KEBEBASAN MANUSIA DI HADAPAN DETERMINISME-DETERMINISME (ANTROPOLOGI FILOFOSIS LOUIS LEAHY)

i
DAFTAR ISI
BAB I.........................................PENDAHULUAN
.....................................................1
1.1. Aktualitas Ide Kebebasan.......................1
1.2. Antara Pendewaan Kebebasan dan Situasi
Teralienasi .......................................2
1.3. Permasalahan ...................................4
1.4. Pembatasan Masalah..............................5
1.5. Tujuan Pembahasan...............................6
1.6. Metode Pembahasan..............................7
1.7. Sistematika Pembahasan.........................7
1.8. Tentang Louis Leahy ...........................9
1.8.1......................Riwayat Hidup Louis Leahy
................................................9
1.8.2........................Karya-karya Louis Leahy
...............................................10
1.8.3. Antropologi Filosofis Louis Leahy...........
...............................................12
BAB II.................................KEBEBASAN MANUSIA
.............DALAM ANTROPOLOGI FILOSOFIS LOUIS LEAHY
....................................................17
Pengantar...........................................17
2.1. Konsep Manusia Dalam Pemikiran Louis Leahy....17
2.1.1. Kombinasi Roh Dan Materi...................17
2.1.2. Pribadi Manusia Bersifat Subsistens Dan
Terbuka........................................20
2.1.3. Manusia Sebagai Pribadi Harus Mengembangkan
Dirinya........................................24
2.1.4. Kesimpulan.................................26
2.2. Kebebasan Manusia.............................27
2.2.1. Pengertian Kebebasan.......................28
2.2.1.1. Kebebasan Fisik.................................................................................30
2.2.1.2. Kebebasan Psikologis........................................................................31
2.2.1.3. Kebebasan Moral..............................................................................34
2.2.2. Alasan-alasan Yang Membenarkan Adanya
Kebebasan......................................35
2.2.2.1. Argumen Persetujuan Umum...........................................................37
2.2.2.2. Argumen Psikologis.........................................................................38
2.2.2.2.1. Kesadaran Langsung Akan Kebebasan....................................39
2.2.2.2.2. Kesadaran Tak Langsung.........................................................40
2.2.2.3. Argumen Etik...................................................................................41
2.2.3. Kebebasan Horisontal dan Kebebasan Vertikal 41
ii
BAB III................DETERMINISME DAN KEBEBASAN MANUSIA
....................................................44
Pengantar...........................................44
3.1. Pengertian Determinisme........................44
3.1.1. Determinisme Universal.....................45
3.1.2. Behaviorisme...............................46
3.1.3. Fatalisme..................................47
3.1.4. Predestinasi...............................47
3.2. Determinisme Fisik.............................48
3.2.1. Para Filsof Atomis.........................49
3.2.2. Thomas Hobbes..............................51
3.2.3. La Mettrie.................................51
3.3. Determinisme Biologis..........................52
3.3.1. Charles Darwin.............................53
3.3.2. James Watson...............................53
3.4. Determinisme Sosiologis........................54
3.4.1. Auguste Comte..............................54
3.4.2. David Emile Durkheim.......................55
3.4.3. Talcolt Parsons............................56
3.5. Determinisme Teologis..........................57
3.5.1. Spinoza....................................57
3.5.2. Leibniz....................................58
3.5.2. Agustinus..................................59
3.6. Determinisme Ketidaksadaran....................60
3.6.1. Sigmund Freud..............................60
3.7. Kesimpulan.....................................63
BAB IV.........SOLUSI LOUIS LEAHY ATAS PAHAM DETERMINISME
....................................................64
Pengantar...........................................64
4.1. Louis Leahy Dan Determinisme Universal.........64
4.1.1. Kebebasan Terjadi Pada Tingkat Alasan-alasan
Dan Bukan Pada Tingkat Sebab Akibat............66
4.1.2. Manusia Mempunyai Kemampuan Mengorganisir
Hukum Sebab Akibat.............................66
4.2. Louis Leahy Dan Determinisme Biologis.........67
4.2.1. Determinisme Biologis Hanya Merupakan
Hipotesa Yang Tidak Diverifikasikan Kebenarannya
...............................................67
4.2.2. Evolusi Mengandaikan Kesadaran.............68
4.3. Louis Leahy Dan Determinisme Sosiologis.......70
4.3.1. Determinisme Sosiologis Tidak Absolut......70
4.3.2. Tidak Ada Pertentangan Antara Manusia Sebagai
Pribadi Dan Masyarakat.........................72
4.4. Louis Leahy Dan Determinisme Teologis.........73
iii
4.4.1. Determinisme Teologis Meletakkan Masalah
Secara Salah...................................73
4.4.2. Kebebasan Manusia Tidak Berarti
Ketidaktergantungan Pada Tuhan.................74
4.4.3. Manusia Adalah Makhluk Yang Berdialog Dengan
Allah..........................................75
4.5. Louis Leahy Dan Determinisme Ketidaksadaran...76
4.5.1. Pribadi Manusia Mengandung Unsur Yang
Kompleks.......................................77
4.5.2. Psikoanalisa Mengandaikan Kebebasan manusia
...............................................78
4.5.3. Unsur Ketidak-sadaran Sulit Dijadikan Dasar
Pendorong Tindakan Manusia.....................79
4.6. Kesimpulan Louis Leahy Atas Paham Determinisme 79
4.6.1. Determinisme Dan Ketidak-koherenannya......79
4.6.2. Manusia Adalah Makhluk Yang Bebas..........81
BAB V PENUTUP..........................................84
Pengantar...........................................84
5.1. Kesimpulan.....................................84
5.1.1. Letak Persoalan Determinisme Dan Kebebasan. 84
5.1.1.1. Kebebasan Sebagai Unsur Esensial Pribadi Manusia........................84
5.1.1.2. Absurditas Kebebasan.......................................................................86
5.1.2. Sikap Louis Leahy..........................88
5.1.2.1. Komplementaritas Determinisme Dan Kebebasan..........................88
5.1.2.2. Ketidakmutlakan Determinisme Dan Kebebasan.............................89
5.2. Tinjauan Kritis................................89
5.2.1. Louis Leahy Dan Para Pemikir Pendahulu.....89
5.2.2. Louis Leahy Sebagai pemikir Yang ..........90
5.2.3. Louis Leahy Dan Pengalaman Sehari-hari.....91
5.3. Relevansi: Pemikiran Louis Leahy Dan Karya
Pastoral Gereja Indonesia.........................91
5.3.1. Kebebasan Dan Tanggung Jawab Moral .......92
5.3.2. Makna Kebebasan Di Tengah Situasi Yang Tidak
Membebaskan....................................93
DAFTAR PUSTAKA.........................................95
iv
v
vi
vii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Aktualitas Ide Kebebasan
Kebebasan merupakan problem yang terus-menerus digeluti dan diperjuangkan
oleh manusia. Keinginan manusia untuk bebas merupakan keinginan yang sangat
mendasar.1 Oleh karena itu tidak mengherankan kalau dalam sejarah perkembangan
pemikiran muncul berbagai pendapat yang berusaha menjawab problem tersebut.
Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa persoalan kebebasan manusia merupakan
suatu persoalan yang masih tetap terbuka sampai dewasa ini. Mengapa? Karena titik
tolak yang digunakan untuk menjawab persoalan itu bukan hanya sering kali berbeda,
namun juga sering kali bertentangan.2 Salah satu sebab munculnya kontroversial
dalam hal penjelasan dan pemberian jawaban itu adalah perbedaan latar belakang dan
pengalaman hidup para pemikir. J.P Sartre yang lahir dan dibesarkan serta bergumul
dalam lingkungan industri jelas memiliki pola pemikiran yang berbeda dengan Albert
Camus yang hidup dalam masa revolusi Aljazair yang berusaha menuntut kebebasan
dari Perancis. Pengalaman Camus berhadapan langsung dengan teror-teror dan
kemiskinan membuahkan pola pemecahan yang berbeda dengan pemikiran Sartre yang
lebih bersifat teoretis dan abstrak. Dalam konteks ini kita juga dapat mengambil
contoh pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Louis Leahy berpendapat
bahwa kebebasan merupakan salah satu karakter dasar manusia. Manusia adalah
makhluk yang secara esensial berkehendak. Dalam perbuatan berkehendaknya keakuan
manusia hadir dalam dirinya dan menguasainya. Karena itu pada dasarnya manusia
tidak dapat tidak berkehendak.3
1 Bdk. DR. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta,
1993, hal:5
2 Bdk. Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal:xviii
3 Bdk. Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal,
1
Begitu esensial dan konkrit unsur kebebasan bagi eksistensi atau adanya
manusia di dunia, sehingga kebebasan dalam peziarahan hidup manusia menjadi suatu
yang secara terus-menerus diperjuangkan. Kebebasan merupakan suatu nilai yang
dijunjung tinggi oleh manusia. Manusia akan mungkin merealisasikan dirinya secara
penuh jika ia bebas.4 Gagasan kebebasan semacam ini selalu aktual dalam hidup
manusia selain karena kebebasan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari diri
manusia, juga karena kebebasan itu dalam kenyataannya merupakan suatu yang
bersifat "fragile"; kebebasan bersifat sensitif dan rapuh. Manusia adalah makhluk yang
bebas, namun sekaligus manusia adalah makhluk yang harus senantiasa
memperjuangkan kebebasannya.
Aktualitas ide kebebasan manusia juga didasarkan pada kenyataan adanya
perkembangan arti kebebasan sesuai dengan situasi dan kondisi manusia. Arti dan
makna kebebasan pada jaman sekarang tidak bisa disempitkan hanya pada pengertian
kebebasan dalam masyarakat kuno atau masyarakat pra-modern. Pada jaman
penjajahan kebebasan mungkin lebih diartikan sebagai keadaan terlepas dari
penindasan oleh penjajah. Namun pada masyarakat modern, di mana bentuk penjajahan
terhadap kebebasan juga semakin berkembang, misalnya dengan adanya gerakan
modernisasi dan industrialisasi yang membawa perubahan yang radikal pada cara
berpikir manusia, arti kebebasan juga mempunyai makna yang lebih luas. Kebebasan
pada jaman sekarang bukan hanya berarti sekedar terbebas dari keadaan terjajah,
namun mungkin lebih berarti bebas untuk mengangtualkan diri di tengah-tengah
perkembangan jaman ini.
1.2. Antara Pendewaan Kebebasan dan Situasi Teralienasi
Dunia modern diwarnai oleh perkembangan pelbagai sektor kehidupan
Gramedia, Jakarta, 1984, hal: 111
4 Bdk. Laurentius Heru Susanto, Filsafat Kebebasan Albert Camus, STFT Widya Sasana,
Malang, 1991, hal: 02
2
manusia. Pola pikir manusia semakin mengarah pada antroposentrisme. Sebelum jaman
modern manusia percaya pada campur tangan Tuhan atau ?dunia supra natural?
dalam setiap peristiwa hidupnya, namun di jaman modern manusia lebih percaya pada
kemampuan intelektualnya sendiri dalam menafsirkan kehidupan. Dalam jaman modern
segala tesis yang tidak dapat diterima secara logis akan ditolak. Manusia modern
semakin tenggelam dalam pendewaan otonomi rasio. Konsekuensianya adalah
kehidupan spiritul akan tidak lebih hanya sebagai pengakuan formal yang dangkal.
Kesediaan manusia untuk menyerahkan diri pada kekuatan Ilahi hanya menjadi sekedar
romantisme spiritual yang tidak mempunyai relevansi konkrit dengan kehidupan
manusia.5 Sebaliknya pengakuan manusia akan kebebasan dirinya menjadi segalagalanya
dalam hidupnya.
Dari sisi lain kita juga bisa melihat bahwa perkembangan pemikiran manusia di
jaman modern telah membuahkan kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan
manusia, seperti di bidang ekonomi, komunikasi, teknologi, dan sebagainya. Cara-cara
memproduksi barang dan jasa dalam dunia modern tidak lagi dilakukan secara manual
atau tradisional, tetapi secara mekanis. Tidak dapat disangkal bahwa arus modernisasi
membawa akibat yang sangat positif bagi kehidupan manusia, namun kita juga tidak
bisa menutup mata pada akibat-akibat yang negatif.6 Di tengah-tengah arus
modernisasi dan industrialisasi, semakin melebar juga jurang pemisah antara golongan
kaya dan golongan miskin. Lebih parah lagi, dalam situasi seperti itu manusia lemah
semakin teralienasi dari lingkungan sosialnya. Dalam situasi seperti inilah sering kali
muncul pertanyaan tentang kebebasan manusia. Dalam situasi teralienasi seperti itu
sangat mungkin kebebasan menjadi suatu yang absurd. Ide dan makna kebebasan
manusia dipertanyakan kembali: Apa artinya bebas? Sejauh mana seseorang dapat
dikatakan bebas? Kebebasan itu pada akhirnya ada atau tidak?
5 Bdk. Drs. Musa Asy?arie (ed), Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial:
Sebuah Bunga Rampai Filsafat, Sinar Harapan, Jakarta, 1986, hal 14
6 Bdk. Laurentius Heru Susanto, Op.Cit., hal: 03
3
1.3. Permasalahan
Persoalan utama yang muncul berkaitan dengan kebebasan manusia adalah:
Apa itu kebebasan? Benarkah manusia itu bebas? Benarkah tindakan-tindakan yang
kita lakukan itu sungguh-sungguh keluar dari kebebasan kita? Atau justru sebaliknya:
Apakah semua yang terjadi dan yang akan terjadi dalam hidup kita ini sudah
dideterminasi oleh determinan-determinan yang melingkupi hidup kita? Seandainya
hidup dan tindakan kita ini sebenarnya merupakan produk dari determinasideterminasi,
di mana letak kebebasan manusia? Apakah dalam situasi demikian itu
manusia masih bisa dikatakan sebagai makhluk yang bebas?
Persoalan-persoalan di atas akan menjadi pusat perhatian penulis dalam karya
ilmiah ini, karena penulis melihat bahwa secara hakiki manusia menginginkan
kebebasan secara penuh. Namun apa yang ditemui dalam realitas kehidupan? Perang,
kelaparan, kemiskinan, perampokan, penindasan hak-hak asasi manusia, ketidakadilan,
dan lain sebagainya. Kenyataan itu menunjukkan bahwa sebenarnya harapan dan
dambaan manusia akan kebebasan belum teraktualisasikan secara penuh.
