenungan
3. Pengetahuan Luhur
4. Bagaiman membaca buku ini
5. Cara menyampaikan bahan perenungan
6. Harapan dan Rasa Syukur Penulis
Bab: I. KEBIMBANGAN DAN USAHA SIA-SIA
1. Mencintai dan meraih dunia benda
2. Belajar dan mempelajari
- Mempelajari ilmu pengetahuan
- Mempelajari Filsafat
- Mempelajari ilmu Ketuhanan
- Mempelajari Ilmu Kebathinan
- Mempelajari Ilmu Tenaga Gaib
3. Membenci dan menolak dunia benda
Bab: II. PENELITIAN DAN PERENUNGAN MELALUI PEMUNCAKAN AKAL
1. Ketidak-tahuan (Kebodohan)
2. Kenyataan dan bukan Kenyataan
3. Hakekat :AKU” dan Kenyataan Esa
4. Benar dan Keliru
5. Hubungan saling bergantung dan tata susunan pikiran
2
6. Penderitaan dan Kebahagiaan
7. Hidup dan Mati
8. Jalan Kebangkitan dan usaha Penyelamatan sendiri
9. Siswa, guru, dan ajaran
Bab: III. MENYELAMI SENDIRI PENGETAHUAN LUHUR
1. Kodrat peyelamatan diri
2. Disiplin dan pencapaian peyelamatan diri
3. Buah hasil penyelamatan diri
3
KATA PENGANTAR
1. Untuk siapa buku ini ditulis
Tiada seorangpun akan memerlukan buku ini, jikalau tidak karena mereka
yang merasa hidup tercekam oleh penderitaan didalam kehidupan duniawi ini.
Dan lagi, tiada seorangpun akan memerlukan buku ini, jikalau tidak karena
mereka yang hampir-hampir berputus-asa oleh sebab kegagalan usahanya yang
bersungguh-sungguh didalam menemukan Kebenaran dan Kenyataan yang
sungguh memberikan pembebasan kepada mereka dari beban penderitaan
mereka.
Untuk mereka itulah buku ini saya tulis, yaitu untuk mereka yang bertanya dan
mencari dengan kesungguhan hati untuk dapat ”menemukan” jalan pembebadan
dari penderitaan.
Buku ini akan membantu mereka didalam memberikan jawaban atas apa
yang sesungguhnya mereka tanyakan, dan memberikan petunjuk dan
penerangan atas apa yang sesungguhnya mereka cari dan mereka perlukan.
Buku ini bukan saya tulis untuk keperluan masyarakat umum yang tidak
bertanya akan mencari Kebenaran dan Kenyataan; dan buku ini juga bukan saya
tulis untuk mereka yang merasa dirinya telah mengetahui dan mengenali akan
kebenaran dan kenyataan. Bagi mereka dari kedua golongan yang saya sebut
terakhir ini, kiranya terbitnya buku ini tidak perlu menimbulkan kehebohan dan
perdebatan yang tidak membawakan manfaat.
Dan, barangkali adalah terlebih baik bagi mereka, jikalau buku ini
dikesampingkan saja, atau bahkan, dibuang saja, jikalau dipandang perlu,
daripada hanya akan menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran dengan sia-sia
untuk berdebat dan bersilat lidah.
4
2. Sebuah bahan perenungan
Inilah sebuah buku bahan perenungan!
Buku ini saya tulis hanyalah sebagai bahan perenungan semata-mata, dan bukan
merupakan buku pelajaran (text book) yang akan memberikan pelajaran tentang
sesuatu ilmu, falsafat, credo, ataupun kepercayaan agama, Tidak!
Buku ini hanyalah merupakan perwujudan dari pengutaraan pikiran
semata-mata, yang tidak membawakan maksud, tujuan, cita-cita, ataupun
keinginan untuk mengikat dan memaksakan seseorang untuk mau menerima
dan mempercayainya.
Buku ini hanyalah merupakan suatu daya upaya untuk melukiskan dan
menggambarkan tentang hakekat Kebenaran dan kenyataan kepada para
penanya dan pencari, yang tentunya buku ini bukanlah kebenaran dan
kenyataan itu sendiri.
Kebenaran dan kenyataan itu sendiri tidak dapat ditemukan di dalam buku ini!
Sebagai sebuah buku bahan perenungan, maka buku ini adalah bagaikan
jari tangan yang menunjuk, kearah mana para penanya dan pencari itu harus
melihat dan menemukan sendiri kebenaran dan kenyataan itu. Dan jangan
sampai keliru dengan menganggap, bahwa jari tangan yang menunjuk itu adalah
Kebenaran dan Kenyataan yang ditunjukkan itu sendiri.
3. Pengetahuan-luhur
Buku ini akan menerangkan kepada para penanya dan pencari, mengenai
Pengetahuan Luhur, yaitu Kebijaksanaan Luhur atau Keinsyafan Luhur; suatu
Keinsyafan ilahiah yang tidak dapat dicapai melalui pikiran-berpikir (thinking
mind) dan kecerdasan akal pikiran (intellectual mind).
Pengetahuan Luhur didalam wujudnya sebagai suatu keinsyafan ilahiah
tidak dapat ditemukan didalam dunia luar (external world), melainkan hanya
dapat diselami sendiri atau direalisasi sendiri (self realized) didalam lubuk
kesadaran yang paling dalam dan terahasiah.
5
Pengetahuan Luhur adalah ”Keadaan” Esa yang menjadi ”awal” dan ”akhir”
segala hal, dan sebagai ”tempat” yang membawakan kodrat (kuasa) untuk
menghapuskan semua bentuk kebodohan, kesalahan, dan penderitaan manusia.
Pengetahuan Luhur, itu hanya da[at dicapai oleh seseorang anak manusia
sekarang dan disini, didalam keadaan hidup bertubuh ini, jikalau saja ia tahu dan
menurut akan ”hukum” Pengetahuan Luhur, yaitu ”Hukum” ke-esaan.
Oleh karena itu, maka mengerti dengan cara yang benar akan ”hukum” itu akan
merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk mempersiapakan diri
didalam menyelami kodrat Pengetahuan Luhur
4. Bagaimana Membaca Buku Ini.
Sudah dijelaskan, bahwa Pengetahuan Luhur itu adalah Keinsyafan Ilahiah
yang tidak dapat ditemukan didalam dunia luar, melainkan hanya dapat
diselami sendiri oleh seseorang anak manusia didalam lubuk kesadarannya
yang paling dalam dan terrahasia.
Ini berarti, bahwa didunia luar tidak terdapat “contoh” yang dapat menyamai
Pengetahuan Luhur.
Buku bahan perenungan mengenai Pengetahuan Luhur ini disampaikan
kepada para penanya dan pencari melalui pernyataan kata-kata yang sudah
diberikan arti-arti tertentu, dimana kata-kata itu sendiri didalam kodratnya
adalah merupakan bagian daripada dunia luar sama seperti halnya bendabenda
dan obyek-obyek lahiriah lainnya.
Karena demikian, maka dengan kata-kata yang berkodrat dunia luar itu
seseorang tidak akan dapat mencapai Pengetahuan Luhur yang bukan
berkodrat dunia luar.
Oleh karena itu, maka didalam membaca buku bahan perenungan ini
hendaknya para penanya dan pencari tidak melibatkan diri dalam
menganalisa Pengetahuan Luhur melalui pengertian harfiah daripada katakata
yang digunakan.
6
Sambil membaca apa yang tersurat didalam buku bahan perenungan ini,
hendaknya para penanya dan pencari berusaha untuk berpikir sendiri dan
merenungkan sendiri akan maksud dan artinya yang terkandung didalamnya,
sehingga maknanya yang sejati dapat ditembusi dan terlihat dengan terang.
Membaca dengan teliti dan berulang-ulang, sambil menggunakan dan
memuncakkan akal sehat yang bebas, akan sangat membantu para penanya
dan pencari untuk dapat menyelami makna yang sejati, yang tersembunyi di
balik kata-kata yang dipergunakan didalam buku ini.
Ada satu hal yang sangat penting, yang perlu diketahui oleh para penanya
dan pencari, jikalau ia ingin berhasil menyelami maknanya yang sejati
daripada apa yang disuratkan didalam buku bahan perenungan ini! Yaitu,
hendaknya para penanya dan pencari tidak berbekal dengan konsepsikonsepsi,
pendapat-pendapat, faham-faham, dan kepercayaan-kepercayaan
yang bukan berasal dari pemikiran sendiri (yang mungkin telah menjadi
kebiasaan yang berurat dan berakar turun temurun dari sejak zaman nenek
moyang), untuk dipertentangkan dengan bahan perenungan ini.
Untuk sementara lepaskanlah itu semua dari ingatan, dan mulailah untuk
berpikir sendiri yang sehat dan bebas tanpa prasangka, dan hanya akan
berusaha untuk mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh penulis bahan
perenungan ini dengan tidak disertai “pro” atau “kontra” lebih dahulu. Sebab,
pro dan kontra (setuju atau tidak setuju), tanpa mengerti dengan sungguhsungguh
lebih dahulu, itu adalah menyesatkan.
5. Cara menyampaikan bahan perenungan
Cara (methode) yang dipergunakan didalam menyampaikan bahan
perenungan ini kepada para penanya dan pencari adalah cara Tanya jawab
(dialogue) dengan mempergunakan kata-kata sehari-hari yang mudah
dimengerti dan yang mudah dikenal.
Methode Tanya jawab ini mengarahkan kepada manfaat ganda bagi para
penanya dan pencari Kebenaran fan Kenyataan, yaitu:
7
Ke-1.
Kepada para penanya dan pencari diberikan kebebasan untuk menyatakan
pikiran dan pengalamannya sendiri secara terus terang dan terbuka, dan
diberikan kesempatan untuk menanyakan apa saja yang ditanyakan oleh para
penanya dan pencari, tidak diberikan jawabanya secara langsung, melainkan
kepadanya justru diajukan pertanyaan-pertanyaan kembali, sedemikian rupa,
sehingga dari jawabannya sendiri itu, maka para penanya dan pencari akan
memperoleh jawaban yang pasti dan meyakinkan atas apa yang ditanyakannya.
Dengan cara demikian, maka apa yang di tanyakannya, akan di jawabnya sendiri
secara tidak langsung.
Cara ini adalah suatu cara untuk melatih para penanya dan pencari untuk
berpikir sendiri dengan akal yang sehat dan bebas, dan tidak biasa menyerah
dan percaya begitu saja atas segala bentuk ajaran dan pendirian yang
disampaikan oleh orang lain.
Ke-2.
Dengan pertanyaan-pertanyaan kembali yang diajukan kepada para penanya dan
pencari itu, maka mereka akan dapat mencapai pengertian-pengertian yang
diusahakan dan digalinya sendiri, dan perlahan-lahan akan “ditarik” keatas
sampai dapat mencapai pengertian-pengertian yang lebih luhur, dan yang
akhirnya akan dapat menemukannya sendiri apa yang sebetulnya mereka cari
dan mereka perlukan.
Cara ini adalah cara untuk memupuk kepercayaan pada diri sendiri, disamping
memupuk kebiasaan untuk menghindar dari kepercayaan yang membuta tulikan
dan bersifat takhayul.
6. Harapan dan rasa syukur penulis
Buah hasil yang akan dicapai oleh para penanya dan pencari dari buku
bahan perenungan ini adalah pengertian benar, yaitu pengertian yang diperoleh
karena berpikir sendiri secara bebas melalui akal sehat yang dipuncakkan.
8
Dengan pengertian benar itu, saya berharap para penanya dan pencari
Kebenaran dan Kenyataan akan mempunyai keyakinan yang mantap dan tekad
yang kuat untuk merealisasi sendiri denga suka rela kodrat Pengetahuan Luhur
yang bersemayam didalam lubuk kesadarannya yang paling dalam dan teramat
rahasia.
Sebagai akhir kata pengantar ini, saya menyatakan rasa syukur dan
terimakasih saya yang sedalam-dalamnya kepada semua kawan-kawan baik saya
yang rasanya tak mungkin dapat saya sebutkan namanya satu demi satu, yaitu
kawan-kawan baik yang telah bersedia mengorbankan apa saja yang ada pada
mereka untuk dapat mewujudkan terbitnya buku bahan perenungan ini,,
sehingga pada akhirnya bisa sampai di tangan para penanya dan pencari
kebenaran dan kenyataan yang bersungguh-sungguh hati.
Berbahagialah mereka yang mempunyai cukup kekuatan kemauan untuk
merealisasikan sendiri kodrat kenyataan pengetahuan luhur, karena disitulah
“tempat” kebahagiaan melimpah-limpah tanpa kekurangan apapun, dimana
segala kesalahan, kekuarangan, cacat cela, dan penderitaan manusia terhapus.
S E M O G A ! ! !
9
BAB I
KEBIMBANGAN DAN USAHA SIA-SIA
Demikian inilah yang kudenger sendiri!
Suatu percakapan asyik dan bersungguh-sungguh, didalam nada dan gaya
persaudaraan yang sangat akrab, bebas, dan bersahabat telah terjadi diantara
dua orang.
Tampaknya, mereka sedang mempercakapkan tentang Pengetahuan Luhur, yaitu
Kebenaran dan Kenyataan yang tidak dapat dijangkau oleh kecerdasan pikir
berpikir dan para pujangga.
Seorang diantaranya, menilik akan corak dan caranya ia berbicara, tampaknya ia
sangat jauh lebih muda didalam pengetahuan dan pengalamannya dibidang
kerohanian, dibandingkan dengan seorang yang lain.
Terdenger ia memanggil kepada yang lebih tua daripadanya itu dengan sebutan
”Bapa” sedangkan yang lebih tua itu memanggil ”Ananda” kepada yang muda.
Rupanya, banyak hal yang telah mereka percakapkan sebelumnya, namun yang
sangat jelas terdengar dari apa yang mereka percakapkan itu adalah demikian:
I. MENCINTAI DAN MERAIH DUNIA BENDA
1. Bapa:
Ananda, dengan sesungguhnya aku berkata kepadamu, bahwa engkau
dan aku ini sebetulnya adalah satu waris, dan satu keturunan, yaitu waris dan
keturunan darah suci dan darah luhur yang sama. Oleh karena itu, Ananda,
diantara engkau dan aku ini, tidak terdapat jurang perpisahan dan perbedaan.
Pergaulan kita ini, Ananda, seharusnya berlandaskan kebebasan dan
kesamaan; saling hormat menghormati, saling harga menghargai, dan saling
bantu membantu didalam mengenapkan dan menyempurnakan tugas kewajiban
kita masing-masing, yaitu tugas kewajiban yang telah diserahkan kepada kita
masing-masing oleh pewaris kita yang sama itu. Maka karena itu, Ananda,
10
cobalah engkau sekarang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk berbicara
spontan, wajar, dan terus terang kepadaku, supaya aku dapat lebih mudah
membantumu!
Bukalah hatimu, Ananda, jangan ada lagi yang harus kau rahasiakan,
walau hanya setitik!
Ketahuilah, Ananda, bahwa keagungan dan kebenaran para suci dan para
sempurna dari segala zaman, baik dahulu, sekarang, maupun yang akan dating,
adalah justru terletak didalam wujud kesederhanaan, kewajaran, keterbukaan,
dan keterus terangan mereka.
Marilah, Ananda, teruskan cerita lelakon hidupmu itu dengan spontan, wajar,
terus terang kepadaku!
2. Ananda:
Aduh, Bapa……!
(terdengerlah isak tangis Ananda, yang rupanya hatinya terharu dan kagum,
karena mendengar perkataan nasehat Bapa yang begitu lemah lembut dan
sabar…. Dan kemudian berkatalah ia pelahan-lahan kepada Bapa demikian)
Bapa, aku merasa bersalah! Hatiku terharu, dan kagum mendenger
perkataan nasehat Bapa yang begitu lemah lembut mengena itu.
Rasanya Bapa telah dapat membaca dan mengetahui seluruh isi hatiku,
bahwasanya aku ini adalah pembohong dan penipu diri sendiri dan suka
menyimpan rahasia kebodohan dan kedunguan, sambil berlagak pinter dan bijak
untuk menyombongkan kehormatan dan harga diri sendiri.
Bapa, maafkanlah daku!
3, Bapa:
Hah, sudahlah, Ananda, lupakan itu semua!
Tenangkan hatimu, duduklah yang baik, dan teruskanlah cerita tentang lelakon
hidupmu!
11
4. Ananda:
Bapa, dengan terus terang aku katakan kepada Bapa, bahwa saat ini
hatiku bimbang, ragu, dan takut menghadapi dunia keadaan dan dunia benda
ini.
Kebimbangan, keraguan, dan ketakutanku itulah Bapa yang menyebabkan aku
sekarang jadi menderita!
5. Bapa:
Mengapa engkau harus takut kepada dunia benda ini, Ananda?
Engkau telah takut kepada sesuatu yang tidak seharusnya engkau takuti! Apanya
yang kau takuti, Ananda?
6. Ananda:
Didalam kehidupan dunia ini aku menghendaki kepuasan dan
kebahagiaan, Bapa, Artinya, aku menghendaki cukup sandang, cukup pangan,
cukup tempat tinggal, cukup sehat, cukup terpandang didalam pergaulan, dan
cukup akan alat-alat kesenangan dan hiburan.
Tetapi, apa yang aku kehendaki itu, Bapa, selalu tidak dapat memberikan
kepuasan dengan tetap kepadaku.
Sebagai contoh misalnya, kali ini aku menginginkan sebuah baju, dan atas
usahaku, baju itu telah dapat ku peroleh.
Untuk sementara waktu, memang baju itu dapat memberikan kepuasan
kepadaku. Namun sesudah itu, baju itu tidak dapat lagi memberikan kepuasan
kepadaku, karena ia ternyata telah berubah menjadi lusuh, tua, sehingga
membosankan daku. Lalu inginlah aku akan baju yang lain.
Maka demikian itu pulalah sifatnya baju yang lain itu! Ia segera berubah, dan
menyebabkan aku menjadi bosan lagi.
Seperti itu pulalah halnya dengan kebutuhan-kebutuhanku yang lain.
Pangan, tempat tinggal, kesehatan, pergaulan, dan alat-alat hiburan, kesemunya
12
itu selalu serba berubah, sehingga tidak lagi mampu memberikan kepuasan dan
kesenangan kepadaku dengan tetap.
Pendek kata, Bapa, dunia benda ini ternyata tidak bersedia memberikan
kepuasan dan kesenangan kepadaku dengan tetap, karena sifatnya yang selalu
bergerak dan berubah.
Celakalah aku ini, Bapa!
Disatu pihak, aku membutuhkan dan menginginkan benda-benda didunia ini
untuk dapat memenuhi kesenangan dan kepuasanku untuk hidup, dan rasanya
ingin aku mempertahankannya supaya ia tetap memberikan kesenangan dan
kepuasan itu tidak dapat aku pertahankan dengan tetap, karena benda-benda itu
segera berubah dengan serta merta.
Aku takut kehilangan kesenangan dan kepuasan akan benda-benda di dunia ini,
namun benda-benda itu telah memaksa aku dengan cara diam-diam untuk
melenyapkan kesenangan dan kepuasanku.
Aku bimbang, ragu, dan takut menghadapi dunia benda ini, Bapa,
sehingga aku menjadi menderita karenanya.
Banyak hal telah kucoba untuk menghentikan penderitaanku ini, namun rasanya
segala usahaku itu telah gagal dan sia-sia belaka.
Itulah sebabnya, mengapa sekarang ini aku datang kepada Bapa untuk bertanya
dan mencari akan jalan keluarnya.
Tolonglah, Bapa, limpahkanlah belas kasihan dan kasih sayangmu kepadaku, dan
tunjukkanlah kepadaku akan jalan keluar yang dapat menghentikan
penderitaanku ini!
7. Bapa:
Baik, baik, Ananda, Baik!
Cobalah sekarang pusatkan perhatianmu, bahwa pada saat ini hatimu bimbang,
ragu, dan takut menghadapi dunia keadaan atau dunia benda ini. Dan lagi,
engkau telah menyatakan, bahwa banyak hal telah kau coba untuk
menghentikan penderitaanmu, namun segala usahamu telah gagal dan sia-sia.
13
Nah, sekarang coba terangkan kepadaku, Ananda, apakah yang pertamatama
telah kau coba untuk menghentikan penderitaanmu itu?
8. Ananda:
Bapa, sebagai seorang manusia biasa yang hidup di dalama dunia
keadaan ini, maka rasanya sudah selayaknya, jikalau aku harus berpikir, berbuat,
dan berusaha untuk memperoleh benda-benda guna mempertahankan hidup di
dunia ini. Barangkali hal seperti ini adalah merupakan hal yang sudah jamak dan
lumrah, karena faktanya, benda-benda memang sangat diperlukan didalam
kehidupan ini.
Begitulah didalam perjalanan hidupku ini, ada saatnya dimana aku telah
meyakinkan diriku sendiri, bahwa dunia benda ini adalah tempatku hidup, dan
adalah satu-satunya yang dapat memberikan kepuasan dan kebahagiaan
kepadaku.
Mulailah aku mencintai dunia benda ini dengan penuh gairah dan
semangat, dan benda-benda sebanyak-banyaknya, dengan suatu harapan,
supaya didalam hidup ini aku tidak menderita sengsara.
Siang dan malam, tiada henti-hentinya aku berpikir dan bekerja dengan tiada
menghitung-hitung lagi akan waktu, tempat, dan keadaan tenagaku untuk dapat
meraih benda-benda yang sangat menggairahkan hatiku itu.
Bagaikan seorang pejaka yang gandrung dan jatuh cinta kepada seorang gadis
cantik jelita, maka begitu itu pulalah halnya aku menjadi gandrung dan jatuh
cinta kepada dunia benda ini.
Dengan nafsuku yang bergejolak, mulailah aku meraih-raih, meraba-raba,
mencumbu, dan merayu-rayu dunia benda ini, dengan penuh harapan, kiranya
dunia benda, sang kekasih ini, dapat aku miliki secara pasti dan tetap, sehingga
ia sudi memberi kepuasan dan kebahagiaan kepadaku.
Tiba-tiba terperanjatlah aku, Bapa!
Bagaikan bertepuk sebelah tangan! Cintaku kepada dunia benda ini tiada
terbalas, karena ia memudar, dan meninggalkan aku dengan diam-diam!
14
Ternyata, Bapa, dunia benda yang sangat aku gandrungi dan aku cintai itu tidak
lain hanyalah penipu dan pemerdaya manusia belaka.
Wataknya selalu bergerak berubah, susah dipegang dengan tetap, dan tidak
sanggup diam, walau hanya sekejab.
Tetapi, Bapa, meskipun aku sudah mengetahui, bahwa dunia benda ini
adalah penipu dan pemerdaya manusia, mengapa aku ini masih bersikeras untuk
tetap mencintainya dan tak sanggup melupakannya?
9. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa dunia benda ini adalah penipu
dan pemerdaya manusia, karena waktaknya yang selalu bergerak berubah,
susah di pengang dengan tetap, dan tidak sanggup diam, walau hanya sekejab.
Meskipun demikian, demikian katamu, engkau masih tetap bersikeras untuk
tetap mencintainya dan tak sanggup melupakannya. Dalam keadaan yang
demikian itu, lalu apa yang telah kau lakukan Ananda?
10. Ananda:
Pada waktu aku berada dalam keadaan seperti itu, Bapa, maka pada
waktu itu pernah terlintas didalam pikiranku suatu pemikiran demikian:
”seandainya aku dapat mengetahui dari manakah ”ASALNYA” dunia benda ini,
dan seandainya aku dapat mengetahui akan ”RAHASIA” kelemahan dan
kekuatannya, maka akan mungkin sekali aku dapat menudukkan dan
menjinakkan dunia benda ini, sehingga mau tak mau ia akan bersedia untuk
memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepadaku secara tetap dan pasti!”
Dan pada waktu itu terpikir pula suatu pertanyaan didalam pikiranku
demikian:
“Tetapi, bagaimanakah caranya untuk dapat mengetahui akan asal mula dan
rahasia dunia benda ini?
Ooo..., inilah jawabanya, pikirku:
Aku harus bertanya, dan belajar lebih dahulu kepada seorang guru!”
15
Maka setelah jawab itu membuat pikiranku mantap, bertekadlah aku
mencari seorang guru untuk maksud belajar kepadanya.
2. BELAJAR DAN MEMPELAJARI
11. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa untuk dapat mengetahui akan
asal mula dan rahasianya dunia benda ini, maka engkau harus belajar kepada
seoarang guru.
Coba terangkanlah kepadaku, apakah yang pertama-tama kau pelajari Ananda?
12. Ananda:
Aku telah belajar dan memperlajari ilmu pengetahuan Bapa. Bertahuntahun
aku telah belajar dan mempelajari ilmu pengetahuan eksakta, maupun apa
yang dinamakan ilmu pengatahuan sosial.
13. Bapa:
Ananda, dapatkah engkau menerangkan kepadaku, apakah yang
dikatakan oleh ilmu pengetahuan tentang asal mula dan rahasia dari pada dunia
benda ini?
14. Anda:
Setelah bertahun-tahun belajar dan memepelajari ilmu pengetahuan,
Bapa, maka ternyata, bahwa ilmu pengetahuan tidak memberikan jawab dan
petunjuk apapun mengenai apa yang ku tanya dan ku cari, yaitu mengenai asal
mula dan rahasia daripada dunia benda ini.
Ilmu pengetahuna hanyalah mempelajari gejala-gejala yang terdapat didalam
dunia keadaan ini, yaitu gejala-gejala yang dapat dilihat, di tanggapi, dan
dirasakan, sebagai suatu data yang ”memang harus begitu, dan tidak bisa lain”.
16
Bidang ilmu pengetahuan ternyata hanyalah berputar-putar saja dengan
tidak dapat melampaui batas-batas sifat dan perwatakan daripada dunia benda
itu sendiri. Dan bahkan, ilmu pengetahuan telah mengajak dan mendorongdorong
aku untuk mengherani dan mentakjubi alam benda dengan segala kodrat
gerak perubahannya itu sebagai sesuatu yang ajaib, dan wajib diterima dengan
tidak perlu mengusut dan meneliti akan rahasia asal mulanya.
Dengan menyadari, bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah mampu
mengungkapkan rahasia asal mula dunia benda yang telah membuat aku
menderita ini, Bapa, maka dengan penuh rasa kecewa ilmu pengetahuan
terpaksa aku tunggalkan tanpa memperoleh penghargaan apapun daripadanya,
baik ijazah, ataupun gelar kesarjanaan, kecuali ”stempel” sebagai seorang yang
bodoh dan tidak terpelajar, seperti adanya aku yang sekarang ini.
15. Bapa:
Baiklah, Ananda, ilmu pengetahuan telah kau tinggalkan, karena ia tidak
akan pernah mampu mengungkapkan rahasia asal mula dunia benda ini.
Ilmu pengetahuan hanyalah mempelajari tentang gejala-gejala yang dapat
dilihat, dirasakan, dan ditangani didalam dunia keadaan ini, sedang ia tidak akan
pernah dapat mencapai apa yang ”berada” dibalik benda-benda dan keadaan ini.
Dan sesudah ilmu pengetahuan engkau tinggalkan, lalu apa yang
kaulakukan, Ananda?
16. Ananda:
Pendirianku masih tetap, Bapa! Dunia benda ini adalah dunia yang telah
membuat aku menderita. Tetapi, sekiranya aku dapat mengetahui akan asal
mula dan rahasia kekuatan dan kelemahannya, maka kemungkinan yntyk
memperoleh kepuasan dan kebahagiaan dari dunia benda ini masih ada. Oleh
karena itu, maka aku masih tetap ingin belajar asal mula dan rahasia dunia
benda ini.
17
Mulailah aku belajar lagi!
Bukan belajar ilmu pengetahuan, Bapa, melainkan belajar filsafat, yaitu apa yang
dibilang oleh sementara orang sebagai “ilmunya” ilmu-ilmu, atau pandangan
yang menjadi pokok dasar ladangan ilmu-ilmu.
17. Bapa:
Lalu apa yang diajarkan oleh filsafat kepadamu, Ananda?
Dan apa pula yang kau peroleh dari ajaran filsafat itu?
Coba, terangkanlah kepadaku!
18. Ananda:
Ada berbagai-bagai aliran didalam ajaran filsafat yang diajarkan oleh para
pujangga, Bapa!
Tetapi, bagaimanapun banyaknya aliran-aliran yang timbul dari ajaran filsafat itu,
namun pangkal tolak semua ajaran filsafat itu adalah sama, yakni:
Ke. 1. bahwa adanya sesuatu itu adalah karena adanya kegiatan (action) yang
menimbulkan sebab akibat; dan oleh karenanya, maka tiap-tiap ajaran filsafat
cenderung untuk mencari, menemukan, dan menerangkan tentang adanya
“sebab pertama”;
Ke.2. bahwa dengan adanya kegiatan yang menimbulkan sebab dan akibat,
maka semua ajaran filsafat berlandaskan pengertian serba dua (dualistic) yang
tunduk kepada hukum sebab akibat (Belanda: De Wet van Corsaak en Gevolg)
19. Bapa:
Ananda, engkau telah mengatakan, bahwa dengan belajar dan
mempelajari filsafat, bengkau berharap akan bisa mengungkapkan akan asal
mula dan rahasia daripada dunia benda ini.
Lalu, mengenai asal mulanya dunia benda ini, Ananda, apakah yang diajarkan
oleh filsafat kepadamu?
18
20. Ananda:
Sudah aku katakan kepada Bapa, bahwa cara berpikir para pujangga
dengan filsafatnya itu adalah berlandasan kepada:
- adanya “sebab pertama” berupa kegaiatan (action) yang menimbulkan sebab
dan akibat;
- pengertian tentang hal-hal yang serba dua (dualistic), yang tunduk kepda
hukum sebab akibat;
Cara berpikir yang tersalur melalui pengertian dan uraian sebab akibat ini, Bapa,
yang dikatakan oleh para pujangga sebagai ”berpikir logis” (logic thinking).
Bapa, didalam hubungannya dengan menjelaskan mengenai asal mula
terjadinya dunia benda itu, ada seorang pujangga yang menjelaskan demikia;
- bahwa dunia keadaan ini terjadi karena adanya ”sebab pertama”
(prima causa);
- bahwa adanya “sebab pertama” itu adalah tanpa sebab, dan
dinamakan zat-mula-mula-tanpa-sebab (causeless basic
substance);
- bahwa zat-mula-mula-tanpa-sebab itu sudah mengandung didalam
dirinya “sebab gerak”;
- bahwa “sebab gerak” itu sendiri tidak bergerak, namun mempunyai
kuasa untuk menggerakkan zat-mula-mula-tanpa-sebab itu;
Dikatakan selanjutnya oleh sang pujangga demikian: “Zat-mula-mulatanpa-
sebab itu selalu bergerak, karena di gerakkan oleh ‘sebab gerak’ yang
tidak begerak, maka lalu terjadi unsur-unsur (elements) penyusun kepribadian
dan dunia keadaan sekitarnya”.
21. Bapa:
Lalu, bagaimanakan pendapatmu sendiri, Ananda, mengenai apa yang
diajarkan oleh sang pujangga itu?
19
Dapatkah ajaran itu masuk di akalmu? Coba terangkan jawabanmu!
22. Ananda:
Setelah lama sekali aku renung-renungkan dengan bepikir bebas dan
menggunakan akal sehat, maka ternyata olehku, bahwa ajaran filsafat sang
pujangga mengenai asal mula terjadinya dunia keadaan itu tampak tidak masuk
akal, tidak logis, dan bersifat takhayul!
