DRUPADI SUMBER INSPIRASI

Resital Tari Rani Nuraini
DRUPADI SUMBER INSPIRASI
F.X. Widaryanto
Dalam mitologi epik Mahabharata India, Drupadi adalah tokoh sentral dalam
perkawinan poliandri dengan Pandawa lima, yaitu Yudistira, Bima, Arjuna, serta
Nakula dan Sadewa. Namun dalam versi Hindu di Jawa, ia adalah isteri dari
sulung Pandawa, Yudistira. Dalam salah satu episode Pandawa Dadu, Drupadi
menjadi tokoh ambigu yang mengundang banyak pertanyaan moral yang
menarik. Di satu sisi ia diagungkan oleh suaminya sebagai isteri yang setia
dalam suka dan duka. Namun di sisi lain, ia dijaminkan menjadi objek taruhan
yang kemudian menjadi bulan-bulanan pelecehan oleh Dursasana, adik dari
sulung Kurawa, Duryudana.
Sebagai seorang perempuan ia bergolak dan melawan perlakuan yang tidak
adil ini. Ia seperti tidak mendapat tempat dalam salah satu periode
kehidupannya. Maka ia pun bersumpah serta mengutuk Dursasana, di mana ia
akan terus mengurai dan tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas
dengan darah Dursasana. Tekad dan kutukan ini didukung sepenuhnya oleh
Bima yang pada Perang Bharatayuda mampu membunuh Dursasana serta
meminum darahnya, serta menyisakannya untuk keramas sang kakak ipar,
Drupadi.
Episode yang mempertunjukkan tekad seperti di atas nampak sangat sadis
dan penuh dengan citra kekerasan. Namun itulah yang terjadi dalam
mewujudkan gambaran ekstrimitas kekejaman yang dialami oleh para Pandawa
kala itu. Akibat kekalahan di arena judi dadu, mereka harus menebusnya dengan
tinggal di hutan selama duabelas tahun, dan tinggal di masyarakat namun tanpa
diketahui oleh Kurawa bersaudara selama setahun. Sekali ketahuan
keberadaannya di masyarakat, mereka harus mengulang tinggal di hutan selama
duabelas tahun lagi.
Petikan cerita di atas telah menjadikan koreografer muda Rani Nuraeni
tertarik untuk dijadikan sumber inspirasi garap tari, bukan dalam urutan kronologi
cerita, tetapi dalam interpretasi baru yang mewujud dalam berbagai bentuk
sketsa gerak, yang ditampilkan dalam Resital Tari Sarjana Seni di Gedung
Sunan Ambu STSI Bandung pada hari Sabtu 21 Juli 2007 yang lalu. Koreografer
muda yang lain adalah Krisnawati dengan karya Gumeulis, Novi Marta dengan
Ego, Vina Nuravianti dengan karya Sebuah Perlawanan, dan Mery M.
Hutagalung dengan garapan berjudul Andung.
Karya Rani Nuraeni yang diberi judul Abhicaapa ‘kutukan’ ini nampak
menonjol dari antara karya-karya yang lainnya. Yang menarik adalah
interpretasinya yang dikaitkan dengan cerita wayang di atas. Ia tidak ingin
bertutur, namun ingin menggaungkan nilai-nilai femininitas yang kala itu
dianggap tidak adil dan sangat menginjak-injak harkat dan martabat kaum
perempuan, dalam bentuk yang baru, dalam kematangan eksplorasi ruang dan
kajian aspek ekstrinsik yang menarik dalam vokabuler gerak yang tak jauh dari
nada dasar kekuatan kepenariannya.
Diawali dari gagasan ideal tentang kedudukan perempuan dewasa ini, ia
membuat desain dari tiga orang penarinya (dua laki-laki, Devi dan Masda, serta
Rani sendiri) yang mengesankan keagungan seorang wanita ningrat namun
sekaligus juga memiliki kekuatan fisik dalam menghadapi berbagai kekerasan
yang mengancam dirinya. Pengaturan lighting dari atas memberikan nuansa tiga
dimensi sekaligus mengukir lekuk-lekuk tubuh dari ketiga penari tersebut.
Bangun tubuh ketiganya secara fasih berucap tentang keberadaan seseorang
yang diagungkan, dipuja, namun bukan sesuatu yang fragile ’ringkih’ yang mesti
dijaga jangan sampai jatuh dan luka karenanya. Ketiganya sering nampak
menjadi satu tubuh yang memberikan soliditas bangun bentuk yang mampu
berucap banyak, baik dalam dominasi transfigurasi yang kuat meruang, maupun
dalam pencitraan diri dalam kualitas maupun kuantitas gerak yang efektif.