Kebebasan manusia dan segala macam persoalannya itu akan menjadi semakin
rumit kalau kita kaitkan dengan pandangan dari aliran determinisme. Determinisme
menyangkal adanya kebebasan manusia. Determinisme kalau ditinjau dari aspek
etimologinya, yaitu "determinare" (menentukan batas, membatasi), berarti bahwa
setiap peristiwa atau kejadian "ditentukan". Artinya, suatu peristiwa tidak bisa terjadi
kalau tidak ditentukan.7 Menurut teori ini setiap peristiwa di alam semesta ini
merupakan konsekuensi yang tak dapat dihindarkan dari sebab-sebab yang
mendahuluinya. Mereka juga mengatakan bahwa bentuk jagat raya ini diberikan saat
determinisme dan setiap detail dalam alam semesta ini mempunyai hubungan dengan
yang akan datang.8 Determinisme menggarisbawahi bahwa kesadaran manusia akan
7 Bdk. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996,
hal:159
8 Bdk. William H. Halverson, A Concise Introduction To Philosophy, (third
4
kebebasan pribadi merupakan putusan yang salah, yang muncul dari ketidaktahuan
akan dorongan-dorongan yang tidak sadar. Kalau pandangan tentang kebebasan dari
determinisme ini kita cermati kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada
kebebasan di dunia manusia ini. Persoalannya adalah benarkah bahwa manusia itu
sungguh-sungguh tidak mempunyai kebebasan? Apakah kalau dalam kehidupan, kita
mempunyai kebebasan untuk memilih atau bertindak atau tidak bertindak, itu juga
harus ditafsirkan sebagai sudah ditentukan demikian? Siapa sebenarnya yang
berkompeten menilai bahwa manusia itu bebas atau tidak? Para filsof, teolog, sosiolog,
atau manusia secara pribadi?
1.4. Pembatasan Masalah
Persoalan-persoalan tentang kebebasan dan determinisme akan menjadi pusat
perhatian karya ilmiah ini. Supaya pembahasan ini tidak terlalu luas, maka penulis
hanya akan membatasi masalah kebebasan dan determinisme dalam perspektif filsafat
manusia Louis Leahy. Pertanyaan utama yang akan digali secara mendalam dalam
karya ilmiah ini adalah: Sejauh mana kata kebebasan itu ditafsirkan oleh Louis Leahy?
Bagaimana Louis Leahy menjelaskan dan memberi isi pada kata kebebasan?
Bagaimana sikap Louis Leahy berhadapan dengan determinisme-determinisme? Apa
solusi Leahy atas kebebasan manusia di hadapan pandangan determinisme?Apa dan
bagaimana konsekuensi solusi tersebut?
Dalam pemikiran Louis Leahy, masalah manusia, khususnya masalah kebebasan
dan determinisme, rupanya mendapat porsi perhatian yang cukup. Pandangan Louis
Leahy tentang manusia secara lengkap terdapat dalam karyanya yang berjudul ?
Manusia sebuah Misteri?. Dengan judul itu secara sekilas barangkali para pembaca
sudah dapat mengira apa dan bagaimana pandangan Louis Leahy tentang manusia.
Pada akhir pembahasan Louis Leahy mengambil kesimpulan bahwa manusia itu adalah
seorang pribadi yang penuh dengan paradoks-paradoks, manusia itu makhluk yang
edition), New York, 1976, hal:247
5
unik. Ada begitu banyak pokok bahasan yang dikerjakan Louis Leahy dalam karyanya
tentang manusia itu. Salah satu bagian yang menarik perhatian penulis adalah
pembahasan Louis Leahy tentang manusia sebagai makhluk yang berkehendak bebas.
Penulis tertarik untuk membatasi pembahasan ini pada pemikiran Louis Leahy tentang
kebebasan dan determinisme, di samping supaya pembahasan tidak terlalu luas, juga
karena penulis melihat pola logika yang sederhana dari Louis Leahy dalam
memecahkan persoalan kebebasan dan determinisme. Artinya bahwa kami melihat
sikap atau solusi Louis Leahy terhadap paham determinisme itu begitu mudah
ditangkap oleh akal sehat manusia. Dengan demikian pemecahan itu akan lebih bisa
dipahami dan diterima sebagai pedoman dalam hidup manusia. Selain itu, seperti sudah
kami katakan di atas, bahwa ide kebebasan manusia itu sampai dewasa ini masih tetap
aktual untuk dibicarakan.
1.5. Tujuan Pembahasan
Tujuan utama pembahasan karya ilmiah ini ialah menelaah pemikiran Louis
Leahy tentang manusia, khususnya tentang kebebasan manusia dan determinismedeterminisme.
Dari penelaahan ini penulis berharap dapat menemukan pemikiranpemikiran
yang berharga yang dapat disumbangkan demi kepentingan ilmiah dan
kepentingan pastoral gereja. Di samping itu penulis juga ingin memperkenalkan
pemikiran-pemikiran Louis Leahy , khususnya tentang manusia dan kebebasannya,
kepada siapa saja, terutama kepada para akademisi, mengingat masih sangat kurang
karya tulis yang berusaha menggali pemikiran Louis Leahy.
Selain itu kami juga bertujuan agar tulisan ini dapat memberi cakrawala
pandang baru pada semua orang berkaitan dengan pandangannnya tentang kebebasan
dan determinisme-determinisme. Artinya bahwa supaya semua orang, khusunya yang
membaca tulisan ini, semakin menyadari: Apa arti kebebasan manusia itu? Apa dasar
pendapat yang mengatakan bahwa manusia itu bebas? Sebaliknya juga apa dasar
pendapat yang mengatakan bahwa manusia itu tidak bebas? Bagaimana manusia harus
6
melihat dirinya sebagai makhluk yang bebas? dan lain sebagainya.
1.6. Metode Pembahasan
Metode yang kami pakai dalam membahas pemikiran Louis Leahy ini adalah
metode deskriptif-analitis. Sumber-sumber pokok yang kami pakai terutama adalah
karya-karya asli Louis Leahy dan buku-buku lain yang langsung membahas tema
kebebasan dan determinisme. Sedangkan tulisan-tulisan lain tentang Louis Leahy dan
buku-buku lain kami gunakan dalam penulisan karya ilmiah ini sajauh membantu
proses penulisan. Karena faktor keterbatasan pengetahuan bahasa penulis, maka dalam
penulisan karya ilmiah ini kami hanya menggunakan sumber dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris.
Karya-karya utama yang kami gunakan berkaitan dengan penelaahan tema
kebebasan dan determinisme dalam pemikiran Louis Leahy, yaitu: Manusia Sebuah
Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal; Esai Filsafat Untuk
Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru;
Filsafat Ketuhanan Kontemporer; Manusia Di Hadapan Allah 1: Masalah
Ketuhanan Dewasa Ini; Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos Manusia Dan
Allah; Sains Dan Agama Dalam Konteks Zaman Ini; Aliran-aliran Besar
Ateisme; A Concise Introduction to Philosophy (William Halverson);
Philosophy: The Basic Issues (E.D. Klenke). Buku-buku ini kami gunakan sebagai
sumber utama karena ada bagian pembahasan yang langsung membicarakan tema
kebebasan dan determinisme. Berdasarkan buku-buku itulah, dan tentu saja juga
dengan bantuan buku-buku atau artikel-artikel lain, kami menarik garis-garis pemikiran
dan solusi Louis Leahy tentang kebebasan dan determinisme.