23. Bapa:
Mengapa begitu, Ananda? Dan dimanakah letak keterangan yang kau
anggap tidak masuk akal, dan tidak logis itu?
24. Ananda:
Perihal terjadinya dunia keadaan, Bapa, sang pujangga mengyatakan,
bahwasanya :sebab-pertama” itu ada.
Dari penyataannya itu berarti bahawa “sebab” itu memang ada
Tetapi dilain fihak, perihal adanya “sebab pertama” itu, menurut sang
pujangga adalah tanpa sebab.
Dari pernyataan itu berarti, bahwa “sebab” itu tidak ada.
Dari kedua perangkat pernyataan perihal “sebab pertama” itu lalu dapat
disimpulkan, bahwa menurut sang pujangga, ada itu sama dengan tidak ada.
Ini adalah pernyataan yang tidak dapat masuk diakal, Bapa, Tidak Logis!
25. Bapa:
Memang, Ananda, pernyataan yang menyatakan bahwa “ada” itu sama
dengan “tidak-ada”, itu adalah pernyataan yang tidak logis!
26. Ananda:
20
Dan lagi, Bapa, jikalau sang pujangga menyatakan bahwa adanya “sebab
pertama” itu tanpa sebab, maka pernyataan itu akan berarti, bahwa dari tidak
apa-apa lalu bisa timbul apa-apa.
Pernyataan ini juga tidak masuk akal dan tidak logis!
Sebab, sesuatu yang ada, itu pasti timbul dari sesuatu yang lain, yang memang
sudah ada sebelumnya, tidak peduli bagaimanapin bentuk dan sifatnya.
27. Bapa:
Tetapi, Ananda, bagaimanakah misalnya, jikalau ada orang menyatakan
kepadamu, bahwa apa yang ”ada” itu timbul dari yang ”tidak”, dan yang ”tidak”
itu adalah ”gaib”?
28. Ananda:
Jikalau dinyatakan, bahwa yang ”ada” itu timbul dari yang ”gaib”, itu
sama saja dengan menyatakan, bahwa yang ”ada” itu timbul dari apa yang
”ada”, dan bukannya yang ”ada: itu timbul dari apa yang ”tidak ada”.
29. Bapa:
Lalu, Ananda, bagaimanakah pendapatmu tentang teori ”sebab gerak”
yang di kemukakan oleh sang pujangga itu?
30. Ananda:
Teori sang pujangga mengenai ”sebab gerak” itupun tidak masuk akal,
dan tidak logis, Bapa!
Disatu pihak, sang pujangga mengatakan, bahwa ”sebab gerak” itu ada di
dalam zat mula-mula, dan ”sebab gerak” itu tiada bergerak.
Dari pernyataan itu akan berarbti, bahwa disitu tidak ada gerak.
Tetapi dilain pihak, sang pujangga mengatakan, bahwa ”sebab gerak” itu
mempunyai kuasa untuk menggerakan zat mula-mula.
Dari pernyataan itu akan berarti, bahwa disitu ada gerak yang menggerakkan.
21
Mari kedua perangkat pernyataan sang pujangga perihal ”sebab garak”
itu, maka dapat disimpulkan, bahwa sang pujangga menyatakan: gerak itu sama
dengan tidak gerak.
Pernyataan itu tidak dapat masuk diakal, dan tidak logis, Bapa!
31. Bapa:
Setelah ternyata, bahwa ajaran filsafat itu tidak dapat masuk di akalmu,
Ananda, lalu bagaimana sikapmu selanjutnya?
32. Ananda:
Teori tentang ”sebab pertama”, Zat mula-mula tanpa sebab”, :sebab
gerak”, ”ada” dan ”tidak ada” yang semuanya itu merupakan azas ajaran
(doctrine) filsafat yang tidak dapat masuk diakalku, dan aku anggap berbau
takhayul belaka, karena hanya merupakan kepercayaan membuta tuli yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan menurut akal sehat dan pemikiran bebas, maka
dengan penuh kekecewaan terpaksa sang pujangga dengan ajaran filsafatnya itu
harus aku tinggalkan.
Dari ajaran filsafat aku tidak dapat memperoleh penghargaan apapun,
dan aku tidak dapat dianggap sebagai murid yang setia bagi sang pujangga dan
filsafat..
33. Bapa:
Engkau hendak mengetahui akan rahasia asal mula dunia benda ini
dengan belajar dan mempelajari ajaran daripada para guru, Ananda, sedangkan
ilmu pengetahuan dan ajaran filsafat telah endkau tinggalkan.
Lalu apa yang kau lakukan selanjutnya sesudah itu, Ananda?
34. Ananda:
Belajar dan mempelajari ajaran seorang guru untuk mengetahui akan asal
mula daripada dunia benda ini masih tetap menjadi keyakinanku pada waktu itu,
22
Bapa! Oleh karena itu, maka aku masih bertekad akan belajar lagi kepada
seorang guru.
Ada sementara orang yang pada waktu itu aku anggap mempunyai cukup
pengetahuan, telah menyatakan kepadaku, bahwa dunia benda ini berasal mula
dari Sang Pencipta, yaitu yang sudah sangat terkenal dengan sebutan: ALLAH,
Tuhan yang Maha Esa.
Maka setelah saya menemukan seorang guru, yang menamakan dirinya
sebagai ”guru agama”, mulailah aku belajar kepadanya mengenai ilmu Ke-
Tuhanan.
35. Bapa:
Perihal asal mula dari pada benda-benda ini, Anada, apakah yang di
nyatakan oleh guru agama itu kapadamu?
Coba terangkan kepadaku!
36. Ananda:
Sang guru agama menyatakan kepadaku, Bapa, bahwa langit, bumi, dan
segala isinya yang ada ini adalah ciptaan Allah, Tuhan yang Maha Esa.
Jikalau Allah hendak menciptakan sesuatu, demikian kata sang guru, maka
cukuplah ia berkata: “Jadilah! Maka segala sesuatu menjadi ada, dan terjadi
dengan seketika”.
Maka bertanyalah aku kepada sang guru tentang apa atau siapakah
Allahm Tuhan yang Maha Esa itu.
Pertanyaan ini aku ajukan kepada sang guru, sebab, jukalau memang benar,
bahwa segala sesuatu yang ada ini berasal mula dari Allah, Tuhan Yang Maha
Esa, maka mengenal dengan sejela-jelasnya akan apa atau siapakah Allah itu
sebetulnya, adalah merupakan langkah pertama yang paling penting.
23
37. Bapa:
Lalu apa yang diterangkan oleh sang guru agama itu mengenai Allah,
Tuhan Yang Maha Esa itu, Ananda?
38. Ananda:
Dikatakan oleh sang guru itu akan salah satu sifat daripada Allah itu
demikian:
“Tiada Tuhan yang lain, kecuali Allah; Allah itu Esa, artinya: satu dan sendiri,
tiada kawan, sekutu, ataupun tandingan bagi Allah itu”.
Atas jawaban itu, maka bertanyalah aku kepada sang guru:
“Jikalau Allah itu satu dan sendiri, tiada kawan, sekutu, ataupun tandingan bagi
Nya, lalu bagaimankah kedudukan Allah itu terhadap manusia dan segala ciptaan
Nya yang lain-lain itu?”
Kemudian sang guru agama menjawab: “Allah berkedudukan sebgai ‘yang
menciptakan’, sedangkan manusia dan segala ciptaan Nya yang lain-lain itu
berkedudukan sebgai ‘yang diciptakan’”.
Atas jawaban itu, maka bertanyalah aku selanjutnya kepada sang guru:
“Kalau demikian halnya, maka Allah bukanlah sendiri lagi, dan bukannya tiada
tandingan lagi, sebab disamping ‘yang menciptakan’, disitu masih ada yang lain,
yaitu ‘yang diciptakan’! bukankah ‘ang diciptakan’ itu lalu menjadi tandingan bagi
Allah ‘yang menciptakan’ itu? Lalu bagaimankah mempertanggung jawabkan Ke-
Esaan Allah itu, guru?”
39. Bapa:
Kemudian, bagaiman cara sang guru mempertanggung jawabkan
keterangan tentang Ke-Esaan Allah itu, Ananda?
40. Ananda:
Sang guru agama itu tidak memberikan pertanggungan jawab apa-apa
terhadap keterangan itu, Bapa, kecuali menghardik aku dengan mengatakan:
24
“Pokoknya, didalam ajaran agama engkau harus percaya kepada apa yang sudah
tersurat didalam Kitab Suci, dan jangan terlalu banyak bertanya yang
bernadakan membantah dan tidak percaya!”
Maka, terdiamlah aku sementara, karena hardikan itu. Tampaknya sang
guru menjadi marah, karena kebingungannya tak dapat menjawab pertanyaanku
itu.
41. Bapa:
Apakah dengan hardikan itu engkau sudah tidak mengajukan pendapat
ataupun mengajukan pertanyaan lagi, Ananda?
42. Ananda:
Tidak, Bapa, dengan hardikan itu aku tidak merasa berkecil hati, dan aku
masih mengajukan pertanyaan lagi, yang aku anggap sebagai suatu pertanyaan
yang sangat penting dan mendasar.
Bertanyalah aku kepada sang guru agama itu demikian: “guru, apakah
Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu sungguh-sungguh ada? Jikalau Allah itu
sungguh-sungguh ada maka dimanakah ‘singgasana-Nya’?”
Pertanyaanku itu dijawab oleh sang guru:
“Allah itu sungguh-sungguh ada! Allah itu Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir,
dan Yang Bathin, dan telah bersama engkau, dimana saja engkau berada. Allah
oti lebih dekat kepdamu daripada urat batang lehermu! Allah itu tidak dapat
dilihat dengan mata, dan hanya dapat didekati melalui sembahyang, doa, dan
permohonan !”
43. Bapa:
Bagaimana, Ananda, puaskah engkau dengan jawaban sang guru itu?
Coba terangkan jawabmu kepadaku!
25
44. Ananda:
Belum, Bapa, aku belum puas dengan jawaban sang guru itu, karena aku
belum dapat memahami apa yang ia maksudkan.
Maka aku bertanya lagi kepada sang guru, sembil memberikan pendapatku
demikian:
“Jikalau Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu dinyatakan sebagai ‘ada’, guru, maka
Allah itu adalah sesuatu keadaan. Dan sebagai suatu keadaan, maka tentunya
Allah itu akan mempunyai sifat yang sama dengan ‘yang disiptakannya’. Padahal
Allah itu, menurut guru, adalah berkedudukan sebgai ‘yang menciptakan’.
Bagaimana jelasnya, guru?”
“Pokoknya, kamu harus percaya kepada apa yang tersurat didalam Kitab Suci,
bahwa Allah itu ‘ada’. Dan tentang bagaimana ‘ada-Nya’ Allah itu tidaklah perlu
kamu persoalkan, Yang penting, kamu dekati Allah dengan sembahyang, doa,
dan permohonan!”
Tetapi, guru, demikian aku bertanya lagi, bagaimana mungkin aku
menyembah Allah (bersembahyang) dengan doa dan permohonan, selama aku
belum dapat mengenali dengan jelas akan apa atau siapakah Allah itu, dan aku
juga belum dapat mengenali dengan jelas akan dimana ‘singgasana Allah’ atau ;
tempat beredaNya Allah’ itu?
Bukankah bersembahyang, berdoa, dan memohon dengan cara yang serba tidak
jelas itu akan menimbulkan kesalahan-kesalahan dan kesesatan?
Menanggapi pertanyaan dan pendapatku ini, Bapa, rupanya sang guru
agama itu menjadi sangat marah dan tersinggung, dan dianggapnya aku ini
sebagai seorang pembantah.
Ternyata, Bapa, bahwa sang guru agama itu tidak mampu memberikan
petunjuk dan penerangan kepadaku akan hal yang sangat penting dan mendasar
yang aku perlukan. Sang guru tidak mampu menerangkan kepadaku akan apa
atau siapakah Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu sesungguhnya; dan ia pun tidak
mempu menunjukkan kepadaku dengan cara yang dapat diterima oleh akal
26
sehat dan meyakinkan tentang dimanakan ‘singgasana’ Allah itu, serta
bagaimana cara mendekati dan menghadap kehadirat Allah itu.
Karena alas an-alasan itulah, Bapa, maka sang guru agama dengan Ilmu
Ke-Tuhanan-Nya itu terpaksa harus aku tinggalkan dengan penuh rasa kecewa
dan tak puas.
Dari ilmu Ke-Tuhanan itu aku tidak memperoleh penghargaan apapun, kecuali
umpatan sebagai ‘anak stan’ yang terlaknat, dan sebagai seorang “atheis” yang
tidak mau beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
45. Bapa:
Ya, ya, ya! Baiklah, Ananda, engkau telah berani berbicara spontan,
wajar, dan terus terang menurut apa adanya kepadaku mengenai pengalaman
hidupmu.
Nah, lalu apa yang kau lakukan sesudah itu, Ananda? Masihkah engkau
berusaha belajar lagi kepada seorang guru untuk dapat mengetahui akan asal
mulanya sunia benda ini?
46. Ananda:
Benar, Bapa, sesudah sang guru agama dengan ilmu Ke-Tuhanan-nya itu
aku tinggalkan tanpa memperoleh hasil apapun, maka mulailah aku belajar lagi
kepada seorang guru yang lain.
Waktu itu, aku mulai belajar Ilmu Kebathinan, Bapa!
47. Bapa:
Mengenai asal mulanya dunia benda ini, Ananda, apakah yang diajarkan
oleh ilmu Kebathinan kepadamu?
48. Ananda
Sehubungan dengan asal mulanya dunia benda ini, Bapa, sang guru ilmu
Kebathinan itu menyatakan, bahwa segala apa yang ada ini berasal dari Hidup.
27
Maka bertanyalah aku kepada sang guru itu tentang apa atau siapakah
Hidup itu, yang kemudian di jawabnya demikian:
“Hidup, itu adalah Roh Tuhan Yang Maha Esa, dan Hidup itu sendiri adalah
Tuhan Yang Maha Esa, yang mempunyai kuasa untuk menciptakan dan
menghidupkan segala apa yang ada ini.
Hidup itu satu atau tunggal; ada dimana-mana, dan meliputi seluruh alam yang
tek terbatas ini. Hidup itu kekal selama-lamanya, tidak pernah mati, tidak ada
awalnya, dan tidak ada akhirnya.
Hidup itu suci dan bersih dari nafsu”.
Selanjutnya aku bertanya lagi kepada sang guru tentang dimanakah
”singgasana” Sang Hidup, yang dikatakannya sebagai mempunyai kuasa untuk
menciptakan dan menghidupkan segala apa yang ada ini, dan aku tanyakan pula
tentang cara untuk mendekati dan menghadapi kepada Sang Hidup itu.
49. Bapa
Lalu, bagaimanakah penjelasannya mengenai ”singgasana” dan cara
pendekatan kepada apa yang dinamakan sebagai Sang Hidup itu Ananda?
50. Ananda
Mengenai ”singgasana” dan cara mendekati dan menghadap kepada Sang
Hidup itu, maka sang guru ilmu Kebathinan itu menjelaskan kepdaku demikian:
”Hidup itu ”bersemayam” didalam hati (bathin) manusia. Dan oleh karena Hidup
itu suci dan bersih dari nafsu , maka manusia yang hatinya suci dan bersih dari
nafsu sajalah yang dapat ‘menenmukan’ dan menghadap Sang Hidup didalam
hatinya sendiri”.
Dan kemudian daripada itu, Bapa, aku bertanya lagi kepada Sang Guru
tentang apa yang harus aku lakukan, supaya hatiku (bathiniku) menjadi suci dan
bersih dari nafsu, sehingga semungkinkan aku ‘menemukan’ dan menghadap
Sang Hidup didalam hatiku sendiri.
28
Maka jawablah oleh Sang Guru, bahwa aku harus mengusahakan dua hal yang
sangat penting, Yaitu:
- Pertama, bahwa didalam kehidupan sehari-hari, aku harus
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengendalikan hawa
nafsu, dan
- Kedua, bahwa pada malam hari, aku harus berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk melakukan “meditasi” dengan duduk diam
untuk mengosongkan pikiran.
51. Bapa:
Lalu bagaimana, Ananda, apakah semua petunjuk sang gutu itu sudah
kau jalankan?
Apa yang kaulakukan untuk mengendalikan hawa nafsu, Ananda?
52. Ananda:
Tentu saja semua petunjuk sang guru aku jalankan, Bapa, karena aku
mempunyai niat dan tekad yang sungguh-sungguh untuk dapat “menemukan”
dan menghadap Sang Hidup, yang dikatakan oleh sang guru sebagai asal mula
daripada segala hal yang ada ini.
Didalam ajaran mengenalikan nafsu, maka kepadaku diwajibkan untuk
berpikir, berbuat dan berbicara yang baik-baik saja, dan supaya dihindarkan
yang buruk-buruk. Hal ini aku usahakan dengan sungguh-sungguh, penuh
kesabaran, ketekunan, dan ketaatan, sesuai dengan petinjuk sang guru.
Tetapi, Bapa, telah ternyata didalam praktek pelaksanaannya, ajaran
pengendalian nafsu seperti yang di ajarkan oleh sang guru kebathinan itu amat
sulit dijalankan, jikalau tidak hendak aku katakan sebagai tidak mungkin bisa
dijalankan.
53. Bapa:
Mengapa harus begitu, Ananda, coba jelaskan apa yang engkau maksud!
29
54. Ananda:
Didalam praktek, Bapa, aku sudah berusaha berpikir tentang yang baikbaik
menurut ukuran dan penilaianku sendiri, namun sementara dengan serta
merta dan tidak aku sengaja, pikiran-pikiran tentang yang buruk-buruk segera
muncul didalam pikiranku.
Hal semacam ini selalu tidak dapat ku hindari, Bapa, sebab aku tidak akan
pernah berpikir tentang yang baik, jikalau aku tidak pernah berpikir tentang apa
yang buruk. Pikiran-pikiran tentang yang baik dan yang buruk itu melulu muncul
berganti-ganti didalam pikiranku dengan tidak dapat aku kendalikan.
Jadi, berpikir tentang yang baik-baik saja, itu rasanya tidak mungkin bisa
dilakukan didalam praktek.
Tentang kesulitan ini sudah aku kemukakan kepada sang guru, namun
sang guru itu sendiri tidak mampu memberikan suatu cara, bagaimana supaya
aku ini bisa berpikir tentang yang baik-baik saja.
Sang guru hanya menyatakan kepadaku, supaya pikiran yang baik saja yang
diwujudkan didalam perbuatan dan ucapan. Sedangkan pikiran yang buruk
jangan diwujudkan didalam perbuatan dan ucapan.
Bapa, mewujudkan perbuatan dan ucapan yang baik, itupun rasanya sulit
dijalankan didalam praktek, jikalau tidak hendak aku katakan sebagai tidak
mungkin dijalankan, selama tidak diketahui lebih dahulu akan apakah makna
yang sebetulnya daripada ”baik” dan ”buruk” itu.
55. Bapa:
Apakah yang dinyatakan oleh Ilmu Kebathinan tentang ”perbuatan baik”
dan ”perbuatan buruk” itu, Ananda?
56. Ananda:
Banyak keterangan yang diberikan oleh sang guru Kebathinan itu
kepadaku mengenai penggolongan perbuatan, yaitu mana yang digolongkan
30
sebagai ”perbuatan baik” dan mana yang digolongkan sebagai ”perbuatan
buruk”.
Namun dasar ukurannya yang dipakai didalam penggolongan itu tidak dapat
diterima dengan meyakinkan oleh akal sehatku. Sebab, fakta kehidupan ini
menunjukka kepadaku, bahwa ”perbuatan baik” itu bisa berubah menjadi
:perbuatan buruk”, dan sebaliknya, ”perbuatan buruk” itu bisa berubah menjadi
”perbuatan baik”. Tergantung kepada waktu, tempat dan keadaan.
Pendek kata, ajaran pengendalian nafsu dengan mengendalikan nafsu
dengan mengendalikan pikiran, perbuatan, dan ucapan, seperti yang diajarkan
pleh sang guru ilmu Kebathinan itu tidak mungkin dijalankan didalam praktek,
dan akan merupakan usaha yang sia-sia belaka.
57. Bapa:
Bagaiman halnya dengan ”meditasi”, Ananda? Apakah yang di ajarkan
oleh Ilmu Kebathinan kepadamu?
58. Ananda:
Menurut sang guru, Bapa, ”meditasi” itu adalah duduk diam (still sitting),
dan ”mengosongkan” pikiran. Dengan tata cara ”meditasi” yang telah
ditunjukkan oleh sang guru kepadaku, tiap-tiap malam aku melakukan ”meditasi”
dengan cara duduk diam.
Dengan mengosongkan pikiran, demikian kata sang guru, maka seseorang
akan mencapai hati (bathin) yang suci dan bersih dari nafsu, dan dengan cara
demikian itu seseorang akan dapat ”menemukan” dan ”menghadap” kepada
Hidup didalam hatinya.
Tetapi, Bapa, usaha untuk mengosongkan pikiran dengan tata cara yang
diajarkan oleh sang guru itu, kiranya sangat sulit dilakukan didalam praktek.
59. Bapa:
Apa dan bagaimana kesulitannya, Ananda?
31
Coba, terangkan pengalammu itu!
60. Ananda:
Makin aku berusaha untuk mengosongkan pikiran, Bapa, maka aku
memperoleh dua buah pengalaman yang tidak menguntungkan, yaitu:
Pertama, pernah aku berusaha untuk tidak berpikir apa-apa, kecuali berpikir
tentang ”kosongnya” pikiran saja, sambil menunggu-nunggu munculnya Sang
Hidup.
Dengan cara ini, pikiranku bukannya menjadi ”kosong”, malah justru sebaliknya,
yaitu aku malah lebih banyak berpikir tentang Sang Hidup yang membayangkan
begini dan begitu. Usaha ini ternyata hanya merupakan usaha yang sia-sia dan
melelahkan.
Pengalaman yang kedua ialah, bahwa pernah aku berusaha untuk melupakan
pemikiran-pemikiran tentang apa-apa yang telah pernah terjadi didunia ini.
Usaha ini ternyata telah membawa aku kedalam keadaan terlupa, dan akhirnya
tertidur dan bermimpi tentang hal-hal yang aneh-aneh, tanpa berhasil untuk
”menemukan” sang hidup.
Perihal kedua macam pengalaman ini pernah aku kemukakan kepada sang
guru, Bapa, namun ia tidak memberikan petunjuk apa-apa, kecuali
mengharapkan supaya aku terus berusaha, sambil :menemukan cara” sendiri
untuk ”mengosongkan” pikiran.
61. Bapa:
Lalu, Ananda, apakah engkau sudah berhasil ”menemukan cara” sendiri
untuk ”mengosongkan pikiran” itu?
62. Ananda:
Tidak, Bapa, aku tidak pernah berhasil didalam menemukan cara untuk
”mengosongkan” pikiran itu!
32
Karena telah ternyata, bahwa sang guru ilmu Kebathinan itu tidak mampu
untuk memberikan petunjuk yang jelas yang dapat diterima oleh akal sehat, dan
iapun tidak mampu memberikan bimbingan praktek ”pengendalian nafsu” dan
”meditasi” dengan cara yang meyakinkan, maka dengan penuh rasa kecewa dan
tak puas sang guru terpaksa aku tinggalkan tanpa hasil apapun. Aku ternyata
bukan murid yang baik untuk Ilmu Kebathinan.
63. Bapa:
Dan sesudah ilmu Kebathinan engkau tinggalkan, Ananda, apakah yang
kau usahakan? Masih belajar lagi kepada seorang guru-kah?
64. Ananda:
Benar, Bapa, untuk dapat mengetahui akan asal mula saripada dunia
benda ini, aku masih belajar kepada seorang guru yang lain lagi.
Waktu itu aku belajar ilmu Tenaga Gaib.
65. Bapa:
Apakah yang di maksudkan dengan ilmu tenaga Gain itu, Ananda?
Dan apa pula yang diajarkan oleh ilmu itu kepadamu?
66. Ananda:
Ada seseorang yang mengatakan kepadaku, Bapa, bahwa dunia benda itu
terjadi dan berasal dari tenaga Gaib, yaitu ”Gerak Sendirinya” yang berada diluar
kemauan dan pengertian akal manusia.
Namun demikian, begitulah kata orang itu, Tenaga Gaib itu dapat ”didatangkan”
dengan penyerahan diri dan permohonan, sehingga dengan cara demikian, maka
manusia akan memiliki ”mujijat” yang mengherankan dunia ini.
Berdasarkan atas keterangan itulah, Bapa, maka mulailah aku belajar
kepada seorang guru ilmu tenaga Gaib itu.
33
Oleh sang guru diajarkan kepadaku tentang tata cara penyerahan diri dan
memohon kepada Tenaga Gaib itu.
Selanjutnya sang guru mengatakan, bahwa dengan mengambil sikap
badan yang tertentu, dan mengucapkan didalam hati akan doa-doa tertentu,
maka aku akan mengalami ”gerak sendirinya” yang membawakan ”mujijat”.
Ini merupakan disiplin, dan harus dilatih terus menerus secara teratur, demikian
kata sang guru.
67. Bapa:
Lalu, apa hasilnya, Ananda?
68. Ananda:
Menurut pengalaman didalam melakukan ”latihan gerak” itu, Bapa, maka
ternyata, bahwa apa yang dinamakan ”gerak sendirinya” itu tidak lebih daripada
gerak-gerak reflex yang timbul dari luapan-luapan rangsangan perasaan
(emotional excitements), oleh sebab penggambaran-penggambaran khayal
rekaanku sendiri.
Dan ternyata, Bapa, bqhwa apa yang diajarkan oleh sang guru ilmu
Tenaga Gaib itu tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang sedang kutanyakan
dan kucari, yaitu tentang asal mula daripada dunia benda ini.
Ilmu Tenagan Gaib yang di ajarkan oleh sang guru ternyata tidak dapat
melampaui sifat dan perwatakan dunia benda itu sendiri, dan bahkan, sehariharinya
sang guru hanya mengherani ”hasil-hasil” duniawi yang di capai melalui
apa yang dinamakan sebagai ”Latihan Gerak” itu, dan tidak putus-putusnya sang
guru mengherani ”ilmunya” itu.
Bagi sang guru ilmu tenaga Gaib, Bapa, asal mula dunia benda ini tidak
dijadikan permasalahan, dan tetap merupakan rahasia yang tek terungkapkan;
dan oleh karena itu ilmu Tenaga Gaib tidak berjalan selaras dengan apa yang
hendak ku cari.
34
Dan lagi, sang guru ilmu Tenaga Gaib yang sendirinya heran atas ”ilmunya” itu,
hanyalah menunjukkan, bahwa sang gurutidak mempunyai pengetahuan yang
benar, kecuali takhayul belaka.
Itulah sebabnya, mengapa sang guru ilmu Tenaga Gaib dengan segala ajarannya
itu terpaksa aku tinggalkan dengan penuh rasa kecewa dan tak puas.
69. Bapa:
Lalu, belajar dan berguru apa lagi, Ananda, setelah ilmu Tenaga Gaib
engkau tinggalkan?
3. MEMBENCI DAN MENOLAK DUNIA BENDA
70. Ananda:
Tidak, Bapa, sejak itu aku sudah tidak belajar dan berguru lagi.
Aku sudah merasa puas dengan ketidak puasanku terhadap guru-guru dan ilmuilmu,
karena tidak ada satupun diantara guru-guru dan ilmu-ilmu itu yang
sanggup menunjkkan kepadaku dengan cara yang dapat diterima oleh akal sehat
dan menyakinkan akan asal mula dan rahasia daripada dunia benda yang sudah
membuat akau menderita ini.
Dengan rasa yang setengah putus asa, Bapa, pada waktu itu terpikirlah
olehku, bahwa dunia benda ini sungguh-sungguh tidak layak untuk diraih dan
disintai, bahkan, barang kali yang paling tepat menghadapi dunia benda ini
adalah menolak dan membencinya!
Pada waktu itu, Bapa, sudah tetaplah rasanya pendirianku, yaitu aku hendak
mengacuhkan, membenci, dan menolak dunia benda ini.
71. Bapa:
Coba, Ananda, terangkan kepadaku, bagaimana caramu mengacuhkan,
membenci, dan menolak dunia benda ini!
35
72. Ananda:
Pada waktu itu, Bapa, mulailah aku menyendiri, dan mengasingkan diri
dari keramaian pergaulan masyarakat. Aku tidak melakukan pekerjaan apa-apa.
Aku mulai mengabaika makan, minum, pakaian, kebersihan, dan kesehatan
tubuhku, bahkan, aku membenci tubuku sendiri, yang aku anggap sebagai
”sarang” tempatnya perasaan menderita karena dunia benda ini.
Waktu itu aku berpikir, bahwa justru aku hidup bertubuh inilah yang menjadikan
sebab, mengapa aku ini lalu bisa merasakan tak puas dan menderita.
Maka sepintas telah terpikir olehku untuk melakukan bunuh diri sja
dengan mengantungkan diri diatas pohon dengan tali pengikat pada leher.
Namun, sebelum hal itu aku lakukan, masih sempat pula aku berpikir lagi
demikian:
Jikalau aku ini mati dengan bunuh diri, lalu siapakah yang bakal merasakan
perasaan puas dan bahagia yang di cari-cari itu?
Mungkinkah aku ini akan merasa puas dan bahagia disorga sesudah mati?
Tetapi, sorga itu apa? Dan dimana? Akh, membingungkan!
Sementara itu, Bapa, sebagai akibat daripada tidak makan, tidak minum,
dan tidak tidur, badanku menjadi lemas lunglai, tak berdaya apa-apa, jatuh sakit
keras, dan akhirknya tidak sadar diri.
Setelah ditolong oleh orang lain, dan sadar diri kembali, maka mulailah aku
insyaf, bahwa mengacukan, menolak, dan membenci tubuh serta dunia benda ini
bukannya memndatangkan kepuasan dan kebahagiaan, bahkan sebaliknya,
justru mendatangkan kesakitan dan penderitaan.
Bapa, hatiku makin bimbang, ragu, dan takut tak terperikan menghadapi
dunia benda ini.
Tak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan sekarang, sebab segala usaha telah
aku lakukan untuk berusaha menghentikan ketidak puasan dan penderitaanku
ini. Tolonglah, Bapa, tnjukan jalan keluar kepadaku!
36
BAB II
PENENLITIAN DAN PERENUNGAN MELALUI PEMUNCAKAN AKAL
1. KETIDAK TAHUAN (KEBODOHAN)
73. Bapa:
Baik, baik, Ananda, baik!
Sekarang, coba pusatkan perhatianmu, sambil dengarkan baik-baik akan apa
yang aku katakan ini, karena aku hendak mengajukan beberapa pertanyaan
kepadamu.
Dan cobalah engkau menjawab pertanyaanku ini dengan secara spontan,
sederhana, dan wajar saja, dan jangan takut-takut salah!
Ananda, coba katakanlah kepadaku, apakah yang menarik perhatianmu,
tatkala engkau untuk pertama kalinya melihat, bertemu, dan berbicara dengan
aku?
74. Ananda:
Pada saat pertama kali aku berjumpa dan berbicara dengan Bapa, maka
aku melihat sinar cahaya kemuliaan berwarna-warni yang memancar keluar dari
seluruh kepribadian Bapa.
Dari pandangan mata, ucapan kata-kata, gerakan tangan, dan mimik wajah Bapa
telah memancar sinar sahaya yang menerangkan dan menenteramkan hati.