Nampak dalam pose awal yang diam pun, efek gerak ketiganya secara sporadik
berkelebat serta bermunculan merayap. Sosok perempuan berpindah-pindah
tumpuan di antara sosok laki-laki, dalam desain yang unik, kokoh, namun
asimitri, yang keluar dari kebakuan citra bentuk tradisi yang sudah ada.
Di sini koreografer tak ingin berucap dalam konvensi dramatari atau wayang
wong, namun ia mencoba mengolahnya dalam garap non-representatif. Geliat
dan putaran tubuh dalam berbagai aras ruang nampak tergarap silih berganti
dengan apik. Cairnya interelasi antar ketiganya, menjadikan kekokohan desain
yang ada menyairatkan fleksibilitas ruang yang tinggi. Di saat lain tokoh sang
perempuan, yang ditarikannya sendiri, digarap terpisah. Tokoh ini suatu saat
melemparkan dirinya dan membiarkannya terjerembab dan menyatu dengan
tanah yang secara ikonik nampak luluh seutuh-utuhnya dengan dirinya sebagai
sebagai refleksi ibu pertiwi, sang bumi. Tiba-tiba ketiganya menjalin kembali
relasi ruangnya dengan merajut gerak-gerak rampak yang pada saat tertentu
memberikan efek kejut dengan realita ketakbersamaannya dalam desain dua
dan satu.
Garapan ini sangat menarik karena telah menyodorkan sesuatu yang baru,
bukan semata-mata mimesis dunia luar, yaitu peragaan karakter-karakter yang
menjadi sumber inspirasi garapnya, namun lebih jauh lagi telah menggali
berbagai kemungkinan yang bahkan tak lagi setia pada berbagai kebakuan yang
ada. Ketidaksetiaan ini ternyata masih tetap, uniknya, memunculkan benang
merah nada dasar dirinya dalam warna Sunda yang baru, dengan interpretasi
dan ikon baru yang diciptakannya dalam wajah dan bangun tubuh yang baru
pula.
Kenakalan ini juga diperkuat dengan ekspresi auditifnya yang ditata oleh
Mang Odex, yang kadang menggelitik dengan tabuhan interlocking dalam salah
satu frasa geraknya, atau garap vokal rampak dalam salah satu frasa gerak yang
memberi makna bunyi serta kesan pada deraan tubuh akibat pelecehan dari
berbagai pihak atas dirinya. Atau suatu saat ia terjebak dalam lengan-lengan
kuat dan kokoh yang menjadikan dirinya harus meronta untuk bisa melepaskan
dirinya.
Berbagai sketsa yang dimunculkannya nampak liris dan tidak memunculkan
kesan vulgar meski bertema ”darah,” seperti kalau kita melihat berbagai peristiwa
kriminal di televisi dalam ruang keluarga di saat santai selepas kerja. Rani
adalah generasi koreografer yang yang sudah tak mengalami represi politik,
dalam berbagai nuansa propaganda yang pernah terjadi pada masa Orde Baru.
Ia adalah produk era reformasi dalam proses transisi yang tak kunjung usai ini.
Kenakalan dan keberaniannya untuk menggali dan mengeksplorasi sumber
cerita wayang dalam versi sketsa tarinya adalah sesuatu yang menggembirakan.
Ini adalah sebuah pengembangan yang menjurus pada sebuah kesadaran baru
yang mampu mengubah dan mencerahkan para penonton sebayanya. Ia mulai
menyodorkan sebuah kritik reflektif atas perilaku tidak adil dalam struktur
masyarakat di masa lalu.
Potensi muda seperti ini akan terus tumbuh dan membawa identitas nada
dasarnya yang melekat dengan dirinya. Di tengah kelangkaan munculnya bibitbibit
unggul yang ada di tatar Sunda ini, nampaknya upaya dorongan
suprastruktur dan infrastruktur tari mesti harus terus menerus diupayakan.
Wadah kegiatan yang berupa festival tari, di Bandung ini, belum seutuhnya
digarap benar dalam tata jaringan pengelolaan yang utuh, serta dalam sinergi
keberdayaan infrastruktur yang ada. Event seperti inilah yang akan menyemai
bibit-bibit unggul di atas untuk terus berkiprah dan tentunya menjadi agen
pencitraan bukan bagi dirinya, tapi bagi citra lingkungannya di tatar Sunda ini.
Semoga.
Bandung, 24 Juli 2007
F. X. Widaryanto
Jl. Riung Mukti II/41
Bandung 40295
Email: fxwidarstsi@stsi-bdg.ac.id
Foto: Rachmat Herawan
Salah satu adegan awal yang memunculkan banyak interpetasi makna, kakuatan, keagungan,
sekaligus keberdayaan seorang perempuan, dalam lekuk-lekuk tubuh yang memunculkan citra
kuat tiga dimensi.