1.7. Sistematika Pembahasan
Karya ilmiah ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan.
Bagian pendahuluan ini berisi latar belakang pemilihan tema, permasalahan dan
7
pembatasannya, tujuan dan metode serta sistematika pembahasan, latar belakang hidup
Louis Leahy, karya-karyanya dan antropologi filosofis Louis Leahy. Pembahasan
bagian Louis Leahy dan karya-karyanya serta anstropologinya cukup singkat karena
dalam bagian ini penulis terutama hanya ingin menggali pokok-pokok antropologi
filosofis Louis Leahy sebagai dasar pembahasan bab-bab selanjutnya. Dalam hal ini
pembahasan latar belakang hidupnya tidak bisa ditinggalkan, karena bagaimanapun
juga pemikiran-pemikirannya banyak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan itu.
Kemudian pada bagian kedua penulis akan menguraikan secara panjang lebar
pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Supaya penjelasan tentang
kebebasan itu mempunyai dasar yang akurat, pertama-tama penulis mengawali
pembahasan yang paling umum, yaitu pandangan Louis Leahy tentang manusia, dan
sebagai intinya kami menguraikan secara mendalam pandangan Louis Leahy tentang
kebebasan manusia. Pada bab ketiga kami akan mengulas secara luas aneka bentuk
determinisme. Pada bagian ini penulis akan menguraikan pelbagai pandangan yang
berusaha menentang adanya kebebasan manusia. Dan berdasarkan bab kedua dan
ketiga itu, pada bagian keempat penulis akan berusaha mensintesekan solusi Louis
Leahy terhadap pandangan-pandangan yang menentang adanya kebebasan manusia.
Bab kelima merupakan bagian penutup. Pada bagian ini pertama-tama kami berusaha
menyimpulkan pembahasan tentang kebebasan dan determinisme dalam pemikiran
Louis Leahy ini, setelah itu kami berusaha membuat analisa kritis atas pandangan
Louis Leahy tersebut. Dalam analisis ini kami berusaha menemukan hal-hal yang patut
dikembangkan dalam dunia pengetahuan dan hal-hal yang patut dikritik. Pembahasan
kemudian kami lanjutkan dengan melihat relevansi pemikiran Louis Leahy ini dengan
konteks dunia sekarang, khususnya situasi di Indonesia. Demikianlah kiranya garis
besar pembahasan karya ilmiah ini.
8
1.8. Tentang Louis Leahy
1.8.1. Riwayat Hidup Louis Leahy
Louis Leahy adalah guru besar filsafat, lahir di kota Quebec, Kanada pada
tanggal 19 Agustus 1927. Louis Leahy masuk ordo Jesuit pada tahun 1947 dan
ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1958. Sebelum bertugas sebagai dosen filsafat di
Indonesia, Leahy pernah mengajar di fakultas-fakultas Serikat Yesus di Montreal dan
Universitas Negeri Quebec sebagai guru besar tetap. Selain itu Leahy juga pernah
memberikan kuliah-kuliah dosen tamu di Universitas Ottawa dan Universitas Sudbury
di Kanada. Pada tahun 1969 - 1975 Leahy mengajar di Dalat, Vietnam. Pada tahun
1975 dia terpaksa meninggalkan Vietnam karena ancaman tindak kekerasan bagi orang
asing terutama orang barat oleh rezim komunis Vietnam. Dalam kemelut itu Leahy
termasuk dalam golongan orang yang diusir oleh rezim komunis Vietnam. Pengalaman
ini sungguh-sungguh membekas dalam diri Louis Leahy. Hal itu terlihat dalam karyakaryanya,
pengalaman-pengalaman itu sering menjadi sorotannya. Setelah diusir rezim
komunis Vietnam, ia mengajar selama empat tahun di Afrika, terutama di Institut
Teologi Afrika Barat, di Abidjan (Pantai gading), dan di Sekolah Tinggi Filsafat
Kanisius, di Kinshasa (Congo) hingga tahun 1979. Akhirnya ia dipanggil kembali ke
Asia Tenggara dan menetap di Indonesia untuk meneruskan pekerjaannya dalam
pengajaran dan riset. Sepuluh tahun pertama di Indonesia, dia mengajar di IKIP
Sanata Dharma Yogyakarta, sebagai dosen tetap jurusan filsafat dan Sosiologi
Pendidikan. Pada tahun 1982 ia memberi kursus metodologi penelitian filsafat bagi
dosen-dosen fakultas filsafat Universitas Gajah Mada. Tahun 1985 ia juga memberi
ceramah-ceramah di fakultas Universitas Gajah Mada tentang antropologi dalam
rangka penataran pra S-3. Sejak tahun 1990 Louis leahy menjadi dosen tetap di
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Ia menjadi dosen tamu di Universitas
Parahyangan Bandung dan menjadi pembantu program Magister Filsafat di Universitas
Indonesia. Sampai saat ini Louis Leahy masih tetap menekuni pekerjaannya dalam
bidang pengajaran dan riset di bidang filsafat di Indonesia.
9
1.8.2. Karya-karya Louis Leahy
Karya-karya ilmiah yang ditulis oleh Louis Leahy dapat dibagi dalam dua
bentuk, yaitu dalam bentuk artikel-artikel dan dalam bentuk buku-buku. Karya-karya
yang ditulis dalam bentuk artikel antara lain:9
a. "Filsafat Ketuhanan", dalam Orientasi, XIII, Kanisius, Yogyakarta, 1981.
b. "Sains dan Eksistensi Allah: suatu problematika baru" dalam Orientasi, XVI,
Yogyakarta, 1984.
c. "Masalah Kejahatan". dalam Basis, no. XXXV-2, 1986.
d. "Kematian: sebuah akhir atau permulaan?", dalam Melintas, Bandung: Fakultas
Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, 1988.
e. "Refleksi Kristis Terhadap Ateisme", dalam Rohani, no. 12, Desember 1988.
f. "Perihal Makna Hidup", dalam dalam Zaman Teknologi Menantang Pewartaan
Iman, (Orientasi Baru No. 3), Kanisius, Yogyakarta, 1989.
g. "Reflections sur la liberte", dalam Dialogue, Montreal, 1963.
h. "Experience religieuse et metaphysique", dalam Science et Esprit", 20, 127-138,
1968.
I. "Christianisme et Freudisme: la foi interpellee", dalam Relations, Desember 1971.
j. "la charge positive de la negativite", dalam Science et Esprit, 23, 1972.
k. "Experience interieur et langage analogique", dalam Science et Esprit, 27, 1975.
l. "The Contingency in the Cosmological Argument", dalam Religious Studies,
Cambridge Univ. Press, March, 1976.
m. "Human Mind and Ultimate Reality", dalam Ultimate Rality and Meaning, 7, 1984.
Bentuk kedua dari karya-karya ilmiah yang ditulis oleh Louis Leahy adalah
bentuk buku. Beberapa buku yang telah diterbitkan antara lain:10
a. Ou est L'Eglise? Edisi Bellarmin, Montreal, 1959.