Melihat sinar cahaya itu, Bapa, hatiku menjadi tenteram, sehingga aku merasa
senang dan berbahagia.
75. Bapa:
Nah, Ananda, coba sekarang katakan kepadaku, apakah yang melihat,
apakah yang menanggapi perasaan tenteram, dan siapakah yang mengalami
perasaan senang itu?
37
76. Ananda:
Bapa, begitu mataku melihat kepribadian Bapa, maka pikiranku
menanggapi perasaan tenteram, dan kemudian aku mengalami perasaan
senang.
77. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa begitu matamu melihat
kepribadianku, maka pikirankmu menanggapi perasaan tenteram, dan kemudian
engkau mengalami perasaan senang.
Dari pernyataan itu, Ananda, maka mungkin bisa terjadi halyang
sebaliknya, yaitu karena matamu melihat, pikiranmu menanggapi, maka engkau
mengalami perasaan susah,
Apakah begitu, Ananda?
78. Ananda:
Benar, Bapa, memang demikian itulah, dan tidak bisa lain! Sebab, jikalau
tidak karena mata melihat, dan pikiran menanggapi, maka tentunya aku tidak
akan mengalami perasaan senang ataupun susah.
79.Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa pada saat ini engkau sedang
dalam keadaan menderita susah.
Dan lagi, engkau telah menyatakan, bahwa engkau dapat mengalami susah itu
adalah oleh matamu melihat, dan pikiranmu menanggapi.
Seandainya, Ananda, engkau dapat mengetahui dan menguasai sumber
yang memberikan penglihatan dan sumber yang menyebabkan pikiranmu
menanggapi, maka dapat dipastikan, bahwa engkau akan dapat dengan mudah
menghentikan kesusahanmu.
38
Sebab, dengan tidak mengetahui sumber yang memberikan penglihatan, dan
tidak mengetahui akan sumber yang menyebabkan pikiran menanggapi, maka
engkau tidak mungkin dapat menghentikan kesusahan dan penderitaanmu.
Hal ini, Ananda, dapat diperumpamakan dengan seorang tuan rumah yang
disusahkan oleh tikus-tikus yang menggerogoti makanan dan merusak
pakaiannya setiap malam dirumahnya.
Kesusahan tuan rumah yang disebabkan oleh tikus-tilus itu akan dapat
dihentikan, seandainya tuan rumah itu mengetahui akan tempat
persembunyiannya tikus-tikus yang merugikan itu!
Dan sekarang, Ananda, aku hendak bertanya kepadamu!
Tahukah engkau, dimanakah sumber yang memberikan penglihatan itu?
80. Ananda:
Aku tahu, Bapa, seperti halnya setiap orang pun juga tahu, bahwa sumber
yang memberikan penglihatan itu adalah Mata.
81. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa sumber yang memberikan
pengkihatan itu adalah mata.
Dan sekarang, Ananda, tahukah engkau dimanakah beradanya mata itu?
82. Ananda:
Sumber yang memberikan penglihatan adalah mata, dan mata itu berada
pada pemukaan wjah, Bapa!
83. Bapa:
Bagus, Ananda, mata berada pada permukaan wajah.
Tetapi, Ananda, benarkah bahwa mata itu adalah sumber memberikan
penglihatan?
Jikalau benar demikian, maka aku hendak bertanya kepadamu, Anaada.
39
Dengan mata yang terpejam, Ananda, terlihatkah kursi yang berada disudut
kamar itu?
84. Ananda:
Dengan mata terpejam, Bapa, tentu saja kursi yang berada disudut kamar
itu tidak dapat terlihat. Sebab, yang memberikan penglihatan itu bukanlah mata
yang terpejam, melainkan mata yang terbuka.
85. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa mata yang terpejam tidak
dapat memberikan penglihatan.
Hanya mata yang terbukalah yang dapat memberikan penglihatan.
Sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!
Seandainya, Ananda, ruangan dimana kita ini berada, aku tutup semua jendelajendela
dan pintunya, dan aku padamkan semua lampu-lampu yang menyala itu,
sehingga ruangan ini menjadi gelap gulita, maka dapatkah kursi itu terlihat oleh
mata terbuka?
86. Bapa:
Tentu saja tidak terlihat, Bapa!
Salam keadaan gelap gulita yang tiada cahaya, kursi itu tiada terlihat oleh mata
yang terbuka.
Kalau demikian halnya, Bapa, maka yang dapat memberikan penglihatan
itu adalah mata terbuka yang diberi syarat cahaya.
87. Bapa:
Engkau telah meyatakan, Ananda, bahwa yang memberikan penglihatan
itu adalah mata terbuka yang diberi syarat cahaya.
Jikalau benar demikian, Ananda, maka aku sekarang bertanya kepadamu!
40
Bagaimanakah kiranya, jikalau engkau tertidur dengan matamu terbuka,
sedangkan disitu semua lampu-lampu bersinar dengan cahayanya yang terang?
Dapatkah mata itu memberikan penglihatan?
88. Ananda:
Didalam keadaan tertidur, Bapa, maka mata yang terbuka tidak dapat
memberikan penglihatan, meskipun disitu terdapat sinar lampu yang terang.
89. Bapa:
Apa sebabnya demikian, Ananda?
Coba terangkan jawabmu!
90. Ananda:
Didalam keadaan tertidur, mata terbuka yang telah diberi syarat cahaya,
tidak dapat memberikan penglihatan, karena didalam keadaan tertidur, pikiraku
tidak menanggapi apa-apa.
91. Bapa.
Kalau begitu, Ananda, lalu apakah yang memberikan penglihatan itu?
Mata terbuka yang telah diberi syarat cahayakah?
92. Ananda:
Bukan, Bapa, mata terbuka yang telah diberi syarat cahaya tidak dapat
memberikan penglihatan apa-apa.
Yang dapat memberikan penglihatan adalah: mata terbuka yang telah diberi
syarat cahaya, dan pikiran yang menanggapi!
41
93. Bapa:
Baik, Ananda, engkau telah meyatakan, bahwa yang memberikan
penglihatan itu adalah mata terbuka yang telah diberi syarat sahaya, dan pikiran
menanggapi.
Jadi, karena mata terbuka, dalam keadaan ada cahaya, dan pikiranmu
menanggapi benda-benda, obyek-obyek, dan orang-orang itu lalu terlihat.
Nah, jikalau memang benar, Ananda, bahwa yang memberikan
penglihatan itu adalah mata terbuka, yang diberi syarat adanya cahaya,dan
pikiran menanggapi, maka sekarang coba pejamkan matamu! Apakah yang kau
lihat, Ananda?
94. Ananda:
Aku tidak dapat melihat apa-apa, kecuali gelap gulita yang hitam kelam
itu, Bapa!
95. Bapa:
Jadi, Ananda, didalam mata terpejam, dan disitu ada cahaya, meskipun
benda-benda, obyek-obyek, dan orang-orang tidak dapat terlihat, namun gelap
gulita ang hitam kelam itu masih dapat terlihat juga, bukan?
96. Ananda:
Benar, Bapa, gelap gulita yang hitam kelam itu dapat terlihat juga,
meskipun mata dipejamkan, dan disitu ada cahaya.
97. Bapa:
Kalau demikian halnya, Ananda, maka apakah sebetulnya yang
memberikan itu?
Mata kah? Cahaya kah? Atau pikiran menanggapi kah?
42
98. Ananda:
Dari hasil penelitian itu tadi, Bapa, maka telah ternyata, bahwa yang
memberikan penglihatan itu bukanlah mata, dan juga bukan cahaya, melainkan
yang memberikan penglihatan itu adalah pikiranku yang menanggapi itu!
99. Bapa:
Bail! Engkau telah menyatakan, bahwa yang memberikan penglihatan itu
adalah pikiranmu yang menanggapi itu.
Nah, jikalau memang benar, Ananda, bahwa yang memberikan
penglihatan itu adalah pikiramu yang menanggapi itu, maka sekarang aku
hendak bertanya kepadamu!
Tahukah engkau, Ananda, dimanakah gerangan tempat beradanya pikiranmu
yang menanggapi, yang dapat memberikan penglihatan itu?
100. Ananda:
Bapa, kepribadianku unu terdiri dari tubuh dan pikiran, tubuhku dan
pikiranku selalu bekerja sama dalam keselarasan, dan tak dapat dipisahkan yang
satu dari yang lain, karena faktanya, apa yang dirasakan oleh tubuhku, itulah
yang di tanggapi oleh pikiranku.
Atau sebaliknya, apa yang di tanggapi oleh pikiranku, itulah yang dirasakan oleh
tubuhku.
Oleh karena demikian, Bapa, maka pertanyaan tentang dimanakah tempat
beradanya pikiranku yang menanggapi itu, dengan jelas dapat dijawab, bahwa
pikiranku yang menanggapi itu berasda bersama-sama dengan tubuhku, dan
tidak bisa lain!
101. Bapa:
Baik, Ananda engkau telah menyatakan, bahwa pikiran-mu yang
menanggapi itu berada bersama-sama dengan tubuhmu, karena tubuhmu dan
43
pikiranmu itu selalu bekerja sama dalam keselarasan, dan tidak dapat dipisahkan
yang satu dari yang lain.
Ananda, apakah yang kaumaksudkan dengan ”bersama-sama” dengan
tubuh itu? Berada dalam salah satu anggota tubuhkkah? Atau mungkin mungkin
meliputi seluruh tubuhkah?
102. Ananda:
Pikiranku yang menanggapi, dan yang memberikan penglihatan itu berada
diotak didalam tubuhku, Bapa!
103. Bapa:
Jikalau benar, Ananda, bahwa pikiranmu yang menanggapi, dan yang
memberikan penglihatan itu berada di otak didalam tubuhmu, maka dengan
demikian tentunya pikiramu itu dapat melihat apa yang berada didalam
tubuhmu.
Isi perutmu, misalnya! Atau mungkin jantungmu!
Bagaimana, Ananda, dapatkan pikiranmu itu melihat isi perutmu atau
jantungmu?
104. Ananda:
Faktanya tidak demikian, Bapa!
Pikiranku tidak dapat melihat isi perutku ataupun jantungku yang berada didalam
tubuhku.
105. Bapa:
Kalau begitu Ananda, maka jelaslah, bahwa pikiramu itu tidak berada di
otak, didalam tubuhmu!
44
106. Ananda:
O, mungkin pikiranku yang menanggapi itu berada meliputi seluruh
tubuhku, Bapa!
107. Bapa:
Jikalau benar, Ananda, bahwa pikiranmu yang menanggapi itu berada
meliputi seluruh tubuhmu, maka seandainya aku memukul kepalamu, niscaya
kaki mu pun akan merasakan perasaan sakit!
Dan lagi, seandainya benar, bahwa pikiranmu yang menanggapi itu berada
meliputi seluruh tubuhmu, maka jikalau aku memukul salah satu anggota
tubuhmu, seluruh tubuhmu akan merasakan perasaan sakit, dan engkau tidak
akan tahu bagian manakah dari tubuhmu yang aku pukul itu.
Bagaimana, Ananda, apakah memang demikian itu faktanya?
108. Ananda:
Tidak, Bapa, faktanya adalah tidak demikian!
Kalau begitu, jelaslah, bahwa pikiranku yang menanggapi itu tidak berada
meliputi tubuhku.
Atau mungkin pikiraku yang menanggapi itu berada ”diantara” luar dan
dalam daripada tubuhku, Bapa!
109. Bapa:
Baiklah! Jikalau seandainya benar, Ananda, bahwa pikiramu yang
menanggapi dan dapat memberikan penglihatan itu berada ”diantara” luar dan
dalam daripada tubuhmu, maka aku hendak bertanya kepadamu!
Kemanakah menghadapnya pikiranmu itu? Kearah luar tubuhkah, atau kearah
dalam tubuh kah?
Jikalau pikiramu itu menghadap kearah luar tubuhmu, maka pikiranmu itu
tidak akan bisa melihat kaki ataupun tanganmu sendiri. Dan jikalau pikiranmu itu
45
menghadap kearah dalam tubuhmu, maka pikiranmu itu akan dapat melihat apaapa
yang berada didalam tubuhmu sendiri itu.
Apakah memang demikian itu faktanya, Ananda?
110. Ananda:
Tidak, Bapa.
Tetapi, Bapa, yang aku maksudkan dengan ”diantara” luar dan dalam daripada
tubuhku, itu bukanlah didalam arti seperti itu.
Yang aku maksudkan adalah, bahwa pikiranku yang menanggapi itu berada pada
mata, dimana mata itu berada ”diantara: luar dan dalam daripada tubuhku.
111. Bapa:
Baiklah! Jikalai benar, Ananda, bahwa pikiranmu yang menanggapi itu
berada pada matamu, dan yang hal itu akan berarti berada ”diantara: luar dan
dalam daripada tubuhmu, maka sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!
Jikalau seandainya aku mencubit pahamu, Ananda, maka tentunya
pahamu tidak akan merasakan sakit apa-apa, sebab pikiramu yang menanggapi
itu berada pada mata!
Apakah memang begitu faktanya, Ananda?
112. Ananda:
Tidak, Bapa, faktanya tidaklah demikian!
Kalau begitu, Bapa, maka ternyata, bahwa pikiranku yang menaggapi itu tidaklah
berada pada mata, dan tidak berasa ”diantara” luar dan dalam daripada tubuhku.
113. Bapa:
Ananda, mungkikah pikiramu yang menanggapi, dan yang dapat
memberikan penglihatan itu berada di luar tubuhmu?
46
114. Ananda:
Tidak mungkin, Bapa, pikiranku yang menanggapi itu tidak mungkin
berada diluar tubuhku, sebab diantara tubuhku dan pikiranku terdapat kerja
sama yang selaras, dan tak terpisahkan satu dengan yang lain.
Dan lagi, jikalau pikiranku itu berada diluar tubuhku, niscaya tubuhku
tidak akan dapat merasakan perasaan apa-apa lagi.
115. Bapa:
Bagus! Lalu, mungkinkah pikiranmu itu berasa meliputi seluruh alam
semesta yang tak terbatas ini?
116. Ananda:
Itupun tidak mungkin, Bapa, pikiranku tidak mungkin berasa meliputi
seluruh alam semesta ini.
Sebab, jikalau seandainya pikiranku yang menanggapi itu berada meliputi
seluruh alam semesta ini, maka tentunya tubuhku akan menjadi sebesar alam
semesta yang tak terbatas ini juga.
Padahal faktanya, tubuhku ini besarnya terbatas!
117. Bapa:
Ananda, sidalam usahamu untuk mengetahui akan asal mulanya yang
memberikan penglihatan, maka engkau telah menemukan, bahwa yang
memberikan penglihatan itu bukanlah mata, melainkan yang memberikan
penglihatan itu adalah pikiranmu yang menanggapi.
Jadi, dari apa yang sudah dapat kau temukan itu ternyata, bahwa yang
memberikan penglihatan dan tanggapan itu adalah pikiranmu.
Apakah bukan begitu, Ananda?
47
118. Ananda:
Benar, Bapa, yang memberikan penglihatan dan tanggapan itu adalah
pikiranku!
Jadi, dalam hubungannya dengan timbulnya kesusahan, maka lalu dapat di
nyatakan, bahwa oleh sebab pikiranku melihat, dan pikiranku menanggapi, maka
aku lalu mengalami perasaan susah.
119. Bapa:
Ananda, engkau talah menyatakan, bahwa oleh sebab pikiran mu melihat,
dan pikiranmu menanggapi, maka engkau lalu mengalami perasaan susah.
Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, Ananda!
Tahukah engkau akan apa atau siapakah ”engkau sendiri” yang dapat
mengalami perasaan susah itu?
Coba terangkan jawabmu!
120. Ananda
Bapa, jikalau misalnya Bapa mengajukan sesuatu pertanyaan kepadaku,
maka pertanyaan Bapa itu baru aku jawab, setelah menanggapi pertanyaan
Bapa itu.
Aku menanggapi pertanyaan Bapa itu dengan mengunakan pikiranku, dan
kemudian pikiranku menanggapi.
Pikiranku lalu bekerja memikirkan pertanyaan Bapa itu dengan mengunakan alatalat
pertimbangan, untuk kemudian pertanyaan Bapa itu aku jawab.
Proses ini menunjukkan, bahwa ”aku sendiri” dan ”pikiranku” itu adalah
satu dan sama, tidak ada bedanya.
Aku sendiri (myself) adalah pikiranku, Bapa, tidak bisa lain!
121. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa ”engkau sendiri” itu adalah
”pikiranmu”.
48
Baiklah! Maka sekarang dengarkan, aku hendak bertanya kepadamu!
Ananda, jikalau engkau berbicara perihal ”pikiranmu”, maka bukankah hal
itu menunjukkan sangat jelas, bahwa ”pikiranmu” itu bukan ”engkau sendiri”,
dan hanya menrupakan obyek yang berada disamping atau diluar ”engkau
sendiri”?
Seperti halnya jikalau engkau berbicara perihal ”ayahmu” atau ”ibumu”, maka
jelas sekali, bahwa ”ayahmu” atau ”ibumu” itu bukanlah ”engkau sendiri”.
Jadi, Ananda, pernyataan ”aku sendiri” adalah ”pikiranku”, itu adalah
suatu pernyataan yang tidak dapat diterima oleh akal sehat!
122. Ananda:
Lalu, Bapa, apa lagi yang harus dianggap sebagai ”aku sendiri” itu, kalau
bukan ”pikiranku” itu?
”Pikiran ku” adalah satu-satunya milik ku yang dapat memberikan penglihatan
dan tanggapan.
Dan jikalau ” aku sendiri” ini bukan ”pikiranku” itu, maka apa lagi yang harus
tertinggal, karena ” aku sendiri” lalu tidak bisa melihat dan menanggapi apa-apa!
123. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa ”pikiranmu” itu adalah satusatunya
milikmu yang dapat memberikan penglihatan dan tanggapan!
Mengapa engkau harus mengakui ”pikiranmu” itu sebagai satu-satunya milikmu
yang dapat memberikan penglihatan dan tanggapan, Ananda, padahal engkau
sendiri tidak mengetahui dimanakah beradanya pikiranmu itu?
Apakah manfaatnya mengaku mempunyai milik, tetapi tidak mengetahui akan
apa, bagaimana, dan dimana beradanya milik itu?
124. Ananda:
Bapa, sekarang aku mengaku bodoh, dan mengaku dosa (salah)!
49
Aku mengaku bodoh, karena aku tidak mengetahui akan apa atau
siapakah sebetulnya ”aku sendiri” ini! Aku mengaku bodoh, karena aku mengaku
memiliki ”pikiran” yang dapat memberikan penglihatan dan tanggapan, namun
aku tidak mengetahui akan apa, bagaimana, dan dimanakah beradanya
”pikiranku” itu!
Bapa, aku mengaku menderita sudah, tanpa mengetahui akan siapakah
”aku sendiri” yang menderita sudah itu, dan tanpa mengetahui akan apa,
bagaimana, dan di manakah sumber asal mulanya kesusahan itu.
Betapa bodohnya aku ini, karena ketidak tahuanku sendiri, Bapa!
Aku mengaku dosa (salah), karena kebodohan dan ketidak tahuan ku
sendiri. Sebab, kebodohan dan ketidak tahuan itu, Bapa, tidak laun hanya akan
menimbulkan kesalahan-kesalahan, dan kekeliruan-kekeliruan belaka!
Celakalah aku ini, karena kebodohan dan kesalahanku sendiri!
Tolonglah, Bapa, tunjukkan kepadaku akan jalan keluarnya!.
2. KENYATAAN DAN BUKAN KENYATAAN
125. Bapa:
Baik, baik, Ananda, Baik!
Memang benar katamu itu, Ananda, karena kebodohan dan ketidak tahuan,
maka disitu hanya akan timbul kesalahan-kesalahan, dan kekeliruan-kekeliruan
belaka.
Ananda, hal semacam itu bukan hanya terjadi pada dirimu saja, melainkan
juga terjadi pada kebanyakan manusia yang hidup di dunia benda ini.
Banyak manusia didunia ini yang mengaku dirinya bijak, berpengetahuan,
pandai, dan terpelajar, namun mereka tidak menyadari, bahwa mereka itu
sebetulnya adalah orang-orang bodoh, tidak berpengetahuan, dan tidak sadar.
Dikatakan tidak sadar, karena mereka tidak kenal akan hakekat dirinya; dan
dikatakan bodoh dan tidak berpengetahuan, karena mereka tidak mengerti dan
tidak mengetahui akan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka tanggapi.
50
Tetapi, Ananda, engkau tidak perlu berkecil hati, dan tidak perlu
menyusahi atas keridak tahuan akan kesalahan-kesalahanmu yang terjadi pada
masa yang lalu.
Lupakanlah itu semua! Dan sekarang, pusatkanlah perhatianmu, dengarkan baikbaik
akan apa yang akan kukatakan ini, karena aku hendak bertanya lagi
kepadamu.
Ananda, dikala matamu kau pejamkan, apakah yang kau lihat?
126. Ananda:
Dikala matamu kupejamkan, Bapa, maka aku bisa melihat juga, yaitu
melihat gelap yang hitam kelam.
127. Bapa:
Ananda, didalam keadaan mata terpeja, engkau melihat ”gelap” yang
warnanya ”hitam”.
”Gelap”, itu bukan benda; demikian pula halnya dengan warna ”hitam”, itupun
bukan benda.
Apa yang kaunamakan sebagai ”gelap”, dan apa yang kaunamakan
sebagai ”hitam”, itu semua sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali
sebagai gagasan (mind conception) yang tergambar atau terbayang didalam
pikiran, dan yang kodratnya adalah maya atau semu, bagaikan perwujudan yang
terlihat dalam mimpi.
Gagasan, itu timbul dari pikiran itu sendiri, dan gagasan itu tidak dapat dipegang
ataupun diraba, namu terlihat oleh pikiran itu sendiri.
Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!
Melihat sesuatu gagasan, Ananda, apakah itu dapat dikatakan sebagai melihat
kenyataan, atau melihat gambaran khayal?
51
128. Ananda:
Melihat sesuatu gagasan, Bapa, itu tidak dapat dikatakan sebagai melihat
kenyataan, melainkan melihat gambaran khayal.
129. Bapa:
Bagus sekali, Ananda! Melihat suatu gagasan, itu adalah bukan melihat
kenyataan, melainkan melihat gambaran khayal.
Gagasan, Ananda, sebagai gambaran khayal, kodratnya adalah maya,
semu, bukan kenyataan, dan palsu (unreal).
Oleh karena itu lalu dapat dikatakan, bahwa gagasan itu berkodrat khayalan
palsu.
Melihat gagasan, atau melihat khayalan palsu, itu bukanlah melihat kenyataan,
melainkan berkhayal..
Ananda, kebayakan manusia yang hidup didunia benda ini menyatakan,
bahwa ”gelap” dan ”hitam” itu adalah kenyataan yang sungguh-sungguh, dan
berada diluar pikiran.
Mereka tidak mengenali, dan tidak menyadari dengan terang, bahwa ”gelap” dan
”hitam” itu sebetulnya tidak lain kecuali sebagai perwujudan gambar pikiran, dan
timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
Jadi, jelaskah disini, Ananda, bahwa ”penglihatan” dan ”tanggapan” itu adalah
berasal mula dan bersumber dari pikiran itu sendiri.
Tetapi, Ananda, dimanakah gerangan beradanya pikiran itu?
130. Ananda:
Bapa, justru pertanyaan tentang dimanakah beradanya pikiran, itulah
suatu pertanyaan yang sampai saat ini belum aku temukan jawabannya!
Sebab, semua tempat sudah aku selidiki, namun kesemuanya itu bukanlah
tempat dimana pikiran itu berada.
Dari hasil penelitian yang cermat dimuka tadi, maka telah ternyata, bahwa
pikiran iru bukan berada didalam tubuh, bukan berada di luat tubuh, bukan
52
berada pada sebagian daripada tubuh (diotak ataupun di mata), bukan berada
meliputi seluruh tubuh, dan juga bukan berada meliputi seluruh alam semesta.
Pendek kata, semua tempat bukanlah tempat beradanya pikiran !
131. Bapa:
Ananda, jikalau telah ternyata, bahwa semua tempat tidak dapat
dinyatakan sebagai tempat beradanya pikiran, lalu apa yang hendak kau
nyatakan tentang tempat beradanya pikiran itu?
Pikiran itu mengambil tempatkah, atau pikiran itu tidak mengambil tempatkah?
132. Ananda:
Oleh karena semua tempat tidak satu pun yang dapat dinyatakan sebagai
tempat beradanya pikiran, Bapa, maka dengan akal sehat sudah dapat
dipastikan, bahwa pikiran itu tidak mengambil tempat.
133. Bapa:
Bagus, bagus, bagus sekali, Ananda!
Pikiran itu tidak mengambil tempat, dan tidak membutuhkan tempat.
Nah, sekarang bagaimanakah kiranya pendapatmu, Ananda, apakah
pikiran yang tidak mengambil tempat itu sesuatu kenyataan ataukah bukan
kenyataan?
134. Ananda:
Tentu saja pikiran itu bukan suatu kenyataan, Bapa! Pikiran itu tidak
dapat dilihat, tidak dapat diraba, dan tidak mengambil tempat; bagaimana bisa
dianggap sebagai kenyataan?
Bukankah begitu, Bapa?
53
135. Bapa:
Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa pikiran itu bukan suatu
kenyataan, karena tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, dan tidak mengambil
tempat.
Jikalau benar, Ananda, bahwa pikiran itu bukan kenyataan, lalu
bagaimanakah mungkin pikiran itu dapat memberikan penglihatan? Bukankah
penglihatan itu dapat kau sadari sendiri kebenarannya? Masakah bukan
kenyataan bisa memberikan kenyataan penglihatan !?
136. Ananda:
O, ya, benar juga, Bapa!
Pikiran adalah kenyataan, karena pikiran itu dapat memberikan kenyataan
penglihatan yang dapat aku sadari sendiri kebenarannya.
137. Bapa:
Nah, Ananda, sekarang sudah cukup jelas, bahwa pikiran itu adalah
kenyataan yang tidak mengambil tempat, namun bisa memberikan kenyataan
penglihatan.
Dan, kalau demikian halnya, Ananda, maka aku sekarang hendak bertanya
kepadamu!
Kenyataan penglihatan itu mengambil tempat ataukah tidak mengambil tempat,
Ananda?
138. Ananda:
Kenyataan penglihatan itu berasal mula dan bersumber dari kenyataan
pikiran yang tidak mengambil tempat. Dan oleh karena kenyataan pikiran itu
tidak mengambil tempat, Bapa, maka kenyataan penglihatan itupu juga tidak
mengambil tempat.
54
139. Bapa:
Bagus, Ananda, bagus!
Pikiran, itu adalah kenyataan yang tidak mengambil tempat, dan demikian juga
penglihatanm itupun adalah kenyataan yang tidak mengambil tempat.
Ananda, bukankah kenyataan ini menunjukan, bahwa ”pikiran” itu tidak
lain adalah ”penglihatan” itu sendiri?
140. Ananda:
Benar, Bapa, pikiran, itu adalah penglihatan itu sendiri! Pikiran dan
penglihatan itu adalah kenyataan yang satu, dan tidak mengambil tempat.
141. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Pikiran dan penglihatan itu adalah kenyataan yang satu, dan yang tidak
mengambil tempat.
Dan oleh karena Pikiran dan Penglihatan itu adalah Kenyataan yang satu, dan
sama, maka barangkali tidak ada salahnya, jikalau Pikiran dan Penglihatan itu
aku sebut dengan satu sebutan saja, yaitu PIKIRAN MELIHAT.
Nah, sekarang aku hendak bertanya lagi kepadamu, Ananda! Jikalau
pikiran, atau penglihatan, atau Pikiran Melihat itu adalah Kenyataan, sedangkan
Kenyataan itu tidak mengambil tempat, lalu apakah yang dapat kau katakan
tentang benda-benda dan orang-orang yang mengambil tempat itu, Ananda?
Apakah benda-benda dan orang-orang yang mengambil tempat itu harus
kaunyatakan sebagai Kenyataan ataukah sebagai Bukan Kenyataan?
142. Ananda:
Jikalau ternyata sudah jelas, bahwa kenyataan itu tidak mengambil
tempat, Bapa, maka sebagai konsekwensinya, segala hal yang mengambil
tempat itu, seperti halnya dengan benda-benda dan orang-orang, seharusnya
dinyatakan sebagai Bukan Kenyataan.
55
Tetapi, Bapa, bagaimanakah bisa jadi, bahwa segala hal yang mengambil
tempat itu harus dinyatakan sebagai bukan kenyataan?
Padahal, benda-benda dan orang-orang yang mengambil tempat itu memang
sungguh-sungguh ada, berwujud, dapat dilihat, dan dapat diraba!
Rasanya hal ini susah dapat dimengerti!
Bagaimanakah jelasnya, Bapa?
143. Bapa
Benar. Ananda, segala hal yang mengambil tempat itu memang benar
ada, berwujud, dapat dilihat, dan dapat diraba.
Itu benar, benar sekali, dan tidak salah!
Tetapi, itu semua harus digolongkan sebagai bukan Kenyataan, Ananda!
Nah, sekarang dengarkan, karena aku akan membuat suatu
perumpamaan, dan kemudian bertanya kepadamu!
Seandainya, Ananda, engkau semalam tidur, dan bermimpidigigit macan, dan
merasa kesakitan.
Didalam keadaan tidur dan bermimpi itu, Ananda, apakah engkau betul-betul
melihat ”adanya” macan, dan betul-betul merasakan perasaan sakit?
144. Ananda:
Tentu saja, Bapa, didalam keadaan tidur, dan bermimpi, aku betul-betul
melihat ”adanya” macan itu, dan aku betul-betul mengalami sakit itu.
145. Bapa:
Tetapi, Ananda, sewaktu engkau terbangun, dan sudah bangkit dari
tidurmu, apakah macan tadi itu seekor macan yang sungguh-sungguh ataukah
bukan sungguh-sungguh?
56
146. Ananda:
Sewaktu aku terbangun, dan sudah bangkit dari tidurku, Bapa, maka
ternyata, bahwa macan tadi bukanlah seekor macan yang sungguh-sungguh,
melainkan macan khayal atau macan palsu!
147. Bapa:
Baik! Nah, sekarang, Ananda, didalam keadaan bangun dan bangkit dari
tidur, apakah macan khayal itu tadi masih dapat dilihat kembali didalam ingatan
pikiranmu? Dan apakah kesan perasaan sakit itu masih dapat dimunculkan
kembali didalam ingatan pikiranmu?
148. Ananda:
Masih dapat, Bapa, didalam keadaan bangun dan bangkit dari tidur
bermimpi, maka macan khayal itu masih dapat dilihat kembali didalam ingatan
pikiranku; demikian pula kesan perasaan sakit itu masih dapat dimunculkan
kembali didalam ingatan pikiranku.
149. Bapa:
Ananda, didalam keadaan tidak bermimpi, apakah engkau pada saat itu
merasa sadar?
150. Ananda:
Pada saat didalam keadaan tidur bermimpi, Bapa, maka didalam mimpi
itu aku merasa betul-betul sadar!
151. Bapa:
Lalu, apakah yang dapat kaukatakan setelah engkau bangun dan bangkit
dari tidurmu, Ananda? Apakah didalam meadaan tidur bermimpi itu engkau
betul-betul sadar atau tidak sadar?
Coba terangkan jawabanmu!
57
152. Ananda:
Memang, Bapa pada saat sedang dalam keadaan tidur bermimpi aku
merasa betul-betul sadar.
Tetapi, begitu aku bangun, dan bangkit dari tidurku, maka tahulah aku, bahwa
didalam keadaan tidur itu aku sama sekali tidak sadar.
Dikatakan tidak sadar, karena apa yang terlihat seolah-olah sebagai kenyataan
didalam mimpi, ternyata bukan kenyataan apa-apa, kecuali gambaran khayal
belaka!
153. Bapa:
Ananda, kebanyakan manusia yang hidup didalam dunia benda ini
menyatakan dirinya sebagai sadar; padahal, sebetulnya mereka itu tidak sadar.
Mereka dalam keadaan bagaikan mimpi!
Dikatakan tidak sadar, karena mereka tidak mengenali akan hakekat
dirinya. Dan lagi, mereka tidak mengenali akan hakekat benda-benda dan orangorang
yang mereka lihat itu.
Mereka menyatakan, bahwa benda-benda dan orang-orang yang mengambil
bentuk, rupa, dan tempat itu sebagai banyaknya dan macamnya kenyataankenyataan
yang sungguh-sungguh, dan berada di luar pikiran.
Padahal,sebetulnya benda-benda dan orang-orang yang mereka lihat sebagai
mengambil tempat itu adalah bukan Kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan
gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran
itu sendiri.
Pikiran-Melihat, itulah Kenyataan; dan kenyataan itu tidak mengambil tempat.
Bagaimana, Ananda, cukup jelaskah sekarang, mengapa segala hal yang
mengambil tempat itu harus dinyatakan sebagai bukan Kenyataan?
154. Ananda:
Kiranya cukup jelas, Bapa!
58
Jadi, pikiran, atau penglihatan, atau Pikiran-Melihat, itulah Kenyataan; dan
Kenyataan itu tidak mengambil tempat. Adapun segala hal yang mengambil
tempat itu, sebetulnya tidak lain hanyalah gagasan yang berkodrat khayalanpalsu,
dan adalah perwujudan dan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan
dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
155. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!
Apakah yang dapat kau katakan tentang segala hal yang tampak sebagai ada,
berwujud, dan mengambil tempat itu, Ananda?
Apakah mereka itu terlihat sebagai kenyataan ataukah mereka itu dikhayalkan
sebagai kenyataan?
156. Ananda:
Oleh karena segala hal yang tampak sebagai ada, berwujud, dan
mengambil tempat itu tidak lain hanyalah berupa gagasan yang berkodrat
khayalan-palsu, dan hanya merupakan perwujudan gambar-pikiran yang timbul
dari pikiran itu sendiri, Bapa, maka segala hal itu sebetulnya bukannya terlihat
sebagai kenyataan, melainkan terlihat dalam khayalan atau dikhayalkan.
157. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Nah, sekarang, Ananda, bagaimanakah pendapatmu mengenai Kenyataan itu?
Apakah Kenyatakan itu terlihat, ataukah tidak terlihat?
158. Ananda:
Bapa, sekarang sudah cukup jelas, bahwa segala yang tampak sebagai
ada, berwujud, dan mengambil tempat itu sebetulnya bukan-kenyataan, kecuali
perwujudan gambar-pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi
59
oleh pikiran itu sendiri. Sedangkan Kenyataan yang sesungguhnya, itu adalah
pikiran-melihat, atau Pikiran, atau penglihatan itu sendiri.
Tetapi, Bapa, sampai saat ini aku masih belum dapat mengenali akan apa
atau siapakah sebetulnya aku sendiri ini, atau dengan lain perkataan, aku belum
dapat mengenal akan hakekat diriku!
Lalu apakah hubungannya diantara aku sendiri ini dengan Penglihatan itu, Bapa?
3. HAKEKAT ”AKU” DAN KENYATAAN ESA
161. Bapa:
Baiklah, Ananda, tetapi hendaklah engkau bersabar dulu! Sebelum aku
menjawab pertanyaanmu itu, maka aku masih hendak mengajukan beberapa
pertanyaan kepadamu.
Ananda, jikalau sudah jelas bagimu, bahwa Kenyataan itu tidak
mengambil tempat, maka lalu bagaimanakah pendapatmu tentang Kenyataan
itu, Ananda? Apakah kenyataan tidak mengambil tempat itu mempunyai zat
ataukah tidak mempunyai zat (substance)?
162. Ananda:
Sesuatu yang mempunyai zat, Bapa, itu pasti akan mengambil tempat.
Dan oleh karena Pikiran Melihat itu adalah kenyataan yang tidak mengambil
tempat, maka dapat dipastikan, bahwa Pikiran Melihat itu tidak mempunyai zat.
163. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
60
Pikiran Melihat, sebagai kenyataan yang tidak mengambil tempat. Itu tidak
mempunyai zat. Artinya, Pikiran Melihat itu hampa zat.
Nah, jikalau Pikiran Melihat itu hampa zat, Ananda, apakah Pikiran Melihat
itu mempunyai bentuk dan rupa?
164. Ananda:
Segala sesuatu yang mempunyai bentuk dan rupa, Bapa, maka pastilah ia
mempunyai zat. Dan oleh karena Pikiran Melihat itu hampa zat, maka dapat
dipastikan, bahwa Pikiran Melihat itu hampa bentuk dan hampa rupa.
165. Bapa:
Nah, sekarang,, Ananda, Pikiran Melihat yang hampa bentuk, dan hampa
rupa itu, apakah ia itu terlahir ataukah tidak terlahirkan, Ananda?
166. Ananda:
Segala sesuatu yang terlahir, Bapa, maka dapat dipastikan, bahwa ia itu
mempunyai bentuk dan rupa. Tetapi, karena Pikiran Melihat itu hampa bentuk
dan hampa rupa, maka tentunya Pikiran Melihat itu adalah hampa kelahiran.
167. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Pikiran Melihat itu hampa kelahiran, artinya: tidak melahirkan, dan juga tidak
dilahirkan.
61
Lalu, Ananda, apakah Pikiran Melihat ang hampa kelahiran itu bisa
mengalami kematian?
168. Ananda:
Tentu saja tidak, Bapa!
Pikiran Melihat yang hampa kelahiran itu tak akan pernah mengalami kematian.
Bagaimana bisa mati, Bapa, terlahir saja tidak!
169. Bapa:
Bagus, ananda!
Lalu, bagaimana kiranya pendapatmu, ananda, apakah pikiran melihat itu
berbeda-beda dan dapat dibedakan menurut ciri-ciri perorangan.
170. Ananda:
Sudah cukup jelas, Bapa, bahwa pikiran melihat itu adalah hampa zat,
hampa bentuk, dan hampa rupa. Karena demikian, maka jelas pula, bahwa
pikiran melihat itu bukan perorangan (non personal) yang berbeda-beda, dan
tidak dapat dibeda-bedakan menurut ciri-ciri perorangan.
171. Bapa:
Tepat sekali, ananda!
Pikiran melihat, itu bukan perorangan yang berbeda-beda, dan tidak dapat
dibeda-bedakan menurut ciri-ciri perorangan. Singkatnya, pikiran melihat itu
hampa perorangan, hampa pembedaan, hampa pencirian.
Nah, didalam hubungannya dengan pikiran melihat atau pengelihatan
yang hampa perorangan dan hampa pembedaan itu, ananda, apakah pikiran
melihat itu dapat dinyatakan sebagai milik, memiliki, atau dimiliki?
62
172. Ananda:
Tidak Bapa, pikiran melihat atau pengelihatan itu tidak dapat dinyatakan
sebagai milik, tidak dapat dinyatakan sebagai memiliki, dan tidak juga dapat
dikatakan sebagai dimiliki, sebab pikiran melihat itu adalah hampa perorangan
dan hampa pembedaan.
173. Bapa:
Nah, ananda, dari apa yang engkau teliti dengan cermat melalui akal
sehat yang telah dipuncakkan itu maka ternyata, bahwa pikiran melihat, atau
pikiran, atau pengelihatan itu adalah hampa pembedaan. Ini artinya ialah, bahwa
pikiran melihat itu adalah Kenyataan Tunggal, atau Kenyataan Esa, yaitu
kenyataan satu-satunya, yang tiada kenyataan yang lain, kecuali yang satusatunya
itu.
Ananda, engkau sudah mengetahui, bahwa pikiran melihat, atau
pengelihatan itu bukannya dilihat, melainkan dihayati dan disadari. Bagaimana
ananda, engkau sadari dan engkau hayatikah pengelihatan itu?
174. Ananda:
Benar Bapa, aku menyadari dan menghayati pengelihatan itu, dan oleh
karena itu aku melihat.
175. Bapa:
Bagus!
Engkau telah mengenali ananda, bahwa pikiran melihat itu adalah satu-satunya
kenyataan yang memberikan pengelihatan. Ini berarti, bahwa pikiran melihat itu
melihat.
Dan ananda, engkau telah membuktikan sendiri, bahwa pikiran melihat,
atau pengelihatan itu adalah kenyataanyang kau hayati sendiri dan kau sadari
sendiri. Ini berarti, bahwa engkau sendiri itu melihat.
Nah, perhatikan hal ini ananda!
63
Pikiran melihat itu melihat, dan engkau sendiri itu melihat! Tahukah engkau
sekarang ananda, apa atau siapakah sebetulnya engkau sendiri (your self) itu?
176. Ananda:
Aku tahu, Bapa, bahwa pikiran melihat itu melihat, sedangkan aku sendiri
ini menyadari, bahwa aku sendiri ini melihat. Kalau demikian halnya Bapa, maka
kiranya tidak dapat disangsikan lagi, bahwasanya aku sendiri (my self) ini tidak
lain adalah pikiran melihat, atau pikiran, atau pengelihatan itu sendiri.
Bukankah begitu Bapa?
177. Bapa:
Bagus, bagus, bagus sekali ananda!
Melalui akal yang dipuncakkan, maka engkau sekarang telah mengenali, bahwa
engkau sendiri (your self) itu adalah pikiran melihat itu sendiri, ya pikiran itu
sendiri, ya pengelihatan itu sendiri.
Dan oleh karena pikiran melihat itu adalah Kenyataan Esa, maka tidak
dapat disangsikan lagi, ananda, bahwa engkau sendiri itu adalah Kenyataan Esa
itu sendiri, yaitu engkau sendiri yang hampa ciri-ciri perorangan, dan hampa
pembedaan, dan yang disebut dengan nama: ”AKU”!
Jadi, ananda, ”AKU” itu adalah nama dari Kenyataan Esa, dan bukannya
penamaan bagi perorangan seperti misalnya Amat, Badu, Polan dan sebagainya
itu. Singkatnya, ”AKU” adalah Kenyataan Esa!
178. Ananda:
Bapa, sekarang aku sudah dapat mengenali bahwa segala hal yang
terlihat sebagai ”ada” dan ”berwujud” itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa,
kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta
ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
Kalau demikian Bapa, apakah hal itu dapat diartikan, bahwa pikiran itu
adalah sumber asal mula dan pencipta daripada dunia benda ini?
64
4. BENAR DAN KELIRU
179. Bapa:
Ananda, bahwa segala hal itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa,
kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta
ditanggapi oleh pikiran itu sendiri, itu adalah pernyataan yang benar!
Tetapi ananda, hendaknya engkau jangan terburu-buru mengambil
kesimpulan, bahwa pikiran itu adalah menjadi sumber asal mula dan pencipta
daripada dunia benda ini, sebelum diadakan penelitian yang cermat!
Nah, sebelum menjawab pertanyaanmu itu, ananda, maka aku hendak
mengajukan pertanyaan lebih dahulu kepadamu!
Jikalau benar, ananda, bahwa pikiran itu adalah sumber asal mula dan
pencipta daripada dunia benda yang ”ada” dan ”berwujud” ini, maka pikiran
itu tentunya dapat dinyatakan sebagai ”ada”, karena, apa yang ”ada” itu
berasal daripada apa yang ”ada”. Apakah pikiran itu dapat dinyatakan
sebagai ”ada” ananda?
180. Ananda:
Pikiran, itu adalah Kenyataan yang hampa zat, Bapa! Dan oleh karena
hampa zat, maka pikiran itu bukanlah keadaan. Dan apa yang bukan keadaan
itu tidak dapat dinyatakan sebagai ”ada” atau ”tidak ada”.
Kalau demikian halnya Bapa, maka ternyata bahwa pikiran itu tidak dapat
dinyatakan sebagai sumber asal mula dan pencipta daripada dunia benda ini.
181. Bapa:
Bagus sekali ananda!
Pikiran, sebagai Kenyataan Esa yang hampa zat, itu tidak dapat dinyatakan
sebagai ”ada” atau ”tiada”, dan demikian pula, pikiran itu tidak dapat
dinyatakan sebagai sumber asal mula dan pencipta daripada dunia benda ini.
65
182. Ananda:
Lalu hubungan apakah yang dapat dinyatakan diantara pikiran sebagai
kenyataan disatu pihak dan dunia benda sebagai bukan kenyataan dilain
pihak itu, bapa? Agaknya hal ini belum dapat aku mengerti dengan jelas!
183. Bapa:
Baiklah ananda, coba sekarang renungkan dalam-dalam perumpamaan
yang aku buat ini dan jawablah pertanyaanku!
Jikalau seandainya, ananda, engkau berdiri di depan sebuah cermin,
maka apakah yang kau lihat, ananda?
184. Ananda:
Jikalau aku berdiri di depan sebuah cermin, Bapa, maka aku melihat
bayanganku sendiri!
185. Bapa:
Nah, sekarang aku bertanya kepadamu ananda! Apakah yang dapat kau
katakan tentang bayangan yang ada dan berwujud di dalam cermin itu
ananda? Apakah bayangan itu diciptakan atau dijadikan olehmu ataukah
bayangan itu terlihat olehmu?
186. Ananda:
Bayangan di dalam cermin itu ada dan berwujud, bukanlah oleh sebab
aku ciptakan atau aku jadikan Bapa, sebab aku tidak pernah berusaha dan
berbuat apa-apa untuk menciptakan atau menjadikannya. Bayangan yang
ada dan berwujud didalam cermin itu hanyalah terlihat semata-mata olehku
seperti demikian itu.
187. Bapa:
Bagus!
66
Apa yang ada dan berwujud itu hanyalah terlihat atau terbayang seperti
demikian itu oleh sebab kodrat daripada cermin itu.
Nah, seperti demikian itu pulalah halnya, ananda, hubungan yang
terdapat diantara pikiran sebagai kenyataan disatu pihak, dan dunia benda
sebagai bukan kenyataan dilain pihak.
Ananda, pikiran itu kenyataan! Sedangkan segala hal yang ada dan
berwujud itu sebetulnya bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan
gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan terlihat serta ditanggapi oleh
pikiran itu sendiri.
Singkatnya, apa dan bagaimanapun sesuatu yang dinyatakan sebgai ada
dan berwujud itu, sebetulnya tidak lain hanyalah pikiran itu sendiri, dan tidak
ada kenyataan apapun diluar pikiran itu sendiri.
Jadi, ananda, pikiran itu bukanlah menciptakan atau menjadikan apa yang
ada dan berwujud ini, melainkan apa yang ada dan berwujud ini tidak lain
hanyalah apa yang terlihat atau terbayang oleh pikiran itu sendiri.
Bagaimana, ananda, sudah cukup jelaskah?
188. Ananda;
Sudah cukup jelas Bapa!
Jadi, tegasnya adalah, bahwa tidak pernah ada apa atau siapapun yang
diciptakan atau dijadikan, demikian pula tidak pernah ada apa ataupun siapa
yang menciptakan atau menjadikan. Bukankah begitu Bapa?
189. Bapa:
Benar, ananda, benar!
Benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu bukanlah ”ciptaan’ yang
diciptakan atau dijadikan oleh apa atau siapapun! Sebab, kenyataan yang
sebetulnya adalah bahwa benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu
tidak lain adalah gambar perwujudan pikiran yang timbul dari pikiran dan
terlihat oleh pikiran itu sendiri.
67
Tetapi, ananda, oleh sebab ketidak tahuan atau kebodohan manusia,
maka benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu dikiranya sebagai
”ciptaan” yang diciptakan oleh ”Sang Pencipta”!, dan berbeda-beda serta
dibeda-bedakan menurut banyaknya dan macamnya seolah-olah bendabenda,
orang-orang, dan objek-objek itu adalah kenyataan-kenyataan yang
sungguh-sungguh, dan berada diluar pikiran itu sendiri.
190. Ananda:
Aku menyela pertanyaan sebentar, Bapa, karena ada suatu istilah yang
belum aku mengerti maknanya dengan jelas!
Bapa telah mengatakan tentang ”ketidak tahuan manusia”. Apa atau
siapakah sebetulnya yang dimaksud dengan istilah ”manusia’ itu?
191. Bapa:
Manusia ananda, itu adalah pikiran berpikir, yaitu si pemikir. Pikiran
berpikir (thinking mind), itu adalah pikiran yang melihat, membeda-bedakan,
membanding-bandingkan, mempertimbangkan nilai-nilai, dan memilih-milih
gambar-gambar pikiran (image) yang timbul dari pikiran itu sendiri, seolaholah
sebagai banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan yang berada
diluar dari pikiran itu sendiri. Dan oleh karena asas dasar pikiran berpikir itu
adalah pembedaan-pembedaan, maka pikiran berpikir itu dapat disebut juga
sebagai pikiran membedakan (discriminating mind).
Singkatnya, ananda, manusia = si pemikir = pikiran berpikir = pikiran
membedakan. Bagaimana, cukup jelas, ananda, apa yang dimaksud dengan
sebutan ”manusia” itu?
192. Ananda:
Sudah, sudah cukup jelas, Bapa!
68
193. Bapa:
Baik! Sekarang aku teruskan dengan apa yang hendak aku katakan tadi
itu.
Ananda, karena ketidak tahuan manusia, maka benda-benda, orang-orang
dan objek-objek itu dikiranya sebagai ”ciptaan” yang diciptakan oleh ”sang
pencipta”. Dan kemudian benda-benda, orang-orang, dan objek-objek itu
dilihatnya sebagai berbeda-beda dan dapat dibeda-bedakan menurut
banyaknya dan macamnya, seolah-olah benda-benda, orang-orang dan
objek-objek itu adalah kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya, dan berada
diluar pikiran itu sendiri. Ini adalah suatu kekeliruan!
Dan kekeliruan ini timbul oleh sebab ketidak tahuan, yaitu tidak tahu akan
asas kenyataan, bahwasanya segala apa yang ada dan berwujud itu
sebetulnya bukan kenyataan apa-apa kecuali perwujudan gambar pikiran,
yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
Nah, jikalau demikian halnya ananda, maka aku hendak bertanya
kepadamu! Tahukah engkau mana yang harus dinyatakan sebagai k e l i r u,
dan mana pula yang harus dinyatakan sebagai b e n a r?
194. Ananda:
Tidak tahu akan asas Kenyataan, Bapa, itu akan menyatakan kesalahankesalahan
dan kekeliruan-kekeliruan. Tetapi sebaliknya, tahu akan asas
kenyataan, itu akan menyatakan kebenaran.
Menyatakan kenyataan sebagai bukan kenyataan, dan menyatakan bukan
kenyataan sebagai kenyataan, itu harus dinyatakan sebagai keliru. Tetapi,
menyatakan kenyataan sebagai kenyataan, dan menyatakan bukan
kenyataan sebagai bukan kenyataan, itu harus dinyatakan sebagai benar.
195. Bapa.
Bagus sekali, ananda!
69
Jadi, ”Ukuran” daripada benar atau keliru, itu adalah terletak kepada tahu
atau tidak tahunya mengenai kenyataan yang hampa pembedaan itu.
Ketidak tahuan manusia akan kenyataan yang hampa pembedaan itu,
maka manusia akan melakukan kekeliruan, seolah-olah apa yang dibedabedakannya
itu adalah banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan.
Padahal kenyataan itu bukannya banyak dan bermacam-macam, melainkan
satu, tunggal atau Esa.
Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, ananda! Apakah membedakan
mana yang kenyataan dan mana yang bukan kenyataan itu harus dinyatakan
sebagai keliru juga? Terangkan jawabmu!
196. Ananda
Melakukan pembedaan diantara mana yang kenyataan, dan mana yang
bukan kenyataan, Bapa, itu tidak dapat dinyatakan sebagai keliru! Sebab,
jikalau seseorang melakukan pembedaan diantara mana yang kenyataan dan
mana yang bukan kenyataan, maka hal itu akan berarti, bahwa ia tahu mana
sesungguhnya kenyataan itu, dan mana sesungguhnya bukan kenyataan itu.
Tetapi sebaliknya, jikalau seseorang tidak tahu bedanya, mana
sesungguhnya kenyataan itu, dan mana sesungguhnya bukan kenyataan itu,
maka hal itu akan berarti, bahwa ia tidak tahu kedua-duanya.
197. Bapa
Bagus sekali jawabanmu, ananda! Melakukan pembedaan, dengan
mengetahui bedanya mana yang sesungguhnya kenyataan, dan mana yang
sesungguhnya bukan kenyataan tidak dapat dinyatakan sebagai keliru,
melainkan harus dinyatakan sebagai benar. Pembedaan seperti ini, ananda,
disebut sebagai pembedaan benar!
Sebaliknya, melakukan pembedaan-pembedaan terhadap apa yang ada
dan berwujud, seolah-olah apa yang ada dan berwujud itu adalah kenyataan70
kenyataan, itu harus dinyatakan sebagai keliru. Dan pembedaan seperti ini
disebut sebagai pembedaan keliru.
198. Ananda
Dimuka telah dinyatakan, Bapa, bahwa azas dasar pikiran berpikir adalah
pembedaan, dan tidak semua pembedaan itu adalah keliru karena ada
pembedaan benar dan ada pula pembedaan keliru.
Kalau demikian itu halnya, bapa, maka akan dapat ditarik kesimpulan,
bahwa berpikir diatas dasar pembedaan benar haruslah dinyatakan sebagai
berpikir benar, sedangkan berpikir diatas dasar pembedaan keliru haruslah
dinyatakan sebagai berpikir keliru. Apakah bukan begitu, Bapa?
199. Bapa
Benar, ananda, memang benar demikian!
Ananda, mengerti, bahwasanya segala apa yang ada dan berwujud itu
sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran
yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri,
maka pengertian semacam itu disebut sebagai: ”pengertian – benar”.
Diatas landasan pengertian-benar, ananda, maka engkau akan dapat
berpikir-benar; dan sebaliknya, diatas landasan pengertian-keliru engkau
akan berpikir-keliru.
Berpikir keliru adalah berpikir dengan melakukan pembedaan-pembedaan
keliru atau pembedaan-pembedaan khayal.
Dikatakan pembedaan khayal, karena pembedaan dilakukan datas hal-hal
yang kodratnya khayalan-palsu.
200. Ananda
Bapa, aku sudah mengerti melalui pengertian-benar, bahwa ketidaktahuan
itu telah menmbulkan kekeliruan-kekeliruan dengan melakukan pembedaanpembedaan
khayal. Dan aku telah mengerti, Bapa, rasanya terlalu sulit
71
bagiku, kalau tidak hendak aku katakan sebagai tidak mungkin, untuk tidak
melakukan pembedaan-pembedaan terhadap apa yang ada dan berwujud
didalam kehidupan dunia-keadaan ini. Sudikah Bapa menerangkan, apakah
kiranya yang menjadi sebab-musababnya?
201. Bapa
Ananda, engkau telah menyatakan, bahwa melakukan pembedaanpembedaan
khayal itu adalah keliru, dan harus segera dibetulkan. Tetapi,
engkau telah menyatakan pula, bahwa rasanya terlalu sulit bagian untuk
tidak melakukan pembedaan-pembedaan didalam dunia-keadaan ini.
Untuk menjawab pertanyaan ini, ananda, maka aku hendak bertanya lebih
dulu kepadamu!
Ananda, apakah yang menjadi makanan-baku bagimu sehari-hari?
202. Ananda
Sehari-hari aku makan ubi pohon (singkong) sebagai makanan baku,
Bapa.
203. Bapa
Sejak kapan engkau telah mulai makan singkong sebagai makanan-baku,
Ananda?
204. Ananda
Aku makan singkong sebagai makanan baku sudah dari sejak kecil,Bapa,
dari sejak masa kanak-kanak!
205. Bapa
Ananda, mengertikah engkau, bahwa nasi itu sebetulnya lebih
menyehatkan daripada singkong?
72
206. Ananda
Mengerti, Bapa! Aku mengerti, bahwa nasi adalah lebih menyehatkan
jikalau dibandingkan dengan singkong.
207. Bapa
Jikalau engkau sudah mengerti, Ananda, bahwa nasi itu lebih
menyehatkan daripada singkong, mengapakah engkau tidak beralih saja dari
makan singkong kepada makan nasi?
208. Ananda
Rasanya berat bagiku untuk beralih dari makan singkong kepada makan
nasi, Bapa, sebab aku sudah terlalu biasa dengan makan singkong itu. Dan
lagi, bagiku makan singkong itu terasa lebih memberikan kenikmatan
daripada makan nasi.
209. Bapa
Ananda, engkau telah menyatakan mengerti, bahwa nasi adalah lebih
menyehatkan daripada singkong. Tetapi engkau merasa berat untuk beralih
dari makan singkong kepada makan nasi, justru karena engkau merasa telah
terlalu biasa dengan makan singkong, sehingga singkong engkau rasakan
sebagai lebih memberikan kenikmatan daripada nasi.
Dari pengalaman dan penghayatanmu itu sendiri, Ananda, engkau telah
dapat mengenali, bahwa kebiasaan itu ternyata mempunyai kekuatan untuk
mengalahkan PENGERTIAN.
Nah, seprti demikian pulalah halnya dengan pembedaan-pembedaan itu,
Ananda! Kebiasaan untuk menanggapi pembedaan-pembedaan itu ternyata
mempunyai kekuatan untuk mengalahkan pengertianmu, bahwa pembedaan
khayal itu seharusnya tidak dilakukan, ananda. Kebiasaan itu ternyata
mempunyai kekuatan yang cukup besar justru karena kebiasaan itu engkau
73
pupuk dan engkau pelihara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup
lama.
Ananda, karena kebiasaan melakukan pembedaan-pembedaan terhadap
apa yang ada dan berwujud ini sebagai banyaknya dan macamnya
kenyataan-kenyataan, maka kebiasaan itu menjadi berurat dan berakar
didalam pikiran, sehingga akhirnya pikiran menjadi melekat (attached)
kepada kebiasaan tanggapannya sendiri.
210. Ananda
Bapa, tahulah aku sekarang, bahwa kekeliruan-kekeliruan dan kesalahankesalahan
itu berakar dari ketidak tahuan, pembedaan, kebiasaan tanggapan,
dan kemelekatan pikiran kepada khayalan palsu. Bukankah benar demikian,
Bapa?
211. Bapa
Tepat sekali, Ananda! Memang kekeliruan dan kesalahan itu timbul dari
ketidaktahuan (kebodohan), pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan
tanggapan, dan kemelekatan pikiran kepada khayalan palsu.
Ananda, karena dosanya (kekeliruannya) sendiri, maka manusia terpaksa
harus menanggung sengsara dan menderita seperti: kesedihan, ratap tangis,
kesakitan, kecelakaan, ketuaan, kelapukan dan kematian (maut).
Karena kekeliruannya sendiri, Ananda, maka manusia terpaksa harus
mengikuti putaran roda kelahiran dan kematian terus menerus dengan tak
berdaya apa-apa, dan tetap menanggung sengsara dan menderita selamalamanya.
Jadi, Ananda, kesengsaraan dan penderitaan itu tidak akan dapat
berakhir, jikalau dosa (kekeliruan) itu tidak diakhiri. Dan kekeliruan itu tidak
akan berakhir, selama ketidak tahuan, pembedaan-pembedaan khayal,
kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan itu tidak diakhiri. Dan, Ananda,
ketidaktahuan, pembedaan-pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan, dan
74
kemelakatan itu tidak akan bisa berakhir, selama belum ditembusi dan
diselami sendiri pengetahuan dan pengertian benar.
Oleh karena itu, Ananda, untuk menghentikan kesengsaraan dan
penderitaan, maka langkah pertama yang harus di tempuh adalah mengaku
dosa (keliru), dan segera setelah itu lalu berusaha untuk menghentikan
kekeliruan itu melalui pengetahuan dan pengertian benar. Melalui pengertian
benar, Ananda, engkau akan dapat mengenali, manakah yang benar, dan
manakah yang keliru itu.
212. Ananda:
Tampaknya dunia benda yang serba gerak dan berubah ini telah banyak
menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, karena tidak dikenali dengan
cara yang benar akan apa sebetulnya dunia keadaan ini, dan bagaimanakah
sebab musabab timbulnya.
Sehubungan dengan itu, Bapa, sudikah Bapa menerangkan dengan cara
yang lebih jelas akan sebab musabab timbulnya dunia benda ini?
5. HUBUNGAN SALING BERGANTUNG DAN TATA SUSUNAN PIKIRAN
213. Bapa:
Sudah cukup jelas bagimu, ananda, bahwa dunia benda ini bukanlah
”cipataan” yang di ciptakan oleh ”sang pencipta”. Demikian pula sudah cukup
jelas kiranya, bahwa dunia benda sebagai perwujudan gambar pikiran itu
bukanlah ”ciptaan” yang diciptakan oleh Pikiran, dan juga bukan ”kejadian” yang
dijadikan oleh Pikiran itu. Dunia benda ini tidak lain kecuali perwujudan gambar
pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu
sendiri.
Nah, kalau demikian itu halnya, ananda, maka sekarang aku hendak
bertanya kepadamu! Apakah diantara Pikiran dan perwujudannya itu ada
hubungan ”sebab” dan ”akibat”, ananda?
75
214. Ananda:
Oleh karena segala hal itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan
gambar pikiran, yang timbul dari pikiran, dan terlihat oleh pikiran itu sendiri,
Bapa, maka Pikiran dan perwujudannya itu bukanlah dua hal yang berpisah dan
berbeda, melainkan pikiran dan perwujudannya itu adalah satu dan sama, yaitu
Pikiran itu sendiri.
Dan oleh karena Pikiran dan perwujudannya itu adalah Pikiran itu sendiri,
Bapa, maka diantara Pikiran dan perwujudannya itu tidak ada hubungan ”sebab”
dan ”akibat”.
215. Bapa:
Tepat, dan benar sekali jawabanmu, ananda! Pikiran dan perwujudannya
itu tidak mempunyai hubungan sebagai ”sebab” dan ”akibat”. Nah, kalau
demikian itu halnya, ananda, maka bagaimanakah pendapatmu tentang ”sebab”
dan ”akibat” itu?
Apakah ”sebab” dan ”akibat” itu kenyataan atau bukan kenyataan, ananda? Coba
terangkan jawabmu!
216. Ananda:
”Sebab” dan ”akibat”, bapa, itu bukanlah kenyataan yang sesungguhnya
daripada dua hal yang berpisah dan berbeda, sebab disitu tidak akan pernah
diketahui pada saat yang manakah berakhirnya sesuatu ”sebab”, dan pada saat
yang manakah dimulainya sesuatu ”akibat”.
Dan jikalau ”sebab” dan ”akibat” itu tampak seolah-olah sebagai dua buah
kenyataan yang berpisah dan berbeda, bapa, maka hal itu hanyalah disebabkan
oleh pembedaan-pembedaan khayal yang dilakukan oleh pikiran terhadap
perwujudannya sendiri.
76
217. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
”Sebab” dan ”akibat” itu bukanlah Kenyataan, dan mereka itu timbul hanya oleh
sebab pembedaan-pembedaan khayal yang dilakukan oleh Pikiran terhadap
perwujudannya sendiri.