9 Artikel-artikel Louis Leahy yang dipaparkan di sini adalah artikel-artikel yang
sejauh ini dapat ditemukan oleh penulis. Dalam konteks ini penulis yakin bahwa
sebenarnya masih ada banyak lagi artikel yang ditulis oleh Louis Leahy dan
10
b. Dynamisme voluntaire et jugement libre. Edisi Desclee-de-Brouwer, Bruges-Paris,
1963.
c. L'ineluctable Absolu. Edisi Desclee-de-Brouwer, Bruges-Paris, 1965
d. Pantheisme, Action, Omega, chez Teilhard de Chardin, (Editing dan Kata
Pengantar oleh pengarang). Edisi Desclee-de-Brouwer, Bruxelles-Paris, 1967.
e. Chemins de l'esprit vers l'Etre. Edisi Desclee-de-Brouwer dan Bellarmin,
Bruxelles-Paris-Montreal, 1969. (Buku ini memenangkan hadiah dari "Les
Concours Litteraires", Kanada, Bagian Perancis, Seksi "Sciences de l'homme").
f. Con Nguoi va van-de Thuong De. Edisi Giao Hoang Hpc Vien Thanh Pio X,
Dalat, 1974.
g. L'homme et l'Absolu. Edisi dari L'Institut Superieur de Philosophie Canisius,
Kinshasa, 1979.
h. Hay La Huyen Thoai. Edisi Giao Hoang Hoc Vien Thanh Pio X, Dalat, 1974.
I. Voies ouvertes sur Dieu. Edisi dari L'Institut Superieur de Philosophie Canisius,
Kinshasa, 1979.
j. L'homme, ce mystere. Pour une philosophie de l'homme. Edisi dari L'Institut
Superieur de Philosophie Canisius, Kinshasa, 1981.
k. Masalah Ketuhanan Dewasa Ini. Jilid I dari: Manusia di hadapan Allah. Kanisius
(Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1984, 1990.
l. Manusia, Sebuah Misteri. Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal, Penerbit
Gramedia, Jakarta. Edisi pertama, 1984, 1985. Edisi kedua, yang diperbaharui,
1989.
m. ALiran-aliran Besar Ateisme, Penerbit Kanisius (Yogyakarta), dan BPK Gunung
Mulia (Jakarta), 1985, 1990, 1992.
n. Kosmos, Manusia dan Allah. Jilid III dari: Manusia di hadapan Allah, Penerbit
10 Sekali lagi penulisan karya-karya Louis Leahy dalam bentuk buku ini belum
mencakup semua. Sebagian dari buku-buku yang tertulis, terutama yang dalam
bahasa Indonesia, sudah penulis temukan dan penulis baca. Akan tetapi bukubuku
dalam bahasa asing memang sebagian besar tidak penulis temukan.
Penulisan karya Louis Leahy dalam bagian ini hanya dimaksudkan sebagai usaha
memperkenalkan karya-karya Louis Leahy.
11
Kanisius (Yogyakarta), dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1986.
o. Esai Filsafat Untuk Masa Kini. Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data
Empiris Baru, Penerbit Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991.
1.8.3. Antropologi Filosofis Louis Leahy
Filsafat adalah cara atau metode pemikiran yang tertib, berupa pertanyaan
kepada diri sendiri tentang sifat dasar dan hakiki dari pelbagai kenyataan yang tampil
di muka kita.11 Filsafat mencoba memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang
hakekat kehidupan dan kegiatan manusia, tentang makna kebebasan dan mencintai,
tentang dunia, waktu, alam semesta, manusia dan Tuhan.
Antroplogi filosofis (Philosophical anthrophology) secara harafiah berarti
pengetahuan filosofis mengenai manusia.12 Filsafat manusia sebagai salah satu cabang
filsafat mencoba mengupas secara mendalam arti menjadi manusia. Filsafat manusia
dalam arti ini berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, seperti biologi,
psikologi, antropologi, sosiologi, etnologi, dan sebagainya. Ilmu-ilmu pengetahuan
tentang manusia berdaya-upaya untuk menemukan hukum-hukum perbuatan manusia,
sejauh perbuatan itu dapat dipelajari secara indrawi atau sejauh perbuatan itu dapat
menjadi objek introspeksinya.13 Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia hanya
mempelajari manusia secara partial berdasarkan ruang gerak dan tujuan yang ingin
mereka capai. Misalnya Biologi hanya akan menggeluti manusia dari aspek biologisnya
saja, Psikologi akan menyoroti manusia berdasarkan aspek jiwanya, Sosiologi akan
melihat manusia dalam kaitannya dengan segi sosialitas manusia, dan sebagainya.
Filsafat manusia berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia karena dia
berusaha mengarahkan penyelidikan dan refleksinya pada segi yang lebih mendalam
dari pribadi manusia. Filsafat manusia mempunyai karakter yang lebih fundamental dan
11 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:1
12 Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal:58
13 Bdk. Louis Leahy, hal:7
12
ontologis, dan sudut pandangnya lebih luas dan lebih mempersatukan serta lebih
global.
Louis Leahy memberikan beberapa pendasaran yang dapat membawa kita
untuk memperhatikan filsafat manusia. Pertama-tama adalah karena hakekat manusia
sebagai makhluk yang bertanya. Manusia memikirkan dan mempertanyakan segala hal.
Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan akal budi, yang sampai batasbatas
tertentu, mampu menyelidiki segala hal secara mendalam. Alasan kedua adalah
karena hakekat manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
Manusia mempunyai tugas untuk mengenal dirinya sendiri, menganal hakekat sifat
dirinya, kemampuannya dan cita-citanya. Dan alasan yang ketiga adalah karena
hakekat manusia sebagai pribadi. Manusia mempunyai harga diri dan kehormatan yang
membuatnya menolak untuk diperlakukan sebagai binatang atau benda.
Membentuk dan mengerjakan suatu sistem filsafat manusia, menurut Louis
Leahy merupakan usaha yang sulit dan berat. Alasanya adalah karena, terutama pada
masa kini, semakin banyak bermunculan ilmu-ilmu pengetahuan manusia yang
mencoba mendekati manusia dari sudut pandangnya sendiri. Alasan kedua adalah
karena adanya kontroversi-kontroversi atau pertentangan-pertentangan solusi para
pemikir dalam memberikan jawaban atas hakekat pribadi manusia, yang sering kali
menjadi faktor utama munculnya kekurang-percayaan manusia pada disiplin filsafat
manusia. Plato, misalnya, melihat manusia sebagai makhluk ilahi, sebaliknya bagi
Epicuros manusia adalah makhluk hidup yang berumur pendek, lahir karena kebetulan
dan tidak berisi apa-apa.14 Hobbes melihat manusia sebagai makhluk yang jahat (homo
homini lupus), sedangkan Rousseau berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang
secara kodrati baik. Marcel dan Buber memberi penegasan lain, yaitu bahwa manusia
adalah makhluk yang punya nilai unik. Perbedaan-perbedaan itu juga muncul akibat
perbedaan cara para pemikir dalam menggambarkan eksistensi manusia di dunia.