Tegasnya, ananda, ”sebab” dan ”akibat” itu bukanlah kenyataan apa-apa,
kecuali gagasan pikkiran (mind conception) yang timbul dari pikiran itu sendiri.
Ananda, oleh sebab kemelekatan pikiran kepada kebiasaan, menanggapi
pembedaan-pembedaan khayal mengenai sebab-sebab, rupa, dan nama-nama,
maka duania keadaan ini lalu tampak seolah-olah sebagai terdiri dari bendabenda,
orang-orang, dan obyek-obyek yang mempunyai zat sendiri (selfsubstance)
dan kkodrat sendiri (self nature). Dikatakan sebagai mempunyai
tempat, dan dikatakan sebagai mempunyai kodrat sendiri, karena mereka itu
tampak sebagai bergerak-gerak dan berubah sendiri.
218. Ananda:
Bapa, apakah yang dimaksud dengan pembedaan khayal mengenai rupa
dan nama itu?
219. Bapa:
Yang dimaksud dengan rupa, ananda, itu adalah perwujudan gambar
pikiran yang muncul melalui lima alat-alat perasaan, yang umumnya disebut
sebagai lima alat-alat penginderaan (five sense organs), yaitu: mata, telinga,
hidung, lidah, dan kulit. Apa yang terlihat melalui mata, terdengar melalui
telinga, terbau melalui hidung, tercicip melalui lidah, dan teraba melalui kulit,
itulah yang dimaksudkan dengan rupa itu.
Banyaknya dan macamnya rupa itu, ananda, dibeda-bedakan secara
khayal oleh pikiran membedakan (discriminating mind) dan diberikan sebutan
dengan kata-kata untuk menunjukkan ciri-ciri perorangan daripada masingmasing
rupa itu.
77
Inilah yang dimaksud dengan memberikan nama!
Nama-nama itu, ananda, dikhayalkan sebgai kenyataan-kenyataan yang seolaholah
”memiliki” rupa dan zat sendiri, sehingga seseorang lalu berkata: ”Jikalau
demikian itu namanya, maka begitu itulah bendanya, tidak bisa lain!”
Rupa dan nama, ananda, itu sebetulnya tidak lebih daripada gagasangagasan
pikiran (mind conceptins) yang dibayangkan oleh pikiran sebagai
banyaknya dan macamnya perorangan (individu) yang mempunyai kodrat
sendiri.
Nama, itu timbul dari pembedaan kata-kata: sedangkan kata-kata, itu bukan
kenyataan apa-apa, kecuali suara-suara angin tenggorokan yang kepadanya
diberikan arti-arti khayal semaunya saja.
Bagaimana, ananda, cukup jelaskan mengenai rupa dan nama itu?
220. Ananda:
Sudah, sudah cukup jelas, Bapa!
Nah, sekarang kembali kepada soal gerak perubahan itu tadi, bapa!
Sudihkan Bapa menerangkan tentang kodrat dan sebab musabab timbulnya
gerak perubahan itu?
221. Bapa:
Ananda, dunia keadaan ini tampak sebagai mengalami gerak perubahan
terus menerus dengan taka ada henti-hentinya. Karena hal yang demikian itu,
ananda, maka para pujangga lalu memastikan, bahwa gerak perubahan itu
timbul dari adanya sebab dan syarat, dan yang tunduk kepada Hukum Sebab
Akibat.
Spekulasi para pujangga itu timbul, ananda, oleh sebab mereka tidak
mengenali azas dasar kenyataan, bahwasanya segala apa yang ada dan
berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar
pikiran, yang timbul dari pikiran, dan dilihat seta ditanggapi oleh pikiran itu
sendiri.
78
Dan mereka tidak mengenali kodrat dan makna yang sebenarnya daripada ”ada”
dan ”tidak ada”, dan juga tidak mengenali kodrat dan makna yang sebanrnya
daripada ”terjadi” dan ”tidak terjadi” itu adalah hal-hal nyata yang sebab dua,
dan tunduk kepada hukum sebab akibat.
Karena tidak dapat mengenali, bahwa soal ”ada” dan ”tidak ada”, ”terjadi” dan
”tidak terjadi” itu adalah hal-hal khayal yang timbul dari pembedaan-pembedaan
yang dilakukan oleh pikiran terhadap perwujudannya sendiri sebagai sebab
musababnya.
Ananda, oleh sebab pembedaan-pembedaan yang dilakukan oleh pikiran
membedakan mengenai sebagai rupa dan nama itu berlangsung terus-menerus,
berganti-ganti, dan tak pernah ada henti-hentinya, maka disitu lalu timbul
pengertian-pengertian perwujudan gambar pikiran, yang sebentar muncul, dan
sebentar lagi lenyap, terus menerus, dengan tak ada henti-hentinya pula. Muncul
dan lenyapnya gambar-gambar pikiran didalam pikiran itu sendiri, ananda, yang
lalu terlihat oleh pikiran sebagai gerak perubahan daripada benda-benda, orangorang,
dan obyek-obyek itu.
Tegasnya, ananda, gerak perubahan itu sebetulnya bukan kenyataan apaapa,
kecuali perwujudan (manufestasi) daripada pembedaan-pembedaan khayal
yang dilakukan oleh pikiran terhadap perwujudannya sendiri.
222. Ananda:
Kalau demikian halnya, bapa, maka nyatalah, bahwa benda-benda, orangorang,
dan obyek-obyek itu sebetulnya adalah hampa kodrat sendiri. Dan merasa
itu tempat sebagai bergerak dan berubah bukanlah oleh sebab adanya sebabsebab
dan syarat-syarat yang berada diluar pikiran, melainkan gerak perubahan
itu adalah pencerminan yang menerangkan sendiri tentang kegiatan pikiran yang
melakukan pembedaan-pembedaan khayal itu.
Bukankah begitu, Bapa?
79
223. Bapa:
Tepat sekali katamu itu, ananda!
Benda-benda, orang-orang, dan obyek-obyek itu adalah hampa kodrat sendiri;
dan gerak perubahan itu adalah pencerminan yang menerangkan sendiri tentang
kegiatan pikiran yang melalkukan pembedaan-pembedaan khayal.
Ananda, oleh karena kebiasaan pikiran didalam menanggapi pembedaanpembedaan,
maka didalam pikiran itu sendiri lalu di kentarakan dan dipetakan
gambaran-gambaran yang berkodrat khayalan palsu, dimana pikiran lalu melekat
kepada khayalan paslsu itu, seolah-olah kesemuannya itu adalah kenyataankenyataan
rupa dan nama yang berada diluar pikiran dan mempunyai zat sendiri
dan kodrat sendiri.
Oleh sebab kemelekatan pikiran kepada kebiasaan menanggapi
pembedaan-pembedaan sebab, rupa, dan nama, ananda, maka pikiran itu sendiri
lalu membentuk suatu sistem berpikir perorangan yang sangat rumit (complex)
berlandaskan pengertian-pengertian dan pandangan serba dua yang dinamakan:
SISTEM PIKIRAN.
Sistem pikiran ini, ananda, dapat dicirikan secara khas sebagai sarana
untuk membentuk dan mempertahankan kepribasian perorangan dan dunia
keadaan sekitarnya.
Jadi jelas, ananda, bahwa dunia benda ini ada dan berwujud bukanlah
oleh sebab diciptakan atau dijadikan oleh ”Sang Pencipta” ataupun ”Sang
Pikiran”, tidak, tidak demikian! Dunia benda ini ada dan berwujud hanyalah
olehsebab kemelekatan pikiran kepada kebiasaan menanggapi pembedaanpembedaan
khayal..
224. Ananda:
Telah dikatakan, Bapa, bahwa pikiran itu sendiri telah membentuk apa yang
dinamakan sistim pikiran, dan dengan sistem pikiran itu pikiran lalu membentuk
dan mempertahankan kepribadian perorangan dan dunia keadaan sekitarnya.
80
Sudikah bapa menerangkan, apakah yang dimaksud dengan kepribadian
perorangan itu?
225. Bapa:
Ananda, oleh sebab kemelakatan pikiran kepada khayalan palsu maka
tampaknya kepribadian perorangan itu sebagai terdiri dari 5 unsur penyusunan
kepribadian, yaitu bentuk, perasaan, penglihatan, pembedaan, dan kesadaran.
Kelima usur sebetulnya hanyalah berkodrat khayal, karena mereka itu timbul dari
pembedaan-pembedaan khayal sebagai sebab musababnya.
Unsur bentuk, Ananda, itu dalah sesuatu yang dikhayalkan sebagai terbuat dari
zat, dengan tidak peduli akan apa dan bagaimanakah sifat zat itu, sperti padat,
cair,etheris, dan api. Unsur bentuk ini dapat dilihat, diraba, atau dirasakan
adanya.
Adapun empat unsur lainya, Ananda, itu sebenarnya tidak dapat dinyatakan
sebagai unsur, sebab mereka bercampur baur menjadi satu, dan tidak dapat
dilihat dan diraba, meskipun dapat dinyatakan adanya oleh sebab akibat-akibat
yang ditimbulkannya
Kelima unsur ini dinyatakan sebagai unsur penyusun kepribadian, Ananda,
karena suatu alasan, bahwasanya seseorang pribadi itu mempunyai bentuk,
dapat menyatakan perasaan, dapat melihat, dapat membeda-bedakan, dan
dapat menyadari perorangannya (personalitasnya).
Unsur bentuk, itu adalah unsur yang mewakili apa yang dinamakan keadaan
lahiriah seseorang. Sedangkan unsur-unsur perasaan, penglihatan, pembedaan,
dan kesadaran, itu adalah unsur yang mewakilkan apa yang dinamakan keadaan
bathiniah seseorang. Singkatnya, Ananda, kepribadian seseorang itu lalu terdiri
dari keadaan-keadaan lahiriah dan bathiniah. Dan keadaan bathiniah yang terdiri
dari unsur-unsur perasaan, penglihatan, pembedaan, dan kesadaran inilah,
Ananda, yang dinyatakan oleh pikiran berpikir sebagai kenyataan yang dapat
menyatakan diri selaku aku-pribadi (ego).
81
Ananda, bagaimana pendapatmu tentang keadaan lahiriah dan keadaan
bathiniah itu? Apakah mereka itu benar-benar merupakan kenyataan?
226. Ananda:
Apa yang dinamakan keadaan lahiriah atau bathiniah itu sebenarnya bukan
kenyataan apa-apa, Bapa, sebab mereka itu timbul dari pembedaan-pembedaan
khayal sebagai sebab musababnya. Apa yang dinamakan sebagai keadaan
lahiriah dan bathiniah itu tidak lain hanyalah konsepsi pikiran (mind conception)
yang timbul dari pikiran itu sendiri.
227. Bapa:
Bagus, Ananda, apa yang dinamakan lahiriah dan banthiniah itu sebetulnya
bukan kenyataan apa-apa, keculai gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu
sendiri! Lalu bagaimana halnya dengan aku pribadi (ego) itu, Ananda?
228. Ananda:
Mengenai apa yang dinamakan aku pribadi (ego), Bapa, itupun bukan
kenyataan, sebab ia timbul dari gagasan-gagasan yang berkodrat khayal
mengenai apa yang dinamakan 5 unsur-unsur penyusun kepribadian perorangan.
229. Bapa:
Bagus!
Ananda, kepribadian perorangan, yang seolah-olah terdiri dari 5 unsur penyusun
kepribadian, dan yang kemudian di kelompokan menjadi unsur lahiriah dan unsur
bathiniah, itu adalah buah hasil yang dibentuk dan dipertahankan oleh apa yang
dinamakan tata sususnan pikiran atau sistem pikiran itu. Dan engkau mengenali,
ananda, bahwa tata susunan pikiran atau sistem pikiran itu sendiri hanyalah
timbul oleh sebab proses berpikir perorangan yang berlandaskan pembedaanpembedaan
serba dua yang berkodrat khayal.
82
Dengan singkat dapat dinyatakan, Ananda, bahwa kepribadian perorangan dan
dunia keadaan sekitarnya itu ada dan berwujud bukan karena diciptakan atau
dijadikan oleh siap-siapa, melainkan ia ada dan berwujud oleh sebab proses
berpikir perorangan yang tersalur melalui tata susunan pikiran atau sistem
pikiran, dan yang bersumber dari ketidak tahuan, pembedaan-pembedaan
khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan.
Bagaiman, ananda, sudah dapat terjawab dengan cukup jelaskah pertanyaanmu
mengenai sebab musabab timbulnya dunia benda itu?
230. Ananda:
Cukup jelas, Bapa! Dunia benda ini ada dan berwujud bukan sebagai ciptaan
ataupun sebagai kejadian, melainkan dunia benda ini ada dan berwujud oleh
sebab proses berpikir perorangan yang tersalur melalui tata susunan pikiran, dan
yang bersumber dari ketidak tahuan, pembedaan khayal, kebiasaan tanggapan,
dan kemelekatan.
Bapa, dapatkah kiranya dijelaskan dengan cara yang lebih terang mengenai
proses bekerjanya tata susunan pikiran itu?
231. Bapa:
Ananda, tata sususna pikiran itu terdiri dari 5 alat-alat perasaan (mata, telinga,
hidung, lidah, dan kulit tubuh), dan perasaan-perasaan pikiran (senses) yang
mengikutinya (penglihatan, pendengaran, pembauan, pencicipan, dan
perabaan), yang kesemuanya itu di persatukan didalam pikiran membedakan
(discriminating mind), dan yang berhubungan dengan dunia benda atau dunia
luar (external world).
Tata susunan pikiran, Ananda, itu timbul dari kegiatan bathin (mental activity)
yang memisahkan pikiran dari perwujudannya sendiri, dan yang selanjutnya
mebeda-bedakan perwujudannya sendiri itu sebagai banyaknya dan macamnya
83
kenyataan-kenyataan rupa dan nama yang mempunyai kodrat sendiri, dimana
rupa dan nama itu dibayangkan sebagai keadaan lahiriah.
Didalam proses bekerjanya tata susunan pikiran, Ananda, keadaan lahiriah dan
keadaa bathiniah itu merupakan dua unsur atau dua faktor yang saling
bersyarat, dan saling bergantung. Artinya, unsur lahiriah ditentukan dan
bergantung kepada unsur bathiniah, dan sebaliknya, unsur bathiniah ditentukan
dan bergantung kepada unsur lahiriah.
Pertama-tama, Ananda, oleh sebab kodrat ketidak tahuan, maka pikiran lalu
melakukan pembedaan-pembedaan terhadap perwujudannya sendiri, sehingga
dengan demikian secara serempak dan bersama-sama lalu timbul dan terlihat
”adanya: berbagai bentuk dan rupa, seperti halnya matahari yang timbul
serempak dan bersama-sama dengan sinarnya.
Pada saat itu pula, Ananda, maka terjadilah ”kontak” diantara alat-alat perasaan
dengan dunia bentuk dan rupa, yang lalu diikuti oleh bekerjanya perasaanperasaan
pikiran didalam menanggapi berbagai bentuk dan rupa itu sebagai
kenyataan-kenyataan dunia luat yang seungguh-sungguh ada dan berwujud.
Perasaan-perasaan pikiran (senses) itu lalu mengalir kedalam pikiran
membedakan, dan mengadakan kerjasama dengan cara yang paling erat
didalam menimbulkan gambaran-gambaran (images) dan daripada berbagai
bentuk dan rupa itu.
Putusan atas arti dan nilai ”baik” atau ”buruk:nya berbagai bentuk dan rupa itu,
Ananda, dipegang teguh dan dikukuhi oleh perasaan pikiran sebagai kenyataan
yang memang harus begitu, dan tidak bisa lain, da akhirnya menjadi kebiasaan
tanggapan.
Kebiasaan tanggapan itu, Andan, lalu disimpan dan ditimbun didalam pikiran itu
sendiri dabagai banyaknya dan macamnya benda-benda, orang-orang, obyekobyek
dengan segala arti dan nilainya yang ”baik” ataupun yang ”buruk”.
Oleh sebab pembedaan-pembedaan khayal berjalan terus, Ananda, maka
berbafai gambaran dan gagasan-gagasan pikiran lalu timbul dan lenyap bergantiganti,
terus menerus, dengan tak ada henti-hentinya, sehingga benda-benda,
84
orang-orang, obyek-obyek, lahiriah itu lalu terlihat sebagai bergerak-gerak dan
berubah, seolah-olah mereka itu bergerak berubah karena adanya seba-sebab
dan syarat-syarat yang berada diluar pikiran itu sendiri. Pikiran membedakan
tidak menyadari dengan terang, bahwa gerak perubahan daripada berbagai
bentuk dan rupa itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali pencerminan
yang menerangkan kegiatannya sendiri yang melakukan pembedaan-pembedaan
khayal itu.
Ananda, proses seperti itu berjalan terus tak ada putus-putusnya! Hal-hal lihiriah
menjadi sebab dan syarat adanya gambaran-gambaran dan gagasan-gagasan
yang berkodrat bathiniah, sedangkan hal-hal bathiniah, oleh sebab kebiasaan
tanggapan, lalu terlihat oleh pikiran debagai bentuk dan rupa yang berkodrat
lahiriah. Dengan cara yang demikian itu, Ananda, maka benda-benda, orangorang,
dan obyek-obyek lahiriah itu lalu tampak seolah-olah mepunyai adal mula
kejadian (genensis), yaitu dijadikan dan diciptakan oleh sesuatu ”penyebab”, dan
yang dikiranya ”penyebab” itu adalah ”Sang Pencipta”.
Ini semua, Ananda, adalah buah pekerjaan tata susunan pikiran yang
membentuk dan mempertahankan proses berpikir perorangan. Nah, Ananda,
setelah engkau mengenali, bahawa diantara keadaan lahiriah dan bathiniah itu
terdapat suatu hubungan saling bersyarat dan saling bergantung, maka apakah
hubungan semacam itu dapat kau nyatakan sebagai hubungan ”sebab” dan
”akibat”?
Coba terangkan Jawabamu!
232. Ananda:
Bapa, diantara apa yang dinamakan keadaan lahiriah dan keadaan
bathiniah terdapat suatu hubungan saling bersyarat dan saling bergantung.
Hubungan semacam itu tentu saja tidak dapat dinyatakan sebagai hubungan
”sebab” dan ”akibat”, karena apa yang diartikan sebagai hubungan ”sebab” dan
”akibat”’ itu adalah khayalan tentang adanya hubungan diantara dua kenyataan
yang berpisah dan berbeda kodratnya.
85
Sedangkan sebetulnya, ”sebab” dan ”akibat” itu bukanlah kenyataan apa-apa,
kecuali kosepsi pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri.
233. Bapa:
Bagus!
Jadi, Ananda, jikalau dunia benda ini tampak sebagai bergerak-gerak dan
berubah, maka gerak perubahan itu bukanlah merupakan hasil bekerjanya sebab
akibat, tidak, tidak demikian! Gerak perubahan itu timbul karena bekerjanya tata
susunan pikiran yang melakukan pembedaan-pembedaan khayal, dan yang
tunduk kepada hukum hubungan sebab musabab yang saling bergantung
diantara hal-hal lahiriah dan bathiniah.
Dunia benda sebagai bentuk dan rupa yang berkodrat lahiriah tergantung
kepada gambaran-gambaran dan gagasan-gagasan pikiran yang berkodrat
bathiniah, dan sebaliknya, gambaran-gambaran dan gagasan-gagasan pikiran
yang berkodrat bathiniah bergantung kepada bentuk dan rupa yang berkodrat
lahiriah.
Tetapi itu semua adalah bergantung kepada ketidak tahuan, pembedaanpembedaan
khayal, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan pikiran kepada rupa
dan nama.
Nah, setelah dikenali akan kebenaran daripada Hukum Hubungan Sebab
Musabab yang saling bergantung itu, Ananda, maka apakah yang dapat
kaunyatakan tentang ”perbuatan-perbuatan” itu? Apakah ”perbuatan-perbuatan”
itu suatu kenyataan ataukah bukan kenyataan? Terangkan Jawabmu!
234. Ananda:
Apa yang dinamakan ”perbuatan”, Bapa, itu adalah gerak perubahan yang
terputus-putus; sebab, jikalau tidak terjadi pemutusan gerak perubahan, maka
disitu tidak akan tampak adanya ”perbuatan”.
Adapun gerak perubahan, itu timbul dari bekerjanya tata susunan pikiran yang
tak pernah putus-putusnya didalam melakukan pembedaan-pembedaan khayal
86
yang bersyarat hal-hal lahiriah dan bathiniah yang saling bergantung. Ini berarti,
bahwa gerak perubahan itu sebetulnya adalah suatu kelangsungan kegiatan
yang tak pernah terputus. Dan oleh karena demikian, Bapa, maka apa yang
dinamakan ”perbuatan-perbuatan, itu adalah bukan kenyataan!
235. Bapa:
Tepat sekali, Ananda!
Gerak perubahan, itu adalah merupakan pencerminan dari pada kegitaran tata
susunan pikiran didalam melakukan pembedaan-pembedaan khayal. Dan oleh
karena kegiatan tata susunan pikiran didalam melakukan pembedaanpembedaan
khyal itu berlangsung terus dengan tidak ada putus-putusnya, maka
gerak perubahan itu sendiri sebagai pencerminannya, tentunya juga tidak akan
terputus-putus.
Gerak perubahan daripada dunia keadaan ini, Ananda, itu bukanlah banyaknya
dan macamnya ”perbuatan-perbuatan”., melainkangerak perubahan daripada
dunia keadaan ini adalah suatu kelangsungan kegiatan, bagaikan hubungan
mata rantai yang sambung menyambung menjadi satu rangkaian yang tak
pernah ada putusnya.
236. Ananda:
Bapa, selama ini akau menyenangi dan menyusahkan apa yang seharusnya tidak
perlu aku senangi dan aku susahkan. Aku telah menyenangi dan menyusahkan
sebagai rupa dan nama dengan arti-arti dan nilai-nilai baik atau buruk, dengan
tidak menyadari secara terang, bahwa kesemuanya itu sebetulanya bukan
kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran, yang timbul dari pikiran,
dan dilihat serta di tanggapi oleh pikiran itu sendiri.
87
237. Bapa:
Ananda, karena tidak mengenali akan hakekat daripada rupa dan nama dengan
segala arti-arti dan nilai-nilai lahiriah yang berkodrat khayal mengenai apa yang
baik dan apa yang buruk itu, sikap-sikap, perbuatan-perbuatan, dan kata-kata.
Nah, setelah engkai mengenali akan apakah sebetulnya sikap-sikap, perbuatanperbuatan,
dan kata-kata itu, Ananda, maka semestinya engkau tidak perlu
menderita lagi.
Bukankah begitu, Ananda?
238. Ananda:
Ya, semestinya memang begitu, Bapa! Tetapi, apakah sebetulnya penderitaan
itu, Bapa?
6. PENDERITAAN DAN KEBAHAGIAAN
239. Bapa:
Ananda, penderitaan itu adalah khayalan palsu yang ditanggapi oleh perasaan
pikiran sebagai kenyataan rupa dan nama yang mempunyai arti dan nilai baik
ataupun buruk. Singkatnya, penderitaan itu adlaah tanggapan khayal, Ananda!
Lalu bagaimana pendapatmu tentang kesenangan dan kesusahan itu, Ananda?
Manakah yang tergolong sebagai penderitaan?
240. Ananda:
Kedua-duanya, Bapa!
Baik kesenangan, maupun kesusahan, kedua-duanya adalah tergolong sebagai
penderitaan, karena kedua-duanya adalah tanggapan khayal daripada perasaan
pikiran terhadap rupa dan nama yang mempunyai arti dan nilai baik ataupun
buruk.
88
241. Bapa:
Benar, Ananda, baik kesenangan, maupun kesusahan, kedua-duanya tiu adalah
tergolong penderitaan. Kesenangan dan kesusahan adalah penderitaan yang
hanya berbeda didalama kemendalamannya (intensitasnya) saja. Kesenangan
adalah penderitaan dengan intensitas yang lebih ringan jikalua dibandingkan
dengan kesusahan.
Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari misalnya, penghasilan Rp. 1.000,-
sehari bagi abang tukang becak, mungkin merupakan kesenangan luar biasa,
namun bagi sang pengusaha besar, penghasilan Rp. 1.000,- sehari tiu mungkin
merupakan kegagalan yang sangat menderitakan.
242. Ananda:
Lalu apakah bedanya atara kesehangan dan kebahagiaan, Bapa?
243. Bapa:
”Kesenangan: dan ”Kebahagiaan” itu apa? Bukankah ”kesenangan” dan
”kebahagiaan” itu hanya istilah atau nama yang berasal dari pembedaanpembedaan
kata-kata untuk memberikan ciri (tanda) dan arti kepada sesuatu
keadaan?
Menurut kebiasaan, Ananda, kebahagiaan itu diberikan arti sama dengan
kesenangan, itu boleh saja, dan tak ada halangan apa-apa!
Tetapi, istilah ”kebahagiaan”, itu boleh juga dipakai untuk menyatakan sesuatu
arti yang berbeda daripada kesenangan, yaitu untuk menyatakan berhentinya
penderitaan. Dan berhentinya penderitaan, itu berarti berhentinya kesenangan
dan kesusahan!
244. Ananda:
Telah dikatakan, Bapa, bahwa kebahagiaan itu adalah berhentinya penderitaan;
dan berhentinya penderitaan berarti berhentinya kesenangan dan kesusahan.
Pengertian ini, Bapa, agaknya membingungkan, dan sukar difahami, karena
89
jikalau kesenangan dan kesusahan itu terhenti, bukankah itu akan berarti suatu
kematian? Dan jikalau seseorang itu sudah mati, bagaimanakah kebahagiaan itu
dapat dirasakannya?
Bagaimanakah jelasnya, Bapa?
245. Bapa:
Ananda, engkau sudah mengenali, bahwa kesenangan dan kesusahan itu adalah
penderitaaan; dan penderitaan itu adalah tanggapan khayal. Ini berarti, bahwa
kesenangan dan kesusahan itupun tanggapan khayal pula. Maksudnya,
kesenangan dan kesusahan itu adalah khayalan palsu yang di tanggapi oleh
perasaan pikiran sebagai kenyataan-kenyataan rupa dan nama yang mempunyai
arti dan nilai baik ataupun buruk.
Kesenangan dan kesusahan, Ananda, sebagai khayalan palsu, kodratnya adalah
bagaikan apa yang terlihat dalam mimpi. Dan itu bukanlah kenyataan apa-apa,
kecuali gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri.
Sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda!
Jikalau engkau menanggapi kesenangan dan kesusahan itu sebagai kenyataankenyataan
yang sungguh-sungguh, Ananda, apakah engkau didalam keadaan
bangun dan sadar terang, ataukah engkau didalam keadaan tidur bermimpi dan
tidak sadar terang?
246. Ananda:
Pada saat aku menanggapi kesenangan dan kesusahan sebagai kenyataankenyataan
yang sungguh-sungguh, Bapa, maka pada saat itu sebetulnya aku
berada didalam keadaan tidur bermimpi dan tidak sadar terang.
247. Bapa:
Bagus!
90
Nah, didalam keadaan bangun dari tidur dan sadar terang, Ananda, apakah
engkau masih perlu menyibuki kesenangan dan kesusahan yang berkodrat
impian itu?
248. Ananda:
Tentu saja tidak, Bapa! Didalam keadaan bangun dan sadar terang aku tidak
memerlukan lagi kesenangan-kesenagnan dan kesusahan-kesusahan yang hanya
ada didalam mimpi itu, Bapa.
249. Bapa:
Nah, kalau demikain itu halnya, Ananda, maka jelaslah, bahwa didalam keadaan
bangun dan bangkit dari tidur bermimpi, dan didalam keadaan sadar terang,
semua kesenangan dan kesusahan itu terhenti. Ini berarti, bahwa kesenangan
dan kesusahan itu berhenti pada saat engkau bangkit dan sadar terang. Ananda,
apakah bangkit dan sadar terang itu suatu kematian?
250. Ananda:
Ya, ya, Bapa, sekarang aku mengerti!
Kesenangan dan kesusahan itu aku sibuki dan aku nikmati didalam keadaan
tidak sadar terang, karena aku berada dalam keadaan tidur bermimpi. Begitu aku
bangkit dan sadar terang, maka disitu kesenangan dan kesusahan menjadi
terhenti. Jadi, kesenangan dan kesusahan itu berhenti pada saat aku bangkut
dan sadar terang. Sedangkan bangkit dan sadar terang itu bukanlah berarti
kematian, karena kematian itu ada dalam keadaan tidaka sadar terang.
Bukankah begitu, Bapa?
251. Bapa:
Bagus, dan benar, Ananda!
91
Memang, kesenangan dan kesusahan itu terhenti didalam kebangkitan dan
sadar-terang. Kebangkitan (=kiyamat), dan sadar terang (enlightened) itulah,
Ananda, yang dimaksudkan dengan kebahagiaan itu.
Kebahagiaan itu, Ananda, tidak ada sangkut pautnya dengan perasaan-perasaan
pikiran yang berkodrat perorangan. Artinya, kebangkitan itu tidak dapat dicapai
dan dihayati oleh perorangan dengan kesadaran ”aku-pribadi” (kesadaran-ego).
Kebahagiaan adalah ”milik” seseorang yang sadar-terang, yaitu sadar terang
akan hakekat ”dirinya” sebagai Kenyataan Esa yang hampa-zat, hampapembedaan,
hampa-sebutan, dan hampa-perbuatan.
Singkatnya, Ananda, kebahagiaan itu adalah terhentinya penderitaan; dan
berhentinya penderitaan itu adalah sadar terang. Menghentikan penderitaan,
Ananda, itu adalah mencapai dan merealisasi sendiri (menyelami sendiri) sadar
terang itu.
Menghentikan penderitaan itu bukanlah ”berbelok” dan memasuki jalan mencari
kesenangan-kesenangan rupa dan nama dengan segala arti dan nilai-nilai ”baik”
atau ”buruk” yang berkodrat khayalan-palsu itu.
252. Ananda:
Bapa, didalam rangka usaha untuk mencari dan merealisasi sendiri (menyelami
sendiri) sadar terang itu, yaitu merealisasi berhentinya penderitaan, maka jalan
apakah yang seharusnya aku tempuh?
Sudikah Bapa memberikan penerangan yang sejelas-jelasnya?
253. Bapa:
Ananda, jikalau engkau mengatakan, bahwa engkau hendak berusaha untuk
menghentikan penderitaan, bukankah itu suatu tanda yang menunjukkan
bahwasanya engkau sadar dalam keadaan menderita? Bagaimana, bukankah
begitu, Ananda?
92
254. Ananda:
Benar, Bapa, jikalau aku menyatakan, bahwa aku hendak berusaha
menghentikan penderitaan, maka perbyataan itu menunjukkan bahwasanya aku
saat ini sadar dalam keadaan menderita.
Dan memang benar, Bapa, aku menderita di dunia ini!
255. Bapa:
Dan sebaliknya, Ananda, jikalau engkau hendak berusaha mencari kebahagiaan,
bukankah itu suatu tanda yang menunjukkan bahwasanya engkau belum
memperoleh kebahagiaan?
Bagaimana, bukankah begitu, Ananda?
256. Ananda:
Benar, Bapa, jikalau aku menyatakan, bahwa aku hendak berusaha mencari
kebahagiaan, maka pernyataan itu menunjukkan bahwasanya aku saat ini belum
memperoleh kebahagiaan. Dan memang benar, Bapa, aku belum memperoleh
kebahagiaan, karena aku sedang menderita didunia ini!
257. Bapa:
Jadi tegasnya, Ananda, apakah engkau menyatakan hendak menghentikan
penderitaan, ataukah engkau menyatakan hendak mencari kebahagiaan, keduadua
pernyataan itu hanya menunjukkan satu fakta saja, yaitu: engkau sedang
menderita didunia sekaran ini!
Ananda, penderitaan itu adalah fakta kehidupan duniawi; yaitu fakta kehidupan
yang dialami oleh semua manusia yang hidup didalam dunia keadaan ini, tanpa
kecualinya.
Meskipun hampir semua manusia dengan mudah mengucapkan pernyataan:
”Aku berusaha menghentikan penderitaan”, atau ”Aku berusaha mencari
kebahagiaan”, namun tidak semua manusia mengerti akan makna yang
93
sebenarnya daripada apa yang sedang mereka ucapkan itu! Kebayankan
manusia mengucapkan apa yang mereka tidak mengerti!
258. Ananda:
Telah dinyatakan, Bapa, bahwa kebanyakan manusia mengucapkan apa yang
mereka tidak mengerti. Aku kurang dapat memahami akan apa yang
dimaksudkan oleh pernyataan itu, Bapa! Bagaimana jelasnya, Bapa?
259. Bapa:
Ananda, jikalau seseorang mengatakan: ”Aku menderita di dunia ini”, tetapi tidak
mengerti akan apa atau siapakah ”aku” itu, tidak mengerti akan apakah ”dunia”
itu, dan tidak mengerti akan apakah ”penderitaan” itu, bukankah hal itu akan
berarti, bahwa ia tidak mengerti akan apa yang ia ucapkan?
Dan lagi, Ananda, jikalau seseorang mengatakan: Aku mencari kebahagian di
dunia ini”, tetapi tidak mengerti akan apa atau diapakah ”aku” itu, tidak mengerti
akan apakah ”dunia” itu, dan tidak mengerti akan apakah ”kebahagiaan: itu,
bukankah hal itu akan berarti, bahwa ia tidak mengerti akan apa yang ia
ucapkan?
260. Anada:
O, sekarang aku dapa memahami akan apa yang dimaksud oleh pernyataan
”manusia mengucapkan apa yang mereka tidak mengerti” itu, Bapa!
261. Bapa:
Jadi, Ananda, jikalau engkau hendak menghentikan penderitaan didalam
kehidupan dunia ini, maka pertama-tama engkau harus mempunyai pengertian
yang benar, tegas, dan jelas tentang hal ikhwalnya tiga hal, yaitu: pertama,
engkau harus mengerti akan apa atau siapakah hakekatnya ”engkau-sendiri”,
yang biasa kau sebutkan sebagai ”aku” itu; kedua, engkau harus mengerti akan
apakah hakekatnya ”dunia-keadaan”, yang biasa kausebut sebagai keadaan
94
”lahiriah” dan keadaan ”bathiniah” itu; dan ketiga, engkau harus mengerti akan
apakah hakekatnya ”penderitaan”, yang biasa kausebutkan sebagai
”kesenangan” dan ”kesusahan” itu.
Ananda, kiranya dari hasil penelitian dan perenungan sendiri melalui akal yang
dipuncakkan, engkau sekarang telah dapat mengerti dan mengenali akan
hakekat ketiga hal tersebut itu tadi. Coba nyatakan pengertianmu tentang ketiga
hal itu, Ananda!
262. Ananda:
Pertama-tama tentang hakekat ”aku-sendiri”, yang biasanya disebutkan sebagai
”aku”, Bapa!
”AKU” adalah pikiran melihat, yaitu pikiran itu sendiri, sebagai satu-satunya
Kenyataan Esa yang hampa zat, hampa pembedaan, hampa sebutan, hampa
kelahiran, dan hampa kematian.
Yang kedua tentang ”dunia kenyataa”!
Apa yang ada dan berwujud itu, baik yang lahiriah, maupun yang bathiniah, itu
semua bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan gambar pikiran yang
timbul dari pikiran, dan dilihat serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri. Atau
dengan lain perkataan dapat dinyatakan, bahwa segala apa yang ada dan
berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apa-apa, kecuali perwujudan
bayangan ku yang timbul daripada-ku, dan terlihat olehku sendiri.
Dan yang ketiga tentang „penderitaan“!
Penderitaan, itu adalah tanggapan khayal yang timbul dari tata susunan pikiran
yang melakukan proses berpikir perorangan. Dan berhentinya pendertiaan, itu
adalah Kebahagiaan, yaitu kebangkitan dan sadar terang.
Demikianlah, Bapa, pengertian tentang hakekat ”Aku”, dunia keadaan, dan
penderitaan itu!
263. Bapa:
Bagus, bagus, bagus sekali, Ananda!
95
Dan jikalau engkau bertanya mengenai Jalan yang harus ditempuh untuk
merealisasi sendiri (menyelami sendiri) sadar terang, yatu merealisasi sendiri
berhentinya penderitaan, Ananda, maka terlebih dahulu engkau harus mengerti
dan mengenali akan sebab musabab yang menimbulkan penderitaan itu.
Dan sekarang engkau sudah dapat mengenalinya. Coba, Ananda, terangkan apa
yang menjadi sebab musabab timbulnya penderitaan itu!
264. Ananda:
Sebab musabab timbulnya penderitaan adalah ketidaktahuan (kebodohan),
Bapa!
Karena kodrat ketidak tahuan itu, maka pikiran lalu melakukan kekeliruan yang
besar lagi mendasar, yaitu dengan menyusun proses berpikir perorangan yang
berwujud sebagai apa yang dinamakan tata susunan pikiran.
Tata susunan pikiran itu, Bapa, yang dapat dicirikan secara khas sebagai
pembentuk proses perorangan, melakukan kegiatannya berlandaskan
pembedaan-pembedaan, kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan kepada rupa
dan nama yang diberi arti dan nilai-nilai yang serba dua.
Dengan singkat dapat dikatakan, Bapa, bahwa sebab musabab timbulnya
penderitaan adalah ketidak tahuan, dimana ketidak tahuan itu berwujud sebagai
tata susunan pikiran yang membentuk proses perorangan melalui pembedaan,
kebiasaan tanggapan, dan kemelekatan.
265. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Nah, setelah sebab musabab timbulnya penderitaan itu dikenali, Ananda, maka
Jalan yang harus ditempuh untuk merealisasi berhentinya penderitaan lalu
menjadi jelas.
Jalan yang harus ditempuh untuk menghentikan penderitaan adalah
menghentikan ketidak tahuan; menghentikan ketidaktahuan adalah
menghentikan bekerjanya tata susunan pikiran; menghentikan bekerjanya tata
96
susunan pikirana adalah menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan
menanggapi pembedaan-pembedaan khayal. Jadi, Ananda, untuk menghentikan
penderitaan, yang berarti merealisasi sadar terang atau kebahagiaan
penderitaan, yang berarti merealisasi sadar terang atau kebahagiaan itu adalah
dengan menempuh jalan menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan
menanggapi pembedaan-pembedaan khayal.
266. Ananda:
Telah dikatakan, Bapa, bahwa berhentinya penderitaan, itu adalah berhentinya
kesenangan, maupun kesusahan, itu adalah penderitaan itu juga. Dan aku
pernah berpendapat, Bapa, bahwa berhentinya kesenangan dan kesusahan itu
berarti kematian. Tetapi ternyata, bahwa berhentinya kesenangan dan
kesusahan itu bukanlah kematian, melainkan berhentinya kesenangan dan
kesusahan itu adalah kebangkitan dan sadar terang.
Dalam hubungan itu, Bapa, lalu apakah makna daripada ”kematian”itu sendiri?
Dan bagaimanakah hubungannya dengan”tubuh” dan ”jiwa” atau ”sukma” itu?
Sudikah Bapa menjelaskan?
7. HIDUP DAN MATI
267. Bapa:
Sebelum menjawab pertanyaanmu tentang apakah sebetulnya makna daripada
apa yang dinamakan ”kematian” itu, Ananda, maka aku hendak bertanya lebih
dahulu kepadamu!
Ananda, menurut pengertian benar, apakah ”tubuh” itu Kenyataan atau bukan
kenyataan?
268. Ananda:
”Tubuh” itu ada dan terwujud, Bapa, dan oleh karena itu, ”tubuh” tergolong
sebagai kebenaran rupa dan nama. Sebagaimana kebenaran rupa dan nama
yang berkodrat khayalan palsu, Bapa, maka ”tubuh” itu bukan kenyataan apa97
apa, kecuali perwujudan gambar-pikiran yang timbul dari pikiran,dan dilihat seta
ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
269. Bapa:
Bagus! Lalu bagaimanakah pendapatmu tentang ”tubuh” itu, Ananda? Dapakah
”tubuh” itu dirusak dan dihancurkan?
270. Ananda:
Karena ”tubuh” itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali gagasan pikiran yang
timbul dari pikiran itu sendiri, Bapa, maka ”tubuh” itu tidak dapat dirusak dan
dihancurkan!
271. Bapa:
Tetapi, Ananda, menurt fakta duniawi, bukankah ”tubuh” itu dapat rusak dan
hancur? Bagaimanakah keteranganmu tentang hal itu, Ananda?
272. Ananda:
Benar, Bapa, menurut fakta duniawi ”tubuh” itu dapat rusak dan hancur. Tetapi,
Bapa, apa yant terlihat sebagai ”rusak” dan ”hancur” itu sebetulnya tidak lain
adalah gerak perubahan; sedangkan gerak perubahan itu sendiri sebetulnya
bukanlah kenyataan apa-apa, kecuali pencerminan yang menerangkan sendiri
tentang timbul dan tenggelamnya pergantian-pergantian gagasan pikiran yang
timbul dari pikiran itu sendiri oleh sebab pembedaan-pembadaan khayal.
273. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Memang, ”tubuh” itu tidak dapat dirusak dan dihancurkan, karena apa yang
terlihat sebagai kerusakan dan kehancuran itu tidak lain hanyalah perwujudan
daripada timbul dan tenggelamnya pergantian-pergantian gagasan pikiran oleh
sebab pembedaan-pembedaan khayal. Hanya karena kemelekatan pikiran
98
kepada kebiasaan menanggapi pembedaan-pembedaan khayal itulah, maka lalu
terlihat seolah-olah ”tubuh” itu adalah kenyataan yang dapat rusak dan hancur!
Nah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu tentang apa yang dinamakan
”Jiwa”, atau ”sukma” itu, Ananda!
Bagaimana menurut pendapatmu, Ananda, apakah ”Jiwa” atau ”Sukma” itu
kenyataan, ataukah bukan kenyataan?
274. Ananda:
Menurut sementara pujangga, Bapa, ”Jiwa” atau ”Sukma” itu adalah kenyataan
Esa yang tak pernah terlahir, tak pernah mati, dan kekal selama-lamanya
sebagai sebab pertama yang menjadikan dan menghidupkan segala apa yang
ada dan berwujud ini.
Bapa, jikalau ”jiwa” atau ”sukma” dispekulasikan sebagai ”sebab pertama” yang
menjadikan dan menghidupkan segala apa yang ada dan berwujud ini, maka
pengertian ”jiwa” atau ”sukma” semacam itu tidak dapat aku terima sebagai
kenyataan! Sebabnya adalah, bahwa ”sebab pertama” itu tidak lain hanyalah
gagasa pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri oleh sebab kemelekatannya
kepada pembedaan-pembedaa serba dua mengenai ”sebab” dan ”akibat”
Dan jikalau ”jiwa” atau ”sukma” itu dispekulasikan sebagai kenyataan esa yang
mempunyai kodrat sendiri untuk melakukan perbuatan menjadikan dan
menghidupkan, maka pengertian ”Jiwa” atau ”sukma” semacam itu pun tidak
dapat aku terima sebagai kenyataan! Sebabnya adalah, bahwa ”kodrat sendiri”
itu tidak lain hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri oleh
sebab kemelekatannya kepada rupa, nama dan perbuatan-perbuatan.
Tetapi, Bapa, jikalau ”jiwa” atau ”sukma” itu diartikan sebagai kenyataan Esa
yang hampa zat, hampa pembedaan, hampa sebutan, dan hampa perbuatan,
dan yang oleh karenanya lalu berarti hampa sebab dan hampa kodrat sendiri,
maka pengertian ”jiwa” atau ”sukma” seperti itu dapat aku terima sebagai
Kenyataan.
99
276. Bapa:
Bagus, bagus, Ananda, bagus!
“Jiwa” atau “sukma” yang dispekulasikan oleh sementara pujangga sebagai
“sebab pertama” yang mempunyai “kodrat sendiri” untuk melakukan perbuatan
menjadikan dan menghidupkan, itu bukan kenyataan apa-apa, kecuali gagasan
pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri. Dan oleh karena itu, maka “jiwa” atau
“sukma” seperti itu adalah berkodrat khayalan palsu.
Ananda, sekarang kembali kepada pertanyaanmu tentang apa yang dinamakan
”kematina” itu!
”Kematian, Ananda, jikalau diartikan sebagai ”kerusakan” atau ”kehancuran”
daripada ”tubuh”, maka ”kematian” seperti itu tidak lain hanyalah gagasan
pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri, dan yang kodratya adalah khayalan
palsu.
276. Ananda:
Dan jikalau ”kematian” itu di artikan sebagai perginya ”jiwa” atau ”sukma” yang
meninggalkan tubuh, Bapa, lalu bagaimana?
277. Bapa:
Ananda, apakah ”tubuh” itu suatu tempat, atau suatu yang memerlukan tempat?
278. Ananda:
Karena ”tubuh” itu hanyalah gagasan pikiran yang timbul dari pikiran itu sendiri,
Bapa, tentunya ”tubuh” itu bukan suatu tempat, dan bukan pula sesuatu yang
memerlukan tempat.
279. Bapa:
Nah. Ananda, jikalau telah ternyata, bahwa ”tubuh” itu bukan suatu tempat, dan
juga bukan sesuatu yang memerlukan tempat, apakah ada sesuatu yang dapat
meninggalkan :tubuh” itu?
100
280. Ananda:
Tentu saja tidak, Bapa!
Kalau begitu jelas, Bapa, bahawa ”jiwa atau ”sukma” itu bukanlah kenyataan
yang :pernha datang kepada ” tubuh” atau pergi meninggalkan ”tubuh”.
Datang dan perginya ”Jiwa” atau ”sukma” itu tidak lain hanyalah gagasan pikiran
yang timbul dari kemelekatan pikiran kepada ruap, nama, dan kodrat sendiri.
281. Bapa:
Ananda, manusia dengan kesadaran ”aku pribadi” (kesadaran ego) itu
mempunyai cara berpikir yang tersalur melalui tata susunan pikiran yang
berkodrat perorangan, dan melekat kepada berbagai rupa dan nama yang
dikiranya mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri.
Oleh karena demikian, Ananda, maka manusia dengan kesadaran ”aku Pribadi”
(kesadaran ego) lalu takut kepada kerusakan tubuh, takut kepada kehancuran
tubuh, takut kehilangan jiwa, takut kehilangan sukma, takut kehilangan nyawa,
taku kehilangan roh, pendek kata: mereka takut sakit dan taku mati.
Mereka ingin dan berusaha untuk mempertahankan hidup perorangannya, yang
dikiranya sebagai terdidi dari ”tubuh” dan ”jiwa” yang mempunyai zat sendiri dan
kodrat sendiri, dan berkelana kemana-mana untuk mencari kesenangankesenangan
rupa dan nama.
Mereka lalu melekat kepada sikap-sikap, perbuatan-perbuatan, kata-kata,
kecakapan-kecakapan, pandangan-pandangan filsafat, dan hal yang serba dua,
seolah-olah kesemuannya itu adalah banyaknya dan macamnya kenyataankenyataan.
Mereka tidak dapat menyadari dengan terang, bahwa kesemuanya itu sebetulnya
bukan kenyataan apa-apa, kecuali buah hasil proses berpikir perorangan yang
berkodrat khayalan palsu, yang di bentuk dan dipertahankan oleh tata susunan
pikiran.
101
Jadi, Ananda, selama tata susunan pikira itu belum terhenti, maka disitu akan
selalu terdapat kesadaran ”aku pribadi”; dan selama masih terdapat kesadaran
”aku pribadi”, maka disitu manusia hidup dalam dunia gambaran khayal yang
kodratnya bagaikan tidur bermimpi, dan tidak dapat merealisasi sendiri sadar
terang.
Sebaliknya, Ananda, jikalau tata susunan pikiran itu berhenti bekerja, maka disitu
terdapat ”pembalikan”” dari kesadaran ”aku pribadi” kepada kesadaran ”Aku
Kenyataan Esa” (kesadaran esa); dan dalam kesadaran esa, manusia hidup
dalam realisasi kebagkitan dan sadar terang.
Tegasnya, Ananda, didalam kesadaran ego, maka manusia itu berada didalam
kodrat tidur bermimpi, dan tidak sadar terang. Didalam kodrat tidur bermimpi
dan tidak sadar terang inilah, Ananda, makna dan arti yang sebetulnya mengenai
apa yang disebut sebagai maut dan mati itu.
Dan didalam kesadaran esa, Ananda, maka manusia berada dalam kodrat
kebangkitan dan sadar terang. Didalam kodrat kebangkitan dan sadar terang
(enlightened) inilah, Ananda, makna dan arti yang sebetulnya mengenai apa
yang di sebut sebagai Hidup Kekal yang tiada kematian.
282. Ananda:
Mengertilah aku sekarang, Bapa, bahwa soal mati dan hidup itu bukanlah soal
pembedaan-pembedaan rupa dan nama, melainkan soal realisasi sadar terang.
Tidak sadar terang itu artinya tidak tahu mana yang kenyataan, dan mana yang
bukan kenyataan; tidak tahu mana yang kenyataan dan manya yang bukan
kenyataan itu artinya tidak tahu apa-aoa; dan tidak tahu apa-apa itulah pikiran
”tertidur” dan ”mimpi” atau mati.
Sebaliknya, sadar terang itu artinya tahu nama yang sesungguhnya kenyataan,
dan mana yang sesungguhnya bukan kenyataan,; tahu mana yang sesungguhya
kenyataan, dan mana yang sesungguhnya bukan kenyataan itu artinya sungguhsungguh
bangun dan bangkit dari ”tidak bermimpi”; dan sungguh-sungguh
102
bangundan bangkit dari ”tidur bermimpi” itulah bangkit dari kematian atau
hidup. Bukan begitu, Bapa?
283. Bapa:
Benar, Ananda, memang begitu!
Jadi selama pikiran terpenjara didalam tata susunan pikiran hasil rekaannya
sendiri, Ananda, maka disitu pikiran lalu ”tertidur: dan tidak sadar terang. Itulah
kematian atau maut! Dan begitu pikiran melepaskan diri dari kemelekatannya
kepada tata susunan pikiran, maka disitu pikiran lalu ”bangkit” dan sadar terang.
Itulah bangkit dari kematian (kiyamat) atau hidup!
284. Ananda
Telah dikatakan, Bapa, bahwa begitu pikiran melepaskan diri dari
kemelekatannya kepada tata susunan pikiran, maka pikiran lalu ”bangkit” dan
sadar terang. Ini berarti, bahwa melepaskan kemelekatan pikiran kepada tata
susuana pikiran, itu adalah jalan menuju kebangkitan dan sadar terang, atau
jalan menuju hidup.
Tetapi, Bapa, meskipun jalan sudah diketahui, namun jikalau cara menempuh
jalan itu belum diketahui, maka hal itu mungkin akan menyebabkan kegagalan
untuk dapat sampai kepada tujuan. Sudikah Bapa emnerangkan mengenai cara
menempuh jelan kebagkitan yang menuju kepada hidup itu?
8. JALAN KEBANGKITAN DAN USAHA PENYELAMAN-SENDIRI
285. Bapa:
Ananda, engkau telah mengenali, bahwa kesadaran ego adalah kematian; dan
”pembalikan” pikiran dari kesadaran ego kepada kesadaran esa adalah bangkit
dari kematian, dan hidup sadar terang. Dan ”pembalikan” itu terjadi, Ananda,
ketika tata susunan pikiran berhenti melakukan kegiatannya.
103
Untuk dapat mengeti akan cara bagaimanakah merealisasi berhentinya tata
susunan pikiran, Ananda, bagi yang belum pernah menyelami sendiri sadar
terang, maka masih diperlukan bantuan berupa petunjuk dan ajaran.
Ananda, jikalau kita berbicara perihal petunjuk dan ajaran, maka disitu terdapat
dua hal yang saling berkaitan, dan yang kodratnya harus dimengerti dengan
sungguh-sungguh, yaitu mengenai kata-kata dan arti.
Ajaran, Ananda, disampaikan untuk menunjukkan arti dari pada kenyataan,
supaya kodrat kenyataan itu dapat dikenali. Dan menunjukkan arti, Ananda,
dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang dijadikan nama-nama, sebab
tanpa menggunakan kata-kata dan nama-nama, maka arti itu tidak dapat
dinyatakan dan tidak dapat ditunjukkan.
Untuk lebih jelasnya, Ananda, inilah sebuah perumpamaan!
Misalnya saja, Ananda, aku hendak menunjukkan kepadamu akan arti daripada
madu, yang belum pernha kaukenali sebelumnya. Kemudian aku berbicara
kepadamu: ”Ananda, madu itu manis”.
Sekarang aku bertanya kepadamu, Ananda! Apakah dengan kata-kata yang
bunyinya ”madu itu manis” engkau sudah dapat mengenali kesungguhan
daripada madu yang manis itu, Anada?
286. Ananda:
Tentu saja belum, Bapa! Hanya dengan mendengar bunyi kata-kata “madu itu
manis”, Bapa, belum berarti, bahwasanya aku sudah dapat mengenali
kesugguhan daripada madu manis itu.
287. Bapa:
Betul! Jadi hanya mengenal akan bunyi kata-kata “madu itu manis”, belum
berarti bahwasanya engkau telah mengenali akan kesungguhan arti daripada
madu yang manis itu.
Lalu, untuk dapat mengenali kesungguhan arti daripada madu yang manis itu,
Ananda, apakah yang seharusnya kau lakukan?
104
288. Ananda:
Untuk dapa mengenali kesungguhan arti daripada madu yang manis itu, Bapa,
maka aku harus mencicipi sendiri madu itu!
289. Bapa:
Benar, Ananda!
Untuk mengenali kesungguhan arti daripada madu yang manis itu, maka engkau
harus mencicipi sendiri madu itu, dan engkau harus menghayati dan merealisasi
sendiri (menyelami sendiri). Arti daripada kenyataan, itu tidak dapat dikenali
melalui peryataan kata-kata dan nama-nama. Arti, Ananda, itu berdiri sendiri,
dan tidak bergantung kepada apa atau siapapun; arti tidak bergantung kepada
kata-kata dan nama-nama yang digunakan.
Arti adalah hampa syarat dan hampa pembedaan!
Itulah kodratnya arti.
290. Ananda:
Lalu bagaimanakah kondratnya kata-kata dan nama-nama itu, Bapa?
291. Bapa:
Ananda, nama-nama itu bergantung kepada kata-kata; sedangkan kata-kata itu
timbul dari pembedaan-pembedaan sebagai sebab musababnya.
Kata-ktaa, Ananda, dibeda-bedakan secara khayal menurut bentuknya dan
bunyinya huruf-huruf. Kata-kata itu timbul dari pembedaan-pembedaan suara
yang dikhayalkan oleh tata susunan pikiran sebagai kenyataan rupa, yang
kemudian diberikan arti dan nilai-nilai khayal ”begini” atau ”begitu” seolah-olah
kata-kata itu sama dengan benda.
Kata-kata, Ananda, yang sudah diberikan arti-arti dan nilai-nilai khayal, itulah
yang disebut nama. Nama-nama itu dikhayalkan oleh tata susunan pikiran
sebagai benda-benda yang mempunyai zat sendiri dan kodrat sendiri, sehingga
105
akhirnya seseorang lalu berkata: ”Jikalau begitu itu namanya, maka begitu itulah
bendanya”.
Singkatnya, Ananda, kata-kata dan nama-nama itu adalah kebenaran rupa yang
kodratnya khayalan palsu, dan timbul dibawah syarat pembedaan-pembedaan
khayal.
Bagaimana, Ananda, cukup jelaskah mengenai kodrat arti dan kodrat kata-kata
dan nama-nama?
292. Ananda:
Cukup jelas, Bapa!
Mengenai arti daripada daripada kenyataan itu tidak sama dengan mengenal arti
daripada kata-kata dan nama-nama, karena kenyataan itu tidak sama dengan
kata-kata dan nama-nama.
Mengenal arti daripada kenyataan itu hanya dapat dicapai dengan cara
merealisasi sendiri atau menyelami sendiri kenyataan itu dan mengenal arti
daripada kenyataan itu tidak dapat dicapai dengan cara mengenal arti kata-kata.
293. Bapa:
Bagus sekali, Ananda!
Mengenai arti daripada Kenyataan, itu hanya dapat diusahakan dengan
merealisasi sendiri atau menyelami sendiri Kenyatan itu! Ingat baik-baik hal ini!
Mengenai arti daripada Kenyataan tidak dapat diusahakan dengan hanya
mengerti arti kata-kata (literal meaning), karena kata-kata bukanlah Kenyataan
itu sendiri.
Kata-kata, Ananda, hanyalah bagaikan papan penunjuk jalan yang menunjukkan
kiblat (arah), kearah mana seharusnya engkau menghadapkan perhatianmu dan
kemudia berjalan agar supaya engkau mengerti dan tidak tersesat jalan. Tetapi,
Ananda, untuk dapat mencapai dan menemukan tujuanmu, maka engkau harus
berusaha sendiri untuk berjalan sendiri menempuh jalan itu.
106
Sebagai perumpamaan, Ananda, engkau boleh saja mengerti apa yang
diterangkan oleh papan penunjuk jalan itu, bahwa jarak Jakarta ke Surabaya itu
adalah 800 kilometer, dan di Surabaya itu terdapat sebuah tugu pahlawan, tetapi
jikalau papan penunjuk jalan itu hanya kau baca dan kau mengerti saja dengan
tidak mau berusaha sendiri untuk berjalan sendiri menempuh jalan 800 kilometer
itu, maka engkau tidak akan pernah sampai di Surabaya, Ananda, dan engkau
tidak akan pernah melihat sendiri tugu pahlawan itu!
Demikian pula halnya dengan Kenyataan, Ananda!
Engkau boleh mengerti dengan segala kekuatannya arti kata-kata dan
pengertian benar mengenai kenyataan Sadar Terang, tetapi jikalau engkau tidak
mau berusahan sendiri untuk merealisasi sendiri atau menyelami sendiri arti
daripada Kenyataan dan Sadar Terang itu, maka engkau tidak bakal sampai
kepada Kenyataan dan Sadar Terang.
Ananda, aku sekarang hendak menerangkan kepadamu tentang cara menmpuh
jalan kebangkitan menuju kepada Sadar Terang dengan menggunakan katakata!
Tetapi, hati-hatilah, hendaknya engkau tidak terlibat didalam menganalisa
dan menguraikan arti kata-kata daripada kata-kata yang aku gunakan! Cobalah
engkau berusaha sendiri untuk mengerti dengan menembusi arti daripada
Kenyataan!
294. Ananda:
Bagaimanakah tegasnya, Bapa, mengerti dengan menembusi arti daripada
Kenyataan itu?
295. Bapa:
Ananda, mengerti dengan menembusi arti daripada Kenyataan, itu adalah
mengerti, bahwa segala rupa dan nama itu ”ada” hanya sebagai gagasan pikiran
yang timbul dari pikiran itu sendiri, dan bukan Kenyataan dunia luar. Dan
menyelami sendiri arti daripada Kenyataan itu, Ananda, adalah memperlakukan
segala rupa dan nama itu sebagai perwujudan ”engkau-sendiri”, dan tidka
107
memperlakukan segala rupa dan nama itu sebagai dunia luar yang mempunyai
zat sendiri dan kodrat sendiri. Bagaimana, Ananda, cukup jelas?
296. Ananda:
Cukup Jelas, Bapa!
Sekarang, sudikah Bapa meruskan penerangan mengenai cara menempuh jalan
kebangkitan yang menuju kepada Sadar Terang itu?
297. Bapa:
Ananda, jikalau engkai sudah hampir dapat memuncakkan akalmu, sehingga
engkau dapat mengerti, bahwasanya segala rupa dan nama yang ada dan
berwujud ini adalah bukan kenyataan apa-apa, kecuali wujudan pikiran yang
timbul dari pikiran, dan dilihat oleh pikiran itu sendiri, maka disitu dikatakan,
bahwa engkau sudah dapat mencapai Pengertian - Benar. Mencapai pengertian
benar itu, Ananda, dapat diperumpamakan sebagai seseorang yang ”terbangun”
dari tidur dan impiannya.
Ananda, sebagai biasanya orang yang ”terbangun” dari tidurnya, ia tidak segera
”bangkit” dan berjalan meninggalkan tempat tidurnya, melainkan masih saja
menggolek-golek bagannya disitu. Dalam keadaan setengah sadar ia
mengenangkan kembali apa-apa yang telah terjadi didamal impiannya dengan
segala kesenangan dan kesusahannya. Nah, disini terjadi dua kemungkinan,
Ananda, yaitu jatuh ”tertidur” lagi, atau ”bangkit” lalau berjalan meninggalkan
tempat tidurnya.
Didalam hal dia yang bermimpi tentang peristiwa-peristiwa menakutkan dan
menyusahkan, Ananda, maka pada saat ia :terbangun” dari mimpinya
bertanyalah ia pada dirinya sendiri: ”Apakah yang terjadi tadi itu sungguhsungguh
ataukah bukan sungguh-sungguh? Setelah disadari, bahwa apa yang
terjadi dalam mimpi tadi itu bukan sungguh-sungguh, dan hanya sia-sia belaka,
maka ”bangkit”-lah ia dan berjalan meninggalkan tempat tidurnya.
108
Tetapi, sebaliknya, bagi dia yang bermimpi tentang hal-hal yang serba
menyenangkan, Ananda, maka pada saat ia ”terbangun” ia tidak bertanya apaapa
lagi, bahkan justru ingin meneruskan impiannya.
Nah, seperti demikian itu pulalah halnya, Ananda, bagi mereka yang sudah dapat
mencapai pengertian benar. Ia mengerti, bahwa kepribadian aku dan dunia
lahiriah sekitarnya itu bukan kenyataan apa-apa, namun karena begitu kuatnya
kemelekatannya kepada kebiasaannya menanggapi rupa dan nama sebagai
banyaknya dan macamnya kenyataan-kenyataan yang diperlukan dan
dibutuhkan didalam kehidupan ini, maka ia tidak mempunyai cukup kekuatan
kemauan untuk segera ”bangkit” dan berjalan merealisasi sendiri Kenyataan
untuk segera ”bangkit” dan berjalan merealisasi sendiri Kenyataan Sadar Terang.
Ia tetap tinggal bergolek-golek di ”tempat tidur” pembedaan-pembedaan rupa
dan nama, sambil terus menerus berkata-kata tentang berbagai segi (aspek)
daripada pengertian benar.
Ananda, engkau telah mengenali, bahwa jalan menuju kebangkitan sadar terang,
itu adalah menghentikan kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran. Tetapi
engkau tidak akan dapat menghentikan kegiatan bekerjanya tata susunan
pikiran, jikalau engkau tidak menghentikan sesuatu yang menyangga hidupnya
tata susunan pikiran itu, Ananda!