Misalnya Plato berpendapat bahwa hidup manusia sudah ada dalam dunia abadi atau
14 Bdk. Louis Leahy, hal:3
13
dunia idea sebelum eksistensinya di dunia ini. Descartes menggambarkan manusia
sebagai makhluk yang terbentuk dari campuran dua bahan, yaitu badan dan jiwa.
Spinoza menegaskan bahwa eksistensi manusia itu hanyalah suatu bayangan, tanpa
konsistensi pribadi dari substansi Ilahi. Meskipun muncul banyak perbedaan dari para
pemikir dalam memandang dan menggambarkan manusia, namun masih tetap ada
kemungkinan untuk berfilsafat tentang manusia. Ilmu-ilmu pengetahuan tentang
manusia memberi gambaran kepada kita mengenai aspek-aspek manusia yang berbeda
satu dengan yang lain. Namun demikian kita masih perlu bertanya pada diri sendiri:
Apakah makhluk itu? Apa arti keseluruhan aspek yang membentuk pribadi manusia
itu? Apa yang membentuk kesatuan pribadi manusia? Apa yang membedakan manusia
dengan makhluk-makhluk lain di dunia ini? Bagaimanakah struktur esensial manusi
itu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak muncul dalam ilmu-ilmu pengetahuan
tentang manusia, sebaliknya filsafatlah yang mengemukakan dan mengupas persoalanpersoalan
itu.
Filsafat manusia, sebagaimana juga ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia,
mengambil manusia sebagai obyek material. Sedangkan obyek formal filsafat manusia
adalah inti manusia, alam kodratnya, strukturnya yang fundamental. Artinya adalah
bahwa apa yang ingin dikatakan dan dimengerti oleh filsafat manusia ialah bukan
bentuk fisiknya yang dapat diamati, dibayangkan, digambar, diukur; juga bukan bagian
ini atau fungsi itu dari bentuk fisik ini, melainkan struktur metafisiknya, alasan adanya
(principe d?etre), yaitu sesuatu ?yang oleh karenanya?, yang tanpa itu manusia tidak
dapat dipikirkan. Jadi kalau filsafat mengatakan bahwa manusia terdiri dari badan dan
jiwa, itu tidak berarti bahwa manusia seakan-akan terdiri dari dua hal yang
dihubungkan, atau terdiri dari campuran dua bahan yang masing-masing dapat
digambarkan dan diletakan secara terpisah. Tetapi itu merupakan pengakuan bahwa
manusia itu ada sesuatu ?yang oleh karenanya? dia adalah material dan dapat binasa,
serta ada sesuatu ?yang oleh karenanya? dia adalah makhluk yang hidup dan
14
berpikiran.15
Pada dasarnya filsafat itu bersifat interogatif. Sifat khas yang membedakan
filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan adalah bahwa filsafat mempertanyakan ?yang oleh
karenanya? secara fundamental. Dan karena itulah sering kali filsafat disebut sebagai
bersifat meradikalisasikan. Filsafat tidak berhenti pada sikap bertanya itu, namun ia
juga berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Metode yang dipakai oleh filsafat
selalu bersifat dialektik; atau juga, kita tahu dalam perkembangan sejarah pemikiran,
metode filsafat adalah bersifat refleksif, fenomenologis, induktif, abstraktif, eidetik.
Dan dalam deretan metode filsafat ini Louis Leahy menambahkan satu metode lagi,
yaitu metode metafisik. Disebut metode metafisik karena filsafat tidak bermaksud
mencari struktur esensial apa yang fisik, yang dapat ditangkap oleh pancaindra,
melainkan berusaha mengerti dan mengatakan bagaimana sesuatu itu harus
dikonsepsikan sehingga ia intelegibel.
Kata Metafisika berasal dari bahasa Yunani ?meta ta physika? (sesudah fisika;
dalam bahasa inggris diterjemahkan dengan ?after the things of nature?).16 Aristoteles
menyebut metafisika dengan filsafat pertama.17 Dia menggunakan istilah ?pertama?
karena menurut Aristoteles metafisika merupakan pengenalan mengenai yang
mendasar tentang realitas. Metafisika membahas mengenai natura atau kodrat yang
ada dalam dirinya sendiri. Metafisika bergelut dengan yang ?metafisis?, dengan apa
yang melampaui yang ?fisis?, dengan aspek-espek yang fundamental dari kenyataan.
Kata ?fisis? di dalam konteks pembahasan kita berarti seluruh dunia pengalaman
ragawi sejauh ia tunduk kepada alam, yaitu ia tuduk pada proses menjadi atau ?
15 Bdk. Louis Leahy, hal:11
16 Bdk. Paul Edwards (editor in chief), The Encyclopedia of Philosophy,
Macmillan Publishing Co. Inc. & The Free Press, New York, 1967, hal: 289
17 Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah ?metafisika.? Istilah
metafisika ini datang dari pandangan suatu buku yang tak berjudul karya
Aristoteles dalam pengklasifikasian karya-karyanya yang dibuat oleh
Andronikos dari Rhodos. (Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal: 624; juga DR. K.
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1988, hal:134)
15
dilahirkan? dengan cara tertentu. Maka istilah metafisis berarti apa yang secara hakiki
tidak dapat dialami oleh pancaindra, tidak dapat berubah dan sedikit banyak bersifat
rohani. Tetapi apa yang disebut metafisis di sini bukan berarti tidak dapat diketahui.18
Objek matafisika adalah ada sejauh ada dengan segala atribut yang menyertainya.
Seperti sudah dikatakan di atas, sesuai dengan pengertian metafisika, Louis
Leahy memaksudkan metode metafisika sebagai usaha mencari dan mengkonsepsikan
struktur-struktur esensial bukan dari apa yang fisik, yang dapat ditangkap oleh
pancaindra, tetapi dari apa yang melampaui fisik, yaitu suatu realitas bersifat
sebagaimana dia bersifat, dan bukan yang lain. Dalam konteks filsafat manusia, metode
metafisika dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk mengerti dan memberi ciri manusia
sebagaimana dia adalah manusia. Untuk mencapai tujuan ini menurut Louis Leahy
tidaklah cukup hanya dengan menggambarkan dan memberi penjelasan tentang
kelahiran manusia, asal-usulnya; atau tidaklah cukup hanya dengan menjelaskan secara
badaniah bagaimana anggota-anggota tubuh manusia itu berfungsi. Untuk dapat
mengerti dan memberi ciri pada manusia, kita perlu melihatnya sebagai makhluk yang
bisa bicara, berpikir, menentukan sikap, mencintai, menguasai alam semesta,
mengabdikan dirinya pada suatu cita-cita, bertendensi ke arah Yang Mutlak,
merasakan kecemasan dan bahkan mengenal putus asa.19
18 Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal:624
19 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:14
16
BAB II
KEBEBASAN MANUSIA
DALAM ANTROPOLOGI FILOSOFIS LOUIS LEAHY
Pengantar
Setelah membahas secara singkat Louis Leahy dan konsep antropologi
filosofisnya, kini secara lebih mendalam penulis akan membahas konsep Louis Leahy
tentang kebebasan manusia. Untuk sampai pada pembahasan tentang kebebasan
manusia menurut Louis Leahy, pertama-tama kami akan membahas pemikiran Louis
Leahy tentang manusia. Konsep manusia harus dibahas karena konsep Louis leahy
tentang kebebasan manusia tidak bisa dilepaskan dari pemikirannya tentang manusia.
Berdasarkan pemikirannya itu kami akan mencoba melihat, dan ini merupakan bagian
inti dari pembahasan kami, pemikiran Louis Leahy tentang kebebasan manusia.
2.1. Konsep Manusia Dalam Pemikiran Louis Leahy
2.1.1. Kombinasi Roh Dan Materi
Manusia sebagai pribadi mempunyai dua unsur esensial, yaitu roh dan badan.20
Manusia adalah kesatuan antara roh dan badan. Manusia bukanlah dualitas yang terdiri
dari roh dan tubuh atau sebagai dua bagian dari aku yang terpisah satu dengan yang
lain. Berbeda dengan pandangan para pemikir kuno, seperti nampak jelas dalam
pemikiran Plato, 21 Louis Leahy berpendapat bahwa ?aku? merupakan kesatuan roh
20 Bdk. Dr. M.J. Langeveld, Menuju Kepemikiran Filsafat, P.T. Pembangunan,
Jakarta, Tanpa tahun penerbitan, hal:225
dan tubuh.22 Paradoks yang muncul dari pemahaman ini adalah sebagai hal jasmani
manusia berada dalam ruang dan waktu dan tunduk pada hukum jasmani atau hukum
materi. Namun sebagai roh, manusia mengatasi ruang dan waktu. Karenanya ia juga
hadir secara sempurna bagi dirinya sendiri dan mempunyai kemampuan
mengasimilasikan seluruh alam semesta dan menyatukannya dengan dia sendiri.23
Menurut Leahy roh dan badan yang membentuk manusia itu merupakan satu ?
ada? saja. Artinya sebagai yang membentuk pribadi manusia kedua unsur itu tidak bisa
dilepaskan satu dengan yang lain. Manusia tidak bisa disebut manusia kalau hanya
terdiri roh saja. Demikian juga manusia tidak bisa disebut manusia jikalau hanya terdiri
atas tubuh saja. Hubungan antara tubuh dan roh itu dapat disamakan dengan
hubungan antara materi (materia) dan bentuk (forma). Seperti materi tidak bisa
dibayangkan tanpa bentuk tertentu dan di lain pihak seperti bentuk tidak mungkin
berdiri sendiri, demikian juga roh dan badan hanya dapat dimengerti dalam hubungan
satu sama lain.24 Dalam konteks pemahaman ini bentuk juga diartikan sebagai prinsip
penyempurnaan, atau suatu rancangan hidup, atau suatu tujuan. Maka dari itu roh
manusia didefinisikan antara lain juga sebagai bentuk sebuah badan manusia.25
Roh secara nyata menjadi dinamisme primordial dari suatu badan. Roh adalah
katerarahan yang mekar dari manusia dan yang kita tunjukkan dengan kata ?aku?.26
22 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:73
23 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:182
24 Bdk. Prof. Dr. C.A. van Peursen, Tubuh Jiwa Roh: Sebuah Pengantar
Dalam Filsafat Manusia, BPK Gunung Mulia, Jakarta Pusat, 1983, hal:104
25 Pengertian ini dapat dibandingkan dengan pemahaman Aristoteles tentang
jiwa dan badan. Aristoteles menyebut jiwa sebagai ?entelekheia? artinya
perealisasian yang seolah-olah berarti rencana induk bagi tubuh semacam itu.
Jiwa sebagai perealisasian tubuh ada bersama tubuh, tidak pernah tanpa tubuh,
meskipun jiwa itu sendiri bukanlah tubuh, jiwa ada dalam tubuh yang tertentu.
Jadi dalam hal ini jiwa bukanlah suatu faktor metafisis yang tersembunyi,
melainkan menyatakan diri secara konkrit dalam badan manusia. Antara jiwa
dan tubuh selalu menunjuk yang satu kepada yang lain. (Bdk. Prof. Dr. C.A. Van
Peursen, Op.Cit., hal:107)
26 Bdk. Prof. Dr. C.A. Van Peursen, Op.Cit., hal:174
Dia menjadikan badan sebagai badan. Dengan kata lain roh-lah yang memberi bentuk
kepada badan. Dan pada akhirnya roh juga mempersatukan badan dengan dirinya dan
memilikinya serta mengembangkannya. Roh mengikatkan diri dalam badan dan bersatu
dengannya. Roh merupakan prinsip pemersatu dan pengatur. Roh juga merupakan
prinsip kehidupan seluruh organisme. Akan tetapi dalam arti tertentu roh juga
tergantung pada badan.27 Mengapa? Karena roh akan tetap sebuah roh dan bukan atau
tidak bisa disebut manusia seandainya dia tidak bersatu dengan badan. Di lain pihak
roh bertindak dalam badan itu sebagaimana dapat dibuat oleh sebuah roh. Roh yang
bersatu dan mengikatkan diri dengan badan itu tetap dia yang adalah roh. Dimensi roh
dengan demikian memberikan makna kepada pribadi manusia sebagai suatu yang
bersifat imanen dan transenden terhadap badan. Karena unsur roh-nya, maka pribadi
manusia melampaui dan menguasai batas-batas keber-tubuh-annya. Dia dengan
dimensi rohaninya bersifat immaterial dan tak terikat pada ruang dan waktu.
Dalam hal ini karakteristik badan tidak berada di luar intimitas kita secara total.
Namun badan juga tidak sama secara sempurna dengan keakuan kita yang paling
dalam. Dengan kata lain di dalam keakuan kita badan bukanlah melulu sebagai suatu
obyek atau sebaliknya suatu subjektivitas semata-mata. Badan didefinisikan melalui
hubungan eratnya dengan dunia dan partisipasinya dengan jiwa atau keakuan. Badan
manusia, seperti juga badan yang tak berjiwa, berada dalam ruang dan waktu. Badan
mempunyai bentuk material dan memiliki kumpulan organ perkembangan. Badan
manusia, seperti juga badan hewan, diperlengkapi dengan indra-indra dan sistem
penggerak. Ciri khas badan manusia, bila dibandingkan dengan badan hewani dan
tumbuh-tumbuhan adalah ?posisi tegak?-nya.28 Hanya manusia yang mempunyai
karakteristik ?erectus?(hanya manusia yang mendapat sebutan homo erectus).
Kekhasan itu memungkinkan manusia melihat benda-benda dari atas dan sekaligus
menunjukkan dan memudahkan peningkatan aktivitas roh. Badan manusia
27 Bdk. DR. J. Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik
Filsafat Alfred North Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1991, hal:63
28 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal: 49
diperlengkapi dengan sistem syaraf dan otak yang saling berhubungan erat dan
mempengaruhi satu sama lain. Badan manusia merupakan dimensi esensial dari ?ada?
manusia. Mengapa? Karena hanya dengan badan itulah manusia menjadi mungkin
untuk berada di dunia dan berkomunikasi dengan ?ada-ada? yang lain di dunia ini.
Badan adalah ?aku? manusia yang disituasikan dan diadaptasikan serta dijelmakan.