298. Ananda:
Lalu, apakah ”sesuatu” yang menyangga hidupnya tata susunan pikiran itu,
Bapa?
299. Bapa:
Ada dua cara, Ananda, bagaiman tata susunan pikiran itu berhenti melakukan
kegiatannya, yaitu: pertama, dengan memutuskan ”kontak” diantara alat-alat
perasaan dengan dunia luar; dan kedua, dengan menghentikan pembedaanpembedaan
rupa dan nama.
109
Ananda, tatkala ”kontak” diantara ala-ala perasaan dan dunia luar diputuskan,
maka disitu tidak timbul perasaan-perasaan pikiran; dan dengan tidak timbulnya
perasaan-perasaan pikiran, maka disitu kebiasaan tanggapan menjadi terhenti.
Dengan berhentinya kebiasaan tanggapan, Ananda, maka pembedaanpembedaan
rupa dan nama terhenti pula. Dan oleh karena pembedaanpembedaan
ruap dan nama terhenti, maka disitu tugas (fungsi) berpikir
perorangan terhenti pula, yang ini berati kegiatan tata susunan pikiran menjadi
terhenti. Dengan berhentinya kegiatan tata susunan pikiran, maka terjadilah
”pembalikan” dari kesadaran ego kepada kesadaran kenyataan esa, yaitu
kebangkitan pikiran dari kematiannya. Maka dengan demikian terealisasihlah
sadar terang atau hidup kekal yang tak berkematian itu!
Yang kedua, Ananda, tata susunan pikiran itu terhenti, tatkala pembedaanpembedaan
rupa dan nama itu dihentikan. Ananda, setelah dimengerti dengan
sungguh-sungguh, bahwa rupa dan nama itu adalah pengertian-pengertian
timbul dan tenggelamnya gagasan-gagasan pikiran terus-menerus dengan tak
pernah terputus-putus, maka gerak perubahan daripada dunia lahiriah ini tidak
dilihat lagi sebagai banyaknya dan macamnya rupa dan nama yang mempunyai
kodrat sendiri, melainkan gerak perubahan dunia lahiriah ini terlihat sebagai
kelangsungan kegiatan yang tak pernah terputus. Dan setelah dunia lahiriah ini
terlihat sebagai kelangsungan kegiatan semata-mata, Ananda, maka disitu
berhentilah pembedaan-pembedaan perorangan dengan segala sikap-sikap dan
perbuatan-perbuatannya, baik yang dinilai sebagai baik, maupun yang dinilai
sebagai buruk. Dan dengan berhentinya pembedaan-pembedaan rupa dan nama
yang berkodrat perorangan dan serba dua itu, Ananda, maka berhenti pulalah
kegiatan bekerjanya tata susunan pikiran. Dengan berhentinya kegiatan tata
susunan pikiran itu, maka terealisasilah kebangkitan dan sadar terang atau hidup
kekal yang tek berkematian itu!
Ananda, kebangkitan dan sadar terang itu tidak dapat dicapai melalui khotbahkhotbah,
pidato-pidato, ajaran-ajaran arti kata-kata, dan pengertian-pengertian
serba dua, tidak, tidak dapat dicapai dengan cara begitu itu! Kebangkitan dan
110
sadar terang haya dapat dicapai dengan diusahakan sendiri, dan direalisasi
sendiri melalui penyelaman diri, yaitu ”membalikkan” kesadaran ego kepada
kesadaran esa dengan cara menghentikan kegiatan bekerjanya tata susunan
pikiran yang berkodrat perorangan.
300. Ananda:
Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa mencapai pengertian benar itu dapat
diperumpamakan sebagai seseorang yang ”terbangun” dari tidur mimpinya. Dan
bagi seseorang yang sudah ”terbangun”, barulah terbuka kemungkinan untuk
”bangkit” dan berjalan meninggalkan tempat tidurnya.
Dan seperti itu pulalah halnya dengan realisasi kebangkitan dan sadar terang.
Bagi seseorang yang sudah dapat mencapai pengertian benar, maka barulah
terbuka kemungkinan baginya untuk menrealisasi kebangkitan dan sadar terang.
Menurut faktanya, Bapa, pengertian benar itu dicapai oelh seseorang dengan
melalui batuan orang lain berupa petunjuk dan ajaran. Tetapi, mengapakah lalu
dikatakan, bahwa kebangkitan dan sadar terang itu tidak dapat dicapai melalui
ajaran?
9. SISWA, GURU, DAN AJARAN
301. Bapa:
Ananda, ajaran dari seorang guru itu perlu bagi seseorang yang membutuhkan
pengertian, dan karena membutuhkan pengertian, maka seseorang lalu
bertanya. Jadi, bertanya, itu adalah ”tanda” bagi seseorang yang membutuhkan
pengertian. Tetapi, didalam hubungannya dengan kebangkitan dan sadar terang,
Ananda, yang diperlukan oleh seseorang bukanlah pengertian arti kata-kata atau
pengertian harfiah (literal meaning), melainkan pengertian benar, yaitu mengerti,
bahwa segala apa yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan apaapa,
kecuali perwujudan gambar pikiran yang timbul dari pikiran, dan dilihat
serta ditanggapi oleh pikiran itu sendiri.
111
Sebagai contoh misalnya, jikalau seseorang hendak pergi ke Surabaya,
dandisana ia hendak melihat tugu pahlawan, maka terlebih dahulu ia
memerlukan pegertian tentang hal ikhwalnya bepergian ke Surabaya itu. Dan
oleh karena ia memerlukan pengertian tentang hal ikhwalnya bepergian ke
Surabaya itu, maka ia lalu bertanya kepada seseorang lain yang sudah pernah
pergi kesana untuk mendapatkan petunjuk dan ajaran.
Dan setelah pengertian itu dicapai dan diperolehnya, Ananda, maka soal
perginya atau tidak perginya ke Surabaya itu sendiri, bukanlah persoalannya
seseorang yang memberikan petunjuk dan ajaran itu, dan juga bukanlah
persoalan petunjuk dan ajaran itu sendiri, melainkan persoalan usaha sendiri,
dan realisasi – sendiri daripada orang yang sudah mencapai pengertian itu.
Begitu pulalah halnya dengan kebangkitan dan sadar terangnitu, Ananda!
Setelah seseorang mencapai pengertian benar, Ananda, maka soal mau bangkit
dan dan merealisasikan sadar terang atau tidak mau bangkit merealisasikan
sadar terang, itu bukanlah persoalan orang yang memberikan petunjuk dan
ajaran, dan juga bukanlah persoalan ajaran dan pengertian benar itu sendiri,
melainkan persoalan usaha-sendiri dan merealisasi-sendiri (penyelaman-sendiri)
daripada orang yang sudah mencapai pengertian benar itu. Dan itulah sebabnya,
mengapa lalu dikatakan, bahwa kebangkitan dan sadar terang itu tidak dapat
dicapai melalui ajaran, apa lagi melalui ajaran arti kata-kata (words teaching).
Bagaimana, Ananda, cukup terangkah?
302. Ananda:
Sudah, sudah cukup terang, Bapa!
Jadi, pengertian benar itu dicapai oleh seseorang siswa melalui bantuan seorang
guru berupa petunjuk dan ajaran. Tetapi, soal mencapai kebangkitan dan sadar
terang, itu bukanlah persoalan guru, dan juga bukan persoalan ajaran,
melainkan persoalan usaha sendiri dan penyelamatan sendiri dari siswa yang
bersangkutan.
112
303. Bapa:
Bagus!
Ananda, jikalau kita berbicara soal pengertian benar, maka disitu terdapat 3 hal
yang saling berkaitan, yaitu soal sisea, guru, dan ajaran. Guru memberikan
ajaran tentang pengertian benar kepada siswa, sedangkan siswa menerima
ajaran tentang pengertian benar dari guru. Nah, dalam hubungan itu, Ananda,
maka aku hendak bertanya kepadamu!
Karena guru itu memberikan ajaran kepada siswa, maka bagaimanakah
pendapatmu tentang guru itu, Ananda? Dapatkah guru itu membuat siswa itu
mengerti? Coba terangkan jawabmu!
304. Ananda:
Guru dapat memberikan ajaran kepada siswa, Bapa, namun guru tidak dapat
membuat siswa itu mengerti! Siswa dapat mengerti karena usahanya sendiri,
karena yang berfikir, yang merenungkan, yang mempertimbangkan, dan yang
memutuskan adalah siswa itu sendiri.
305. Bapa:
Bagus!
”Mengerti” itu tidak dapat dibuat oleh seorang guru, dan ”mengerti” itu tidak
dapat diberikan oleh seoarang guru kepada seorang siswa. ”Mengerti” itu dicapai
oleh seseorang siswa atas usahanya sendiri.
Jadi, Ananda, Jelaslah, bahwa tugas (fungsi) seorang guru itu adalah sematamata
menyampaikan dan mengutarakan petunjuk dan ajaran dengan cara yang
seterang-terangnya, namun tiada hak dan kewajiban seorang guru untuk
memaksakan apapun kepada siswa, karena seorang guru tidak mungkin dapat
membuat dan meberikan ”mengerti” kepada siswa.
306. Ananda:
113
Untuk menghindarkan diri dari kekeliruan, dan supaya dapat mengenali dengan
cara yang benar, sudilah Bapa menjelaskan tentang kodrat daipada siswa, guru,
dan ajaran itu?
307. Bapa:
Biasanya, Ananda, karena kesusahan, kesakitan, dan lain-lain hal yang sangat
mencekam perasaan perorangannya, maka seseirang biasanya lalu bertanya
kepada dirinya sendiri, dan berusaha untuk maencari dan menemukan hakekat
dirinya dan dunia lahiriah sekitarnya, dengan harapan akan dapat melepaskan
diri dari cekaman perasaan susah dan sakut itu. Dan jikalau ia ternyata tidak
dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu, dan tidak dapat menemukan apa
yang ia cari, maka mulaikah ia bertanya kepada orang lain, yang dianggapnya
sebgai ”guru” yang akan dapat memberikan ”ajaran” kepadanya sebagai seorang
”siswa.
Jelaslah, Ananda, bahwa karena bertanya, maka disitu lalu timbul apa yang
dinamakan guru, siswa, dan ajaran. Dan jikalau pertanyaan itu di tujukan kepada
orang lain, maka gurunya adalah ”seorang” pribadi; ia sendiri sebagai siswa
adalah ”seorang” pribadi; dan ajarannya adalah berupa kata-kata dan namanama.
Ananda, jikalau seseorang sudah mulai bertanya akan hakekat penderitaannya,
atau hakekat dirinya, atau hakekat dunia lahiriah sekitarnya, maka ”pertanyaan”
itu dapat dikatakan sebagai ”tanda” bahwa seseorang itu sudah mulai akan
”bangun” dari tidur dari mimpinya.
Nah, dengan penjelasan itu, Ananda, maka sekarang aku hendak bertanya
kepadamu! Ananda, tatkala seseorang telah menunjukkan ”tanda-tanda” akan
”bangun”, maka bagaimanakah kodrat daripada siswa, guru, dan ajaran itu?
308. Ananda:
Tatkala seseorang sudah mulai bertanya dan mencari akan hal-hal yang hakiki
mengenai pederitaannya, atau mengenai dirinya sendiri, atau mengenai dunia
114
lahiriah sekitarnya, maka hal itu adalah merupakan ”tanda”, bahwa orang itu
sudah akan ”bangun”. Dalam hal demikian, Bapa, maka kodrat siswa dan guru
adalah perorangan, sedangkan kodrat ajarannya adalah himpunan kata-kata dan
nama. Bukankah demikian, Bapa?
309. Bapa:
Bagus sekali, Ananda, memang demikianitulah! Nah, setelah seseorang benarbenar
”bangun”, Ananda, artinya: setelah seseorang benar-benar mencapai
pengertian benar, yaitu benar-benar mengerti, bahwasanya segala apa yang ada
dan berwujud itu tidak lain hanyalan perwujudan pikiran yang timbul dari pikiran
dan dilihat oleh pikiran itu sendiri, maka disitu timbullah perubahan
(transformation) kodrat daripada pengertian siswa, guru, dan ajaran.
310. Ananda:
Timbul perubahan kodrat yang bagaimanakah, Bapa, setelah seseorang itu
mencapai pengertian benar?
311. Bapa:
Ananda, setelah seseorang mencapai pengertian benar, maka mulailah ia
mengerti dengan sungguh-sungguh, bahwa ”diri”-nya sendiri itu sebetulnya
bukanlah kenyataan perorangan yang mempunyai rupa dan nama, tetapi ia itu
adalah pikiran berpikir dalam kodratnya yang benar, yaitu pikiran berpikir benar.
Dan ia mengerti pula, Ananda, bahwa gurunya itu sebetulnya bukanlah
kenyataan perorangan yang mempunyai rupa dan nama, tetapi gurunya itu
adalah ”tujuan” yang hendak dicapai sendiri, yaitu pikiran itu sendiri dalam
kodratnya yang sadar terang tanpa bayang; gurunya adalah Pikiran Sadar
Terang. Demikian pula ia mengerti, Ananda, bahwa ajarannya itu sebetulnya
bukanlah himpunan kata-kata dan nama-nama, tetapi ajarannya adalah realisasi
sendiri (penyelaman sendiri) naluri Sadar-Terang.
115
Demikianlah, Ananda, perubahan kodrat daripada siswa, guru, dan ajaran, yang
tumbuk tatkala seseorang telah mencapai pengertian benar, atau telah ”bangun”
itu.
Tetapi, Ananda, seperti halnya seseorang yang baru saja ”bangun” dari tidur dan
mimpinya tidak mau segera ”bangkit” dan berjalan meninggalkan temapt
tidurnya, tetapi masih saja tetap tinggal bergolek-golek disitu sembil
mengenangkan impian-impiannya yang telah berlalu, maka seperti demikian itu
pulalah halnya dengan seseorang yang baru saja mencapai pengertian-benar.
Seseorang yang baru saja mencapai pengertian benar, Ananda, biasanya tidak
mau dengan segera ”bangkit: dan merealisasi-sendiri naluri Sadar-Terang,
melaikan bergolek-golek saja dengan banyak berkata-kata dan berbicara tentang
ajaran mengenai pengertian benar. Dan celakannya, Ananda, meskipun ia
sangat fasih berkata-kata dan berbicara tentang pengertian benar, namu
pikirannya tetap melekat kepada kebutuhan-kebutuhan dan kepentingankepentingan
dunia rupa dan nama yang berkodrat perorangan.
Hal ini menunjukkan, bahwa setelah ia ”bangun”, maka ia lalu jatuh ”tertidur”
lagi! Ingat baik-baik hal ini, Annada, supaya engkau tidak jatuh ”tertidur”
kembali setelah engkau ”bangun”!
312. Ananda:
Bapa, jikalau seorang siswa sudah ”bangun” lalu ”bangkit”, dan sudah
merealisasi sendiri (menyelami-sendiri) naluri Sadar-Terang, lalu bagaimankah
kodrat daripada siswa, guru, dan ajaran itu?
313. Bapa:
Ananda, sebelum dicapai pengertian-benar, maka pengertian-pengertian
mengenai siswa, gurum dan ajaran adalah pengertian=pengertian dalam kodrat
perorangan; artinya: disitu terdapat siswa perorangan, guru peroarangan, dan
ajaran kata-kata dan nama-nama.
116
Dan sesudah dicapai pengertian benar, maka pengertian-pengertian mengenai
siswa, guru, dan ajaran lalu berubah dari kodrat perorangan kepada kodratnya
yang sejati; artinya: disitu tidak terdapat lagi siswa perorangan, guru
perorangan, dana ajaran kata-kata dan nama-nama, melainkan disitu terdapat
Siswa-Sejati (= pikiran berpikir benar), Guru-Sejati (= pikiran sadar terang),
Ajaran-Sejati (= realisasi sendiri naluri Sadar Terang).
Sesudah dicapai pengertian-benar, Ananda, maka Siswa-Sejati berubah
menyelaraskan-diri dengan Guru-Sejati dengan cara merealisasi-sendiri naluri
Sadar-Terang yang ada pada Guru-Sejati itu. Inilah yang dimaksud dengan
menempuh Jalan Kebangkitan, atau menempuh Jalan Sadar-Terang itu.
Menempuh Jalan Kebangkitan atau menempuh Jalan Sadar Terang inilah,
Ananda, yang dikatakan sebagai ”berguru” kepada Guru-Sejati, atau ”berguru”
kepada Guru-Jagad itu.
Ananda, tatkala Siswa-Sejati sudah sampai pada Akhir-Jalan (= Akhirat), artinya
Siswa-Sejati telah merealisasi-sendiri (menyelami-sendiri) naluri Sadar-Terang,
maka genap dan sempurnalah tugas-tugas kesiswaan, keguruan, dan pengajaran
itu, dan tidak ada pekerjaan lagi yang harus diselesaikan.
314. Ananda:
Bapa, apakah yang dimaksudkan dengan ”tidak ada pekerjaan lagi yang harus
diselesaikan”, itu? Apakah hal itu berarti, bahwa Siswa-Sejati setelah
merealisasikan-sendiri Naluri Sadar-Terang itu ia tinggal diam dan menganggur?
117
BAB III
MENYELAMI-SENDIRI PENGETAHUAN LUHUR
1. KODRAT PENYELAMAN DIRI
315. Bapa:
Ananda, tatkala naluri sadar terang itu sudah diselami sendiri didalam kodratnya
yang sejati, maka sampailah Siswa-sejati pada akhir tujuannya selaku siswa. Ini
berarti, bahwa bagi siswa sejati, tugas pekerjaannya selaku siswa terhadap
gurunya telah digenapkan dan disempurnakan. Ia sekarang bukan lagi berkodrat
sebagai Siswa Sejati, karena ia telah sama dengan Guru Sejati; ia sekarang
sudah menjadi Guru Sejati itu sendiri. Setelah dialami perubahan kodrat dari
Siswa Sejati kepada Kodrat Guru Sejati, Ananda, maka kodrat kesiswaan,
keguruan, dan ajaran telah menjadi satu didalam Pikiran Sadar Terang itu
sendiri. Dan pada saat itu, Ananda, maka terjadilah ”pembalikan” didalam lubuk
kesadarannya, dimana ia menginsyafi suatu kehidupan yang satu dengan
semuannya.
Dan ketika terjadi ”pembalikan” didalam lubuk kesadarannya itu, Ananda, maka
ia menghayati suatu kehidupan bebas dan berbahagia yang tidak bersyaratkan
kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan perorangan akan dunia rupa
dan nama. Kasih sayang yang tak terbatas telah meliputi seluruh kehidupannya,
sehingga ia tidak lagi membeda-bedakan rupa dan nama sebagai hal-hal yang
baik atau buruk, dan memperlakukan semua manusia sebagai meperlakukan
dirinya sendiri.
Ananda, ketika naluri sadar terang sudah diselami sendiri didalam kodrat yang
sejati, maka Siswa Sejati bukanlah lalu berdiam diri dan menganggur, melainkan
didalam kodratnya yang baru sebagai Guru Sejati ia bahkan lebih giat mengambil
peranan didalam membagi-bagikan jasanya kepada seluruh umat manusia
supaya mereka dapat ikut serta menikmati pembebasan dan kebahagiaan yang
akan melepaskan mereka dari belenggu penderitaan.
118
316. Ananda:
Telah dikanali, Bapa, bahwa kodrat Guru Sejati sebagai Pikiran Sadar Terang
bukan perorangan, tetapi bagaimana bisa jadi ia lalu mengambil kegiatan
didalam membagi-bagikan jasanya kepada umat manusia untuk pembebasan
mereka? Agaknya hal ini sulit dimengerti! Sudikah Bapa menerangkan tentang
kodrat daripada Guru Sejati dengan cara yang lebih jelas lagi?
317. Bapa:
Guru Sejati, Ananda, didalam kodratnya sebagai Pikiran Sadar Terang, itu adalah
pikiran yang menyadari, bahwa Terang tanpa bayangan (hampa gambaran) itu
adalah Kodratnya Sendiri. Dengan menyadari, bahwa Terang itu adalah
Kodratnya sendiri, Ananda, maka didalam Pikiran Sadar Terang itu sendiri
ternyata masih terdapat pembedaan diantara Pikiran dan bidang Kesadarannya.
Meskipun Pikiran Sadara Terang itu sendiri bukan perorangan, dan tidak dapat
diperorangan, Ananda, namun karena pengetahuannya tentang pembedaan dan
pencirian itu, maka hal ini menunjukkan, bahwa Pikiran Sadar Terang itu sendiri
belumlah merupakan tahapan Kenyataan Esa yang hampa Zat, hampa
pembendaan, hampa sebutan, dan hampa perbuatan. Ini berarti, bahwa diatas
Pikiran Sadar Terang, Ananda, disitu masih terdapat sesuatu yang terlebih luhur,
yaitu Kenyataan Esa yang aku sebutkan sebagai Pikiran Semesta (Universal
Mind) atau Pikiran Menunggal (Unitive Mind)
Ananda, karena pengetahuannya mengenai pembendaan dan pencirian akan
mana yang Kenyataan dan mana yang bukan Kenyataan, maka Pikiran Sadar
Terang dapat dinyatakan sebagai pintu yang menghubungkan dianatara tata
susunan pikiran yang kodratnya rendah, yaitu pikiran perasaan (sense mind)
atau pikiran fana (mortal mind), dengan Pikiran Semesta yang kodratnya suci
murni dan hampa gambaran (imagelessness). Dan didalam tugasnya (fungsinya)
sebagai pintu penghubung yang menghubungkan diantara pikiran fana dan
Pikiran Semesta, Ananda, maka Pikiran Sadar Terang disatu fihak mengambil
119
peranan duniawi didalam membagi-bagikan jasanya berupa petunjuk dan ajaran
kepada umat manusia supaya mereka dapat mencapai pembebasan, dan dilain
fihak Pikiran Sadar Terang melekat dan bergantung kepada Pikiran Semesta
didalam kodrat inti sarinya yang suci murni dan hampa gambaran itu.
Melalui Pikiran Sadar Terang, Ananda, mka Pikiran Semesta yang hampa
pencurahan (devoid of out flowing) itu lalu bisa terwujud dan terlaksana. Ini
berarti, bahwa jikalau tidak karena Pikiran Sadar Terang, maka dunia rupa dan
nama itu tidak akan ada dan tidak akan terwujud.
Ananda, Pikiran Sadar Terang itu dapat diperumpamakan sebagai seorang
Dalang bijaksana yang mementaskan suatu lakon wayang pada layar putih
pedalangan lengkap dengan wayang-wayang sebagai pemain-pemainnya. Sang
Dalang ikut serta didalam kehidupan fana daripada wayang-wayang itu dengan
segala kesenangan dan kesusahannya, namun sementara itu Sang Dalang selalu
dapat merenungkan betapa hampa dan sia-sianya kehidupan wayang-wayang
itu, karena ia menyadari dengan terang, bahwa apa yang tampaknya seolah-olah
sebagai perbuatan-perbuatan dan pembicaraan-pembicaraan wayang-wayang itu
tidak lain kecuali hasil kegiatannya sendiri.
318. Ananda:
Bapa, didalam perumpamaan itu Guru Sejati atau Pikiran Sadar Terang telah
diperumpamakan sebagai Sang Dalang bijaksana yang mementaskan suatu lakon
wayang. Dalam hubungan itu, Bapa, diperumpamakan sebagai apakah Pikiran
Semesta dan pikiran berpikir itu?
319. Bapa:
Ananda, Pikiran Semesta dapat diperumpamakan sebagai seorang Maha Raja
yang akan menyelenggarakan suatu keramaian, dimana penyelenggaraannya
diserahkan sepenuhnya kepada Sang Dalang.
Tidak banyak yang dapat aku jelaskan kepadamu tentang Sang Maha Raja itu,
Ananda, sebab Sang Maha Raja adalah Pikiran Semesta yang kodratnya tiak
120
terucapkan (ineffable). Sang Maha Raja Yang Maha Tahu itu hanya duduk
didinggasana kebesaran dan keangungannya sambil menetapkan apa yang boleh
terjadi dan apa yang bisa terjadi; dan apa yang ditetapkannya itu tak dapat
diperkirakan terlebih dahulu (upredictable).
Adapun Pikiran berpikir, Ananda, yang diperumpamakan sebagai penonton, itu
adalah siswa-siswa bagi Sang Guru atau Sang Dalang. Dan sebagai layaknya
para penonton, disitu terdapat penonton-penonton yang bodoh dan tidak
berpengetahuan, dan ada pula penonton yang bijaksana dan berpengetahuan.
Bagi penonton bodoh, Ananda, ia sama sekali tidak mengerti, bahwa wayangwayang
yang dimainkan oleh Sang Dalang itu bukannya kenyataan yang
sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai permainan dan sandiwara belaka.
Penonton yang bodoh tidak mengerti sama sekali tugasnya yang benar sebagai
penonton, yang seharusnya menonton semata-mata akan apa yang dimainkan
oleh Sang Dalang.
Ananda, karena ketidak-tahuannya, maka penonton bodoh sebentar-sebentar
tertawa dan menari-nari kegirangan, dan sebentar-sebentar lagi menangis dalam
kesedihan melihat apa yang dikirannya sebagai perbuatan-perbuatan dan
pembicaraan-pembicaraan wayang-wayang yang mempunyai kodrat sendiri. Ia
takut, menyesal, dan susah akan kehilangan wayang-wayang yang disenanginya,
dan takut, menyesal, dan susah pula akan kehadiran wayang-wayang yang tidak
disenanginya. Selama-lamanya ia mengerang didalam kesengsaraan dan
penderitaan, karena tidak mengerti, bahwa lelakon wayang-wayang itu bukannya
sungguh-sungguh, melainkan sandiwara dan permainan belaka. Penonton yang
bodoh inilah, Ananda, merupakan perumpamaan bagi siswa yang bodoh, yaitu
pikiran berpikir keliru yang tidak mempunyai pengertian benar.
Sebaliknya, bagi penonton yang berpengetahuan, Ananda, ia mengerti dengan
sungguh-sungguh, bahwa apa yang tampaknya sebagai perbuatan-perbuatan
dan pembicaraan-pembicaraan wayang-wayang itu sebetulnya bukanlah kegiatan
daripada pencerminan kegiatan Sang Dalang yang berkodrat sandiwara dan
manina semata-mata. Oleh karena itu ia tidak pernah takut, menyesali, dan
121
menyusahkan apa yang terjadi pada lelakon wayang-wayang itu, dan ia tetap
tinggal tenang selaku penonton yang benar, yaitu menonton semata-mata.
Penonton yang bijaksana inilah, Ananda, merupakan perumapamaan bagi siswa
sejati, yatu pikiran berpikir benar yang telah mencapai pengertian benar.
Jikalau saja, Ananda, engkau dapat merealisasi dirimu sebagai penonton yang
benar, dan menjalankan tugas pekerjaanmu sebagai penonton semata-mata
tanpa merasa tersinggung dan memberikan reaksi menurut dorongan perasaan
perorangan (impulive reaction) terhadap dunia rupa dan nama ini, maka engkau
akan menjadi penonton yang sempurna. Dan tatkala engkau sudah mencapai
pengertian yang mendalam, dan dapat melihat, bahwasanya dunia ini sebetulnya
tidak lain daripada suatu kelangsungan semata-mata, maka disitu engkau akan
dapat menjadi penonton yang sempurna.
Dan siapakah penonton yang sempurna itu, Ananda?
Pikiran yang sempurna tidak lain adalah Pikiran Melihat, yaitu Pikiran Sadar
Terang yang dicirikan dengan berbagai sebutan seperti Guru Sejati atau Dalang
Jagad itu!
Tegasnya, Ananda, penonton yang sempurna hanya dapat dicapai oleh siswasiswa
yang mau berusaha sendiri dengan sungguh-sungguh untuk menghentikan
kesadaran ego nya, dan memasuki kodrat penyelaman diri didalam Pikiran
Melihat atau Pikiran Sadar Terang.
320. Ananda:
Bapa, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh seorang siswa
Pengetahuan Luhur supaya ia dapat dengan degera memasuki kodrat
penyelaman diri?
2. DISIPLIN DAN PENCAPAIAN PENYELAMAN DIRI
321. Bapa:
Tiga syarat yang harus dipenuhi oleh seorang siswa Pengetahuan Luhur, jikalau
ia hendak memasuki kodrat penyelaman diri.
122
Syarat pertama adalah pengertian benar. Ia harus mencapai pengertian yang
jelas dan tegas, dan yakin tanpa ragu-ragu lagi akan kebenaran:
Ke-1. Bahwa segala hal yang ada dan berwujud itu sebetulnya bukan kenyataan
apa-apa, kecuali perwujudan pikiran yang timbul dari pikiran dan dilihat oleh
pikiran itu sendiri;
Ke-2. Bahwa segala hal yang ada dan berwujud itu pada hakekatnya hampa zat,
hampa kelahiran, hampa ego, dan hampa kodrat sendiri;
Ke-3. Bahwa Kenyataan itu terealisasi didalam kodrat penyelaman diri, dimana
didalam kodrat penyelaman diri itu tidak ada apa-apa yang hadir, tidak ada apaapa
yang pergi, dan juga tidak ada gagasan-gagasan, gambaran-gambaran, dan
cita-cita apa-apa yang dapat dipersamakan dengan pengalaman pancaindera
atau perasaan-perasaan-pikiran.
Syarat kedua adalah berkehidupan benar (laku utama). Yang dimaksud dengan
berkehidupan benar (laku utama) ialah, bahwa ia harus berikhtiar dan berusaha
sungguh-sungguh dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan kewaspadaan
supaya selalu dapat berpikir benar, berbicara benar, dan berbuat benar, yaitu
berpikit, berbicara, dan berbuat yang selaras dengan pengertian benar yang
telah dicapainya.
Ini artinya ialah:
Ke-1. Bahwa ia harus memupuk kebiadan berpikir dengan cara-cara benar
sebagaimana seorang Dalan bijaksana yang berpikir tentang wayangwayangnya,
dan yang memikirkan kepentingan para penontonnya supaya
mereka memperoleh bagaian kebahagiaan didalam terang;
Ke-2. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan berbicara dengan cara-cara yang
benar sebagaimana seorang Dalang bijaksana yang berbicara dan mendengarkan
suaranya sendiri yang tercurah melalui wayang-wayangnya didalam berbagai
nada dan irama, yang berusaha untuk memberikan penerangan dan petunjuk
kepada para penontonnya supaya mereka memperoleh pengertian benar yang
akan membawanya kearah menempuh jalan terang dan kebahagiaan;
123
Ke-3. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan melakukan perbuatan dengan caracara
yang benar sebagaiman seorang Dalang bijaksana yang melakukan
perbuatan melalui wayang-wayangnya, dan melihat gerak-gerak berbagai
wayang-wayng itu sebagai suatu kelangsungan yang mencerminkan kegiatan
Sang Dalang itu sendiri.
Adapun syarat ketiga, Ananda, adalah perenungan memusat (concntrative
meditation). Yang dimaksud dengan perenungan memusat itu ialah:
Ke-1. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan untuk memusatkan pikirannya
”kedalam” untuk dapat ”menemukan” hakekat Kenyataan dirinya sendiri yang
bersemayan didalam lubuk kesadaran yang paling dalam dan terahasia, sebagai
ganti daripada kebiasaan melihat ”keluar” kepada dunia rupa dan nama dengan
pikiran menyebar kemana-mana dengan tak menentu;
Ke-2. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan untuk menghampakan kepribadiannya
sendiri, dan secara naluriah memusatkan kepercayaannya yang penuh dan tak
bersyarat hanya kepada kodrat Sadar-Terang yang hampa pembendaan, hampa
sebutan, dan hampa gambaran (imagelessness);
Ke-3. Bahwa ia harus memupuk kebiasaan untuk secara berkala pada waktuwaktu
tertentu menyisih ketempat yang sunyi dan tenang, dan membiarkan
pikirannya menyendiri untuk melihat dan bercermin kepada kodrat inti sarinya
sendiri yang terluhur.
Demikian itulah tida syarat yang harus dipenuhi oleh seiswa Pengetahuan Luhur
(Siswa Sejati), jikalau ia hendak memasuki kodrat penyelaman diri.
Bagaiman, Ananda, sudah cukup jelas?
322. Ananda:
Sudah, sudah cukup jelas, Bapa!
Jad singkatnya, untuk dapat memasuki kodrat penyelaman diri, maka seseorang
siswa pengetahuan luhur harus memenuhi tiga syarat, yakni: pengertian benar,
didiplin kehidupan benar (laku utama), dan disiplin perenungan memusat
(concentrative meditatation).
124
Dan sesudah tiga syarat tersebut dipenuhi, Bapa, maka bagaimanakah kiranya
keadaan seorang siswa yang telah mencapai keadaan penyelaman diri itu?
Sudikah Bapa menerangkannya?
323. Bapa:
Ananda, tatkala hal-hal yang menyangkut kesiswaan, keguruan, dan filsafat
(ajaran) telah dimengerti dengan sungguh-sungguh dan telah diselami sendiri
didalam kodratnya yang sejati, maka disitu terjadilah ”pembalikan” didalam lubuk
kesadaran seseorang siswa yang tersembunyi sangat dalam dan terahasia.
”Pembalikan” itu terjadi mendadak sontak dan seketika itu juga seperti halnya
seseorang yang dengan mendadak sontak dan seketika itu juga dapat melihat
dengan terang bayangan mukanya sendiri didalam air yang sangat jernih dan
tenang. Bahwa apa yang selama ini ditinggapinya sebagai kepribadiankepribadian
”aku”, ”engkau”, dan ”dia”, itu semua tidak lain adalah dunia maya,
dunia impian, dan merupakan perwujudan dan bayangannya sendiri.
Ini adalah tahap pertama didalam keadaan penyelaman diri. Didalam tahpa ini ia
telah mencapai pembuktian sendiri dan kesaksian langsung akan kesamaan inti
sari segala hal. Disitu ia merasakan suatu suasana kelegaan dan kebahagiaan
bathiniah yang belum pernah ditemuinya didalam dunia pengalaman
penginderaan.
Dalam keadaan seperti itu sedikit banyaknya ia masih menyadari akan diri
perorangannya yang sedang mengalami kebahagian itu, dan pada saat itu
perasaan belas kasihan terhadap sesama manusia telah timbul, karena ia
mengetahui, bahwa mereka oleh sebab ketidak tahuan dan kekeliruannya belum
dapat menikmati pembebasan seperti yang dialaminya sendiri.
Sementara itu, Ananda, kasih sayang yang tak terbalas dan tak bersyarat
sebagai ciri khas didalam keadaan penyelaman diri lalu muncul didalam
bathinnya, yang kemudian diikuti oleh suatu tekad yang bulat, yang merupakan
ikrar dan janji didalam kodratnya sendiri untuk memashurkan dan
menyampaikan kebenaran pengetahuan luhur kepada umat manusia, supaya
125
mereka dapat memasuki jalan pembebasan yang akan membawanya kearah
pelepasan penderitaan mereka.
324. Ananda:
Bapa, apakah keadaan “pembalikan” kesadaran itu terjadi pada saat-saat dimana
seseorang berada didalam keadaan perenungan memusat (concentrative
meditation), ataukah terjadi pada saat-saat didalam seseorang berada dalam
keadaan kegiatan kehidupan sehari-hari?
325. Bapa:
Ananda, “pembalikan” itu terjadi pada saat pikiran berada didalam keadaan
terpusat pada satu titik sasaran tertentu, dimana pikiran telah berhenti dari
tugas (fungsi) berpikir. Ini artinya ialah, bahwa pikiran telah berhenti untuk
sementara dari kemelekatannya kepada pembedaan-pembedaan khayal yang
menimbulkan berbagai gagasan dan gambaran-gambaran.
Dengan kata lain, Ananda, “pembalikan” itu terjadi pada saat seseorang siswa
berada dalam keadaan perenungan memusat. Dan didalam keadaan perenungan
memusat itu, Ananda, pikiran untuk sementara melepaskan pemikiran-pemikiran
tentan dunia lahiriah, sehingga keadaan menjadi tenang, dan tidak bergejolak
ileh sebab keinginan-keinginan akan kepentingan-kepentingan perorangan.
326. Ananda:
Kalau begitu, Bapa, apakah penyelaman diri yang sempurna itu dapat dipercepat
pencapaiannya dengan menumpas dan menghentikan sama sekali fungsi
berpikir?
327. Bapa:
Ananda, sudah aku katakan, bahwa ”pembalikan” pada tahap pertama itu terjadi
pada saat seorang siswa berada didalam keadaan perenungan yang terpusat.
126
Dan tatkala siswa tersebut menghentikan kegiatannya dari perenungan yang
dipusatkan itu, maka tentunya ia akan kembali dalam keadaan berpikir lagi
seperti halnya apa yang dilakukan oleh tata susunan pikiran.
Didalam hubungannya dengan pencapaian penyelaman diri yang sempurna,
Ananda, boleh jadi seseorang siswa akan berpendapat, bahwa penyelaman diri
yang sempurna itu dapat dipercepat pencapaiannya dengan menumpas sama
sekali tata susunan pikiran yang selalu mengadakan ”kontak” dengan dunia luar
(external world). Sebab, mungkin siswa itu yakin, bahwa selama tata susunan
pikiran masih mengadakan ”kontak” dengan dunia luar, maka dengan disadari
atau tidak disadari, tata susunan pikiran itu masih akan selalu menimbulkan
fungsi berpikir, dimana disitu akan timbul berbagai gagasan dan gambarangambaran
yang akan menghalang-halangi tercapainya penyelaman yang
sempurna.
Tetapi, Ananda, pendapat seperti itu adalah keliru!
Sebab, penyelaman diri yang sempurna itu bukanlah harus dicapai melalui
penghentian fungsi berpikir, karena penghentian fungsi berpikir itu berarti diam
dan menganggur.
Ananda, untuk mencapai penyelaman diri yang sempurna, itu hanya tercapai
dengan menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan menanggapi pembedaanpembedaan
khayal, dan bukannya dengan menghentikan sama sekali fungsi
berpikir. Didalam kodrat penyelaman diri, Ananda, fungsi berpikir itu masih tetap
ada dan berlaku, tetapi bukannya fungsi berpikir yang melandaskan pembedaan
– pembedaan, melainkan fungsi bepikir yang terpusat kepada satu titik sasaran
yang tetap, yaitu terpusat kepada Kenyataan Esa yang hampa pembedaan.
Tatkala seseorang siswa sedang didalam melakukan disiplin perenungan
memusat dengan memutuskan ”kontak” dengan dunia luar, dan pikirannya telah
benar-benar terpusat kepada satu titik sasaran, maka disitu fungsi berpikir yang
menanggapi dunia luar memang terhenti untuk sementara. Dan pada saat itu,
Ananda, seseorang siswa mengalami suatu penghayatan didalam kesadarannya
tentang berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan.
127
Tetapi, Ananda, berhentinya fungsi berpikir yang menimbulkan pengalaman
penghayatan tentang berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan itu
bukanlah merupakan tujuan didalam mencapai penyelamatan diri yang
sempurna. Meskipun seseorang siswa telah pernah mengalami penghayatan
tentang berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan melalui
penghentian fungsi berpikir, namun hal itu belumlah berarti, bahwa siswa
tersebut telah bebas sama sekali dari kemelekatan dan pembedaan-pembedaan.
Kebiasaan lama didala mengingat dan menanggapi berbagai macam gagasan,
gambaran-gambaran, kata-kata, perbuatan-perbuatan, dan keinginan-keinginan,
itu semua masih merupakan benih-benih kemelekatan yang belum di bersihkan
sama sekali.
Dan pembersihannya dapat dilakukan dengna perlahan-lahan dan berangsurangsur
melalui perlaksanaan disiplin kehidupan benar (laku utama) dengan
sabar, tekun, terus menerus, dan penuh kewaspadaan. Itulah sebabnya,
mengapa lalu dikatakan, bahwa disiplin perenungan memusat dan disiplin
kebidupan benar merupakan dua macam disiplin yang tak dapat dipisahkan satu
sama lain, dan saling menunjang.
328. Ananda:
Bapa, mengertilah aku sekarang, bahwa untuk dapat memasuki kodrat
penyelaman diri yang sempurna, itu bukanlah harus menghentikan Fungsi
berpikir, melainkan harus direalisasi dengna menghentikan kemelekan kepada
kebiasaan melakukan pembedaan-pembedaan khayal.
Sedangkan untuk menghentikan kemelekatan kepada kebiasaan melakukan
pembedaan-pembedaan khayal itu direalisasi dengan melalui dua macam disiplin
yang berlandaskan pengertian benar, yaitu disiplin kehidupan benar dan disiplin
perenungan memusat (concentrative meditation).
Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa tatkala seseorang siswa melakukan disiplin
perenungan memusat dengan memutuskan ”kontak” dengan dunia luar, maka ia
akan memperoleh suatu pengalaman penghayatan didalam kesadarannya tentan
128
berhentinya kemelekatan dan pembedaan-pembedaan. Lalu apakah gunanya
pengalaman penghayatan itu, Bapa, jikalau harus dikaitkan dengan pencapaian
penyelaman diri yang sempurna?
329. Bapa:
Ananda, didalam hubungannya dengan pencapaian penyelaman diri yang
sempurna, seperti talah aku katakan tadi, melakukan disiplin perenungan
memusat dengan memutuskan ”kontak” dengna dunia luar saja tidaklah cukup,
sebab didalam pikiran masih terdapat benih-benih kemelekatan yang belum
dibersihkan secara tuntas. Untuk membersihkannya, maka disiplin perenungan
memusat itu harus ditunjang oleh disiplin kehidupan benar.
Didalam hal seseorang siswa mentaati pelaksanaan disiplin perenungan
memusat, dan ia telah sering mengalami penghayatan tentang berhentinya
kemelekatan dan pembedaan-pembedaan, maka pengalaman itu akan
meniggalkan kesan didalam ingatan dan kesadarannya, didalam kesan
kesadaran-nya itu akan dibawanya didalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, maka pelaksanaan disiplin kehidupan benar akan menjadi lebih
mantap, karena disangga oleh kesan kesadaran yang sewaktu-waktu dapat
dimunculkan kembali dengan mudah.
Ananda, dengan teraturnya pelaksanaan disiplin perenungan memusat, maka
kesan kesadaran dari seseorang siswa akan menjadi lebih mantap dan tidak
berubah-ubah. Sambil menjalankan tugas-tugas kehidupan duniawi sehari-hari
seperti biasa, siswa tersebut memunculkan kesan kesadarannya yang sudah
mantap itu sebagai pusat sasaran perenungannya. Didalam tampaknya, memang
siswa tersebut ikut serta didalam kegiatan kehidupan duniawi seperti biasa,
namun sebetulnya siswa tersebut sudah tidak lagi melekat kepada dunia rupa
dan nama itu. Inilah yang dikatakan oleh para bijaksana zaman dahulu sebagai
”melakukan kegiatan, tetapi tidak berbuat apa-apa” itu.
Tetapi, Ananda, dengan dicapainya kesan kesadaran yang sudah mantap itu,
belumlah berarti bahwa siswa tersebut sudah dapat mencapai penyelaman diri
129
yang sempurna dan penuh. Mengapa? Sebabnya adalah, bahwa didalam
pikirannya masih terdapat ”kotoran” berupa kesan; dan kesan itu harus
diusahakannya supaya lenyap sama sekali, sehingga pikiran dapat kembali
didalam kodrat inti sarinya yang semula, yaitu suci dan bersih dari segaal jenis
kebiasaaan tanggapan.
330. Ananda:
Bapa, apakah yang harus diusahakan oleh seorang siswa yang sudah mencapai
kesan kesadaran yang sudah mantap, agar supaya ia dapat memasuki kodrat
penyelaman diri yang sempurna dan penuh?
331. Bapa:
Ananda, bagi seseorang siswa Pengetahuan Luhur yang sudah dapat mencapai
kesan kesadaran yang mantap dan tidak berubah-rubah maka ia masih tetap
melakukan disiplin kehidupan benar dan disiplin perenungan memusat. Tetapi
kodrat perenungannya bukan lagi dengan ”duduk diam”, melakukan dengan
mengambil kegiatan ”kerja” sehari-hari, sambil memusatkan pikirannya kepada
kesan kesadarannya yang sudah dicapai sebagai titik sasaran pemusatannya.
Dengan cara demikian, Ananda, maka pada sesuatu hari kesan kesadarannya
akan ”berbalik” menjadi kesadaran terang penuh, dimana pada saat seperti itu
seseorang siswa berpengetahuan lhur lalu menerima kodrat Kecerdasan Bathin
Luhur (Transcendental Intellegence) daripada Pikiran Menunggal (Pikiran
Semesta), dan disitulah penyelaman diri yang sempurna dan penuh telah
tercapai!
332. Ananda:
Bapa, jikalau ada sesuatu pencapaian, tentunya disitu harus ada buah hasil yang
dapat dipetik. Nah, didalam hal seorang siswa telah mencapai penyelaman diri
yang sempurna dan penuh, lalu buah hasil apakah yang dapat di petik
daripadanya?
130
3. BUAH HASIL PENYELAMAN DIRI
333. Bapa:
Ananda, bagi seorang siswa Pengetahuan Luhur yang telah mencapai
penyelaman diri yang sempurna dan penuh, maka seluruh dunia rupa dan nama
ini (termasuk personalitasnya sendiri) tidak lagi terlihat sebagai banyaknya dan
macamnya kenyataan-kenyataan yang terlahir dengan ke-aku-an (selfhood) dan
kodrat sendiri, melainkan seluruh dunia rupa dan nama ini hanyalah terlihat
sebagai impiannya sendiri yang telah berlalu.
Dan dengan menginsyafi, bahwa dunia rupa dan nama ini adalah impiannya
sendiri yang telah berlalu, maka ia tidak lagi berusaha secara pereorangan untuk
mencari penyesuaian diri dengan gerak kehidupan duniawi ini; dan ia juga tidak
memandang dunia rupa dan nama ini sebagai banyaknya dan macamnya hal
yang harus diberi nilai dan penilaian baik ataupun buruk, enak ataupun
menyakitkan.
Didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna dan penuh, Ananda, maka
seorang siswa Pengetahuan Luhur ada didalam keadaan pembebasan penuh tak
bersyarat.
Ia dengan sangat mudah merubah dirinya dari sesuatu perwujudan kepada
perwujudan yang lain seperti mudahnya mengenal dan sesuatu adegan impian
yang satu kepada adegan impian yang lain. Dan lagi, ia dapat memperbanyak
perwujudannya ditempat-tempat yang berbeda pada saat yang sama, dan
merubah tubuhnya yang kasar menjadi tubuh yang halus untuk membagibagikan
jasanya kepada semua makhluk didalam menggenapkan pekerjaan
mereka yang tidak dapat di mengertinya.
Ananda, didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna dan penuh seseorang
siswa Pengetahuan Luhur dapat dengan mudah menembus seluruh alam, baik
alam benda, alam pikiran, maupun alam menunggal. Sementara kesadarannya
berada dialam yang terluhur, sedikitpun ia tidak pernah terlena dan tidak pernah
131
kehilangan keinsyafan dan keseimbangannya dialam yang lebih rendah dengan
segala kodratnya. Artinya, didalam perwujudannya sebagai manusia bertubuh
kasar ia mengambil kegiatan duniawi biasa dengan segala macam perasaannya,
namun kesadaran pikirannya dapat pergi jauh tak terbatas dan menembusi
berbagai macam perwujudan tanpa penghalang apapun, dan dapat pula
menembusi kesadaran tata susunan pikiran siswa-siswa biasa, dan bahkan,
dapat menembusi kesadaran ilahiah daripada Pikiran Semesta.
Pendek kata, Ananda, mujijat dan kebesaran telah timbul pada seorang anak
manusia! Tetapi bukannya ”mujijat” dan ”keheranan-heranan” yang
dipertontonkan secara tubuh dihadapan perasan pikiran manusia, Ananda,
merupakan mujijat daripada pengenalan.
Seorang anak manusia telah dapat mengenal ”sesuatu” yang luar biasa, yang
tidak dapat, bahkan tidak mungkin dapat dikenal oleh seseorang dengan caracara
manusiawi biasa. Hal-hal yang mustahil dan tak mungkin bisa terjadi bagi
pertimbangan pikiran yang berakal budi (intellectual reasoning mind) menjadi
serba mungkin dan serba bisa terjadi bagi siswa Pengetahuan Luhur yang berada
didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna dan penuh.
Memang benar, Ananda, mungkin saja seorang anak manusia yang berada
didalam keadaan penyelaman diri yang sempurna kadang-kadang menampakkan
mujijat dan keheran-heranan secara tubuh, namun hal seperti itu sangat jarang
terjadi. Mengapa?
Karena di dalam kodratnya yang luhur, siswa Berpengetahuan Luhur di dalam
membagi-bagikan bantuan dan jasanya kepada semua makhluk sangat menyukai
kerahasiaan ilahiah, dan tidak membutuhkan kesaksian-kesaksian inderawi cara
manusia, dan juga tidak membutuhkan ketenaran perorangan yang akan
menjadi penyebab kesesatan dan keaniayaan siswa-siswa biasa.
Ananda, boleh jadi engkau menjumpai seseorang yang suka memamerkan dan
mendemonstrasikan perbuatan-perbuatan mujijat. Hal seperti itu, Ananda,
barulah membuktikan, bahwa perbuatan mujijat itu memang ada, tetapi hal
seperti itu belumlah merupakan suatu bukti, bahwa orang yang melakukan
132
perbuatan mujijat itu sudah benar-benar dapat bernapas didalam Kebenaran dan
Kenyataan Esa yang kodratnya Sadar Terang Penuh.
334. Ananda:
Bapa, tadi telah dikatakan, bahwa setelah penyelaman diri yang sempurna dan
penuh tercapai, maka seorang siswa Pengetahuan Luhur dapat memetik buah
hasil yang timbul daripadanya, seperti misalnya: perubahan tubuh kasar kepada
tubuh halus, perubahan dari perwujudan yang satu kepada perwujudan yang
lain, memperbanyak perwujudan ditempat yang berbeda pada saat yang sama,
dan menembusi kesadaran diseluruh alam.
Lalu bagaimana halnya, Bapa, apakah tidak seharusnya buah hasil yang dapat
dipetik dari penyelaman diri yang sempurna itu dinikmati?
335. Bapa:
Ananda, perbuatan-perbuatan mujijat dan keheranan-heranan cara tubuh itu
adalah perbuatan-perbuatan besar, tetapi ada yang terlebih besar daripada itu,
Ananda!
Menyelami sendiri dan mengenali langsung kodrat Sadar Terang Penuh didalam
Pikiran Menunggal itulah yang terlebih besar daripada perbuatan-perbuatan
mujijat itu. Dan itulah sebenar-benarnya mujijat yaitu mujijat daripada
penyelama diri dan pengenalan!
Bagi sisawa Pengetahuan Luhur, Ananda, perbuatan-perbuatan mujijat itu
bukanlah tujuan, melainkan sekedar sebagai ”hasil sampingan” yang timbul
dengan serta-merta oleh sebab kodrat penyelaman diri yang sempurna dan
penuh. Hal ini dapt diperumpamakan sebagai seseorang yang membuat minyak
goreng dari santan kelapa yang direbus; dari santan kelapa yang direbus
keluarlah minyak goreng yang jernih dan murni, dan ampasnya santan
merupakan ”hasil sampingan” yang dapat dikonsumsi sebagai makanan.
Oleh karena itu, Ananda, kiranya engkau tidak perlu mencita-citakan suatu
perbuatan mujijat, sebab mujijat yang sebenarnya itu hanyalah timbul dengan
133
serta merta dari dalam penyelaman diri yang sempurna dan penuh. Cita-cita
akan memperoleh dan melakukan perbuatan mujijat, Ananda, itu hanya akan
merupakan salib penghalang yang akan menghalang-halangi Jalanmu menuju
kepada kodrat Sadar Terang Penuh.
336. Ananda:
Tadi telah dikatakan, Bapa, bahwa didalam penyelaman diri, seorang siswa
Pengetahuan Luhur dapat mengalami perubahan tubuh, dari tubuhnya yang
kasar kepada tubuh halus dengan bebas tak bersyarat. Sudikah Bapa
menerangkan tentang kodrat daripada tubuh halus itu?
337. Bapa:
Ananda, perubahan tubuh adalah merupakan kodrat yang sejati daripada
penyelaman diri. Artinya, didalam penyelaman diri terjadilah perubahan dari
tubuh yang kasar kepada tubuh yang halus. Tubuh halus itu, Ananda, dapat juga
disebutkan sebagai kepribadian bathin. Dan kepribadian bathin (tubuh halus) itu
dapat digolong-golongkan kedalam tiga macam tingkatan, yakni: Kepribadian
Bathin tingkat pertama, Kepribadian Bathin tingkat kedua, dan kepribadian
Bathin tingkat ketiga.
Kepribadian Bathin tingkat pertama, Ananda, itu timbul ketika seseorang siswa
Pengetahuan Luhur berada didalam keadaan terpusat pada satu titik sasaran
perenungan, dimana pikirannya cenderung untuk menjadi tenang dan tidak
bergoyang-goyang. Pada saat seperti itu, Ananda, ia merasakan suatu suasana
yang sangat tenteram, melegakan, dan membahagiakan, bagaikan seseorang
yang baru saja meninggalkan suasana kota yang panas, ramai, dan hiruk pikuk,
kemudian memasuki hutan yang teduh, sunyi, dan tenang, dengan udaranya
yang sejuk menyegarkan. Perasaan tiada bertubuh kasar timbul, tetapi ia masih
menyadari kepribadian perorangannya yang berhubungan dengan perasaanperasaan
duniawi.
134
Suasana didalam Kepribadian Bathin tingkat yang pertama ini, Ananda,
merupakan suatu suasana bathiniah yang sangat mempersona dan menggiurkan
kenikmatannya, sebab didunia luar tidak pernah ada kenikmatan yang sama
dengan itu.
338. Ananda:
Lalu apakah yang hharus diperbuat selanjutnya oleh seorang sisea Pengetahuan
Luhur yang sudah mencapai kepribadian bathin tingkat yang pertama itu, Bapa?
339. Bapa:
Ananda, suasana kenikmatan didalam kepribadian bathin tingkat yang pertama
ini, Ananda, mengandung segi yang membahayakan juga bagi siswa-siswa yang
kurang kokoh pengertian benarnya.
Bagi siswa yang kurang kokoh pengertian benarnya, ia mengira, bahwa
kenikmatan yang diperolehnya didalam kepribadian bathin tingkat yang pertama
ini adalah kenikmatan yang paling puncak, dan oleh karena itu ia lalu sangat
asyik disitu, sambil bercumbu-cumbuan dengan nikmatnya perenungan
memusat. Hal seperti ini dapat diperumpamakan sebagai seseorang yang
menempuh suatu perjalanan ke sesuatu kota, dan ditengah perjalanan, karena
terlalu payah berjalan lalu masuk kedalam kedai minuman, dan beristirahat
disitu. Karena nikmatnya suasana didalam kedai minuman itu, dan mengingat
akan susah payahnya perjalanan yang baru saja ditempuhnya itu, maka ia lalu
”mogok” tidak mau meneruskan perjalanannya, dan asyik beristirahat didalam
kedai minuman itu.
Keasyikan dengan kenikmatan didalam kepriadian bathin tingkat yang pertama
ini, dan ”mogok” tidak mau meneruskan perjalanan itu, biasanya disenangi oleh
siswa-siswa yang membenci tubuh kasarnya, dan memandang tubuh kasarnya
sebagai sesosok kerangka busuk yang jahat yang menimbulkan kesengsaraan.
Oleh karena pengertiannya yang keliru itu, maka ia lalu menyenangi hidup tanpa
135
tubuh dan tanpa bentuk, dan dikirannya kepribadian bathin tingkat pertama ini
sebagai ”sorga” tempat tujuannya yang terakhir.
Ananda, bagi siswa Pengetahuan Luhur yang telah kokoh pengertian benarnya,
ia tidak harus beristirahat terus menerus di alam kepribadian bathin tingkat yang
pertama itu, sebab hal seperti itu berarti berhenti, diam, dan menganggur, dan
tidak mempunyai jasa apa-apa kepada dunia umat manusia ini. Dengan berhenti
dialam Kepribadian bathin tingkat yang pertama itu berarti memikirkan
kepentingan diri sendiri, mencari enaknya sendiri, dan masuk kedala ”sorga”-nya
sendiri, dengan tidak mau tahu akan kesengsaraan dan penderitaan umat
manusia yang masih memerlukan bantuan akan jasa-jasanya.
Tidak, Ananda, tidak! Siswa Pengetahuan Luhur tidak harus berhenti didalam
kepribadian bathin tingkat yang pertama! Ia harus berjalan terus, sampai
tercapai tujuan akhir!
340. Ananda:
Bapa, dalam hal yang bagaimanakah seseorang siswa Pengetahuan Luhur
memasuki kepribadian bathin tingkat yang kedua, dan bagaiman pula kodratnya?
341. Bapa:
Ananda, setelah seorang siswa Pengetahuan Luhur merealisasi kepribadian
bathin tingkat yang pertama, dan ia terus berusaha untuk memusatkan tingkat
yang pertama, dan ia terus berusaha untuk memusatkan pikirannya lebih dalam
sedemikian rupa, sehingga pikirannya menjadi diam dan tidak bergerak sama
sekali, maka disitu muncullah Kepribadian Bathin tingkat kedua.
Pada saat seperti itu, Ananda, pikirannya tidak lagi melekat kepada keadaan
dunia benda, dan ia mulai insyaf dan sadar terang, karena pembuktian dan
kesaksiaannya sendiri, bahwa segal hal itu mempunyai kodrat inti sari yang satu
dan sama, dan merupakan perwujudannya sendiri. Inilah keadaan Kebangkitan,
bagaikan seorang yang telah bangun dan bangkit dari tidurnya dengan segala
impiannya yang berkodrat khayal.
136
Didalam Kepribadian Bathin tingkat yang kedua ini, Ananda, ia mulai mendegar
suara sunyi daripada bisikan kalbu, dan mulai menerima Kecerdasan Bathin
Luhur yang menjadi milik daripada Pikiran Menunggal. Ia menjadi sadar terang,
dan menginsyafi dengan sepenuhnya, bahwa dunia keadaan itu ”ada” dan
berwujud karena kegiatannya sendiri, dan melalui kecerdasan Bathin Luhur ia
tahu, bahwa ia adalah utusan daripada Pikiran Menunggal untuk mewujudkan
pencurahan daripada hal-hal yang hampa pembedaan dan tak terucap daripada
Pikiran Manunggal, sehingga menjadi terwujud dan terlaksana.
Ananda, kepribadian Bathin tingkat yang keduda adalah merupakan tubuh, dan
kecerdasan Bathin Luhur daripada Pikiran Menunggal merupakan darah daripada
Sang Suci, Sang Guru Jagad yang kau nanti-nantikan kedatangannya. Jangan
salah paham, Ananda, Sang Suci atau Sang Guru Jagad itu bukan datang
kepadamu sebagai perorangan, dan bukannya harus di tunggu kedatangannya
sebagai perorangan! Sang Guru Jagad itu datang, jikalau engkau sendiri mau
berusaha untuk merealisasi sendiri kodratnya dengan penyerahan diri mutlak dan
kepercayaan penuh kepadanya, yaitu makan tubuhnya dan minum darahnya.
Artinya, Sang Guru Jagad itu akan identik dengan engkau sendiri, jikalau engkau
sendiri telah merealisasi sendiri kepribadian bathin tingkat yang kedua, dan
engkau sendiri telah menerima Kecerdasan Bathin Luhur daripada Pikiran
Semesta.
342. Ananda:
Lalu, bagaimankah halnya dengan kepribadian bathin tingkat yang ketiga itu,
Bapa?
343 Bapa:
Kepribadian Bathin tingkat yang ketiga, Ananda, itu adalah keadaan penyelaman
diri yang sempurna dan penuh, yaitu sunyi senyap dan hampa gambaran
(imagelessness) yang tak terucapkan. Ketika segala sesuatu yang menyangkut
kesiswaan, keguruan, dan filsafat (ajaran) telah di mengerti dengan sempurna,
137
dan telah diselami sendiri didalam kodrat inti sarinya yang murni, maka
muncullah kepribadian bathin tingkat yang ketiga dengan kecerdasan bathin
luhur yang berada didalam pangkuan Pikiran Semesta atau Pikiran Menunggal.
Inilah yang diterjemahkan oleh para bijaksana zaman dahulu kedalam berbagai
bahasa kata-kata, seperti misalnya: Kenyataan Terluhur, Inti Sari Pikiran,
Kebenaran yang tek Terucap, Pembebasan Mutlak, intisari pengetahuan luhur,
dan sebagainya.
344. Ananda:
Bapa, kiranya sudah tidak ada lagi yangharus aku tanyakan kepada Bapa, karena
hal-hal yang pokok dan hakiki telah Bapa terangkan secara garis besar kepadaku
dengan cukup jelas. Apakah kiranya masih ada hal-hal lain yang hendak Bapa
pesankan kepadaku, sebelum aku mengundurkan diri dari hadapan Bapa?
345. Bapa:
Ananda, semua apa yang sudah aku sampaikan kepadamu itu adalah bagian
karangan bunga yang aku pertunjukan kepadamu. Warna-warni yang aku
peroleh dari dalam yang aku tempuh denga susah payah, dan dengan tebusantebusan
darah, air mata, keringat, dan corengan-corengan kotoran debu.
Oleh karen itu, Ananda, biarkanlah karangan bunga ku tetap seperti itu, jangan
kau lepas-lepas, jangan kau rubah-rubah, dan jangan pula kau rusak. Pandang
saja dia, jikalau engkau hendak melihat keindahannya, sebab, itu adalah
karangan bunga hasil pekerjaan ku. Biarkanlah hasil pekerjaan orang, sebab
orang yang bekerja akan memperoleh upah sebagai haknya. Dan biarkalah pula
orang yang percaya, karena kepercayaannya itu bukannya diperoleh sebagai
hak, melainkan diperolehnya sebagai karunia dari Dia yang ada diatasnya.
Ananda, fajar sudah akan menyingsing! Cepat-cepat engkau kembali ke-kemahmu,
dan mulailah engkau bekerja didalam Nama Sang Guru Jagad untuk
kepentingan keselamatan dan kebahagiaan dunia umat manusia!
138
Demikian itulah yang kudengar sendiri tentang apa yang dipercakapkan
oleh ”Bapa” dan ”Ananda” mengenai Pengetahuan Luhur, yaitu Kebenaran dan
Kenyataan yang tidak dapat dijelaskan oleh kecerdasan pikiran berpikir dan para
pujangga.
Semoga yang mempunyai mata dapat melihat, dan yang mempunyai telinga
dapat mendengar.!
==========
S E L E S A I
==========