Badan manusia adalah suatu instansi yang memeluk waktu dan ruang. Ia mewahyukan
dan membawa manusia pada dunia. Dia adalah bagian yang secara esensial termasuk ?
aku?. Namun demikian badan, seperti halnya roh - tetapi menurut arah yang
sebaliknya - adalah badan oleh karena roh. Tubuh yang diukir atau dilukis bukan
merupakan tubuh yang sejati. Sesosok mayat tidak dapat disebut tubuh dalam arti yang
sebenarnya karena dia tidak lagi merupakan suatu organisme yang hidup. Jadi tubuh
tanpa jiwa bukanlah tubuh yang sejati.
Sampai di sini kita bisa menyimpulkan bahwa badan manusia tidak boleh
direduksikan ke dalam eksterioritas dan subjektivitas, namun di lain pihak harus
dikatakan bahwa dia bukan apa yang paling radikal dalam dimensi interioritas manusia,
juga bukan faktor yang paling radikal dari subyektivitas manusia.29 Alasannya adalah
karena badan pada hakekatnya berbeda dengan ?aku? manusia, tetapi sekaligus
merupakan substansi yang sama dengan ?aku? manusia. Badan manusia berpartisipasi
dengan rasionalitas dan spiritualitas ?aku? manusia. Dengan ke-erat-an hubungan
itulah maka badan dan roh bersama-sama membentuk satu subyek substansial, yaitu
manusia.
2.1.2. Pribadi Manusia Bersifat Subsistens Dan Terbuka
Kata subsistensi berasal dari bahasa latin ?subsistere? (dari kata ?sub? yang
berarti di bawah dan kata?sistere? yang berarti berdiri). Secara filosofis kata
subsistensi diartikan sebagai suatu kemandirian ontologis yang ditentukan bukan
dengan mangacu pada sesuatu yang lain di luar dirinya tetapi dengan mengacu pada
29 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal: 51
dirinya sendiri. Subsisten berarti ada dalam dirinya sendiri.30
Menurut Louis Leahy pribadi manusia itu bersifat subsistens karena dia
bereksistensi dalam dan untuk dirinya sendiri. Manusia bersifat tertutup pada dirinya
sendiri. Artinya bahwa dia adalah dirinya sendiri saja dan bukan serta tidak mampu
menjadi makhluk lain.31 Manusia itu makhluk monadis. Ia mempunyai pengalamannya
sendiri dan karena itu memiliki dunianya sendiri. Manusia adalah totalitas yang satu
dan utuh. Artinya bahwa ?aku? dari manusia yang bertindak itu bukanlah merupakan
suatu yang terpecah-pecah, melainkan merupakan kesatuan yang utuh yang disebut
pribadi manusia.32 Manusia adalah penindak semua tindakannya. Manusia adalah pusat
semua aktivitasnya. Manusia sebagai pribadi yang bersifat subsistens merupakan
subyek dan dasar atau landasan pokok semua kegiatannya.
Di lain pihak pribadi manusia itu punya sifat dasar lain yaitu ?terbuka?.
Manusia adalah pribadi yang punya karakter transenden. Manusia bukanlah barang
yang terletak di suatu tempat di samping barang-barang yang lain. Situasi eksistensial
manusia tidak bisa direduksikan hanya dalam situasi ruang dan waktu. Mengapa?
Karena manusia mempunyai sifat dasar melampaui dirinya di dalam dan karena
kesadarannya. Sekaligus manusia adalah lebih daripada suatu kesadaran yang tertutup
pada dirinya sendiri dan sama sekali terserap oleh kontemplasi khusuk tentang dunia
batinnya.33 Lebih dari itu, manusia adalah pribadi yang mengatasi dirinya sendiri. Ia
melampaui segala tujuannya dan tawaran-tawaran yang diberikan padanya. Tiada satu
kesadaran pun yang sifatnya final bagi manusia. Manusia adalah pribadi yang sifatnya
terbuka, bahwa dia secara hakiki adalah sebuah ?rencana?. Salah satu modus yang
30 Bdk. Lorens bagus, Op.Cit., hal:1049
31 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:182
32 Bdk. Prof. I.R. Poedjawijatna, Manusia Dengan Alamnya : Filsafat
Manusia, Bina Aksara, Jakarta, 1981, hal::88
33 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy, SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius
(Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1993, hal:40
paling jelas dari transendensi manusia itu adalah kebutuhan untuk mengerti.34 Dengan
masuk ke dalam dunia manusia menolak untuk merasa cukup dengan apa yang
didapatkannya secara pribadi dalam realitas. Manusia menganggap dirinya selalu tidak
lengkap. Maka dari itu manusia selalu berusaha dengan rasionya untuk membuat dunia
ini dapat dimengerti dan pahami. Dan dengan usaha itu manusia berharap dapat
memberikan dasar pada apa yang dialami dalam realitas kehidupan. Kemudian muncul
pertanyaan: Sampai manakah terbentang kebutuhan untuk mengerti itu? Apakah yang
secara definitif dapat memberikan dasar kepada pengalaman sesuai tuntutan akal?
Suatu realitas dalam dunia ataukah Tuhan? Sampai pada titik ini kita harus
mengatakan bahwa kesadaran manusia akan strukturnya yang mendalam (hakekatberfikir-
terbatas) pada akhirnya memunculkan masalah manusia yang utama, yaitu
masalah realitas ke mana ia secara radikal diarahkan; dan dari pertanyaan ini muncullah
persoalan tentang Tuhan.
Manusia adalah pribadi yang bersifat terbuka secara vertikal, yaitu terhadap
Tuhan. Karena Tuhan adalah ?Sumber Terakhir? segala sesuatu, termasuk eksistensi
manusia. Manusia adalah makhluk yang terdiri dari dimensi material dan dimensi
rohani. Sebagai roh, manusia tidak bisa diperlakukan sebagai suatu sarana, melainkan
harus ditampakkan sebagai tujuan. Manusia adalah totalitas dan pusat ke arah mana
segala sesuatu tertuju. Manusia sebagai roh yang mengatasi ketentuan badaniah
termasuk kategori makhluk spiritual. Manusia mempunyai pengalaman-pengalaman
religius, yaitu pengalaman yang menyentuh sesuatu yang transenden.35 Manusia adalah
makhluk yang bertransendensi oleh karena ia mampu keluar dari diri sendiri dan
mampu menangkap hal-hal dunia sebagai realitas di luar batinnya. Manusia adalah
makhluk transendental oleh sebab ia mampu menjangkau sesuatu yang transendental.
Sebagai makhluk transendental manusia selalu terbuka secara vertikal kepada ?
Sumber Terakhir? segala sesuatu, yaitu Tuhan.
34 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy, SJ, Op.Cit., hal:41
35 Bdk. DR. Theo Huijbers, Mencari Allah: Pengantar Ke Dalam Filsafat
Ketuhanan, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal: 115
Selain sebagai pribadi yang bersifat terbuka secara vertikal, manusia juga
adalah pribadi yang terbuka secara horisontal, yaitu terhadap pribadi di luar dirinya.
Manusia adalah individu yang hidup di tengah-tengah individu lain. Inilah paradoks
esensial dari pribadi manusia. Pada tempat pertama Louis Leahy mengatakan bahwa
manusia adalah realitas yang subsistens, namun di lain pihak dia adalah pribadi yang
bersifat terbuka. Paradoks ini masih ditambah lagi karena manusia juga merupakan
pribadi yang berkarakter esensial untuk terbuka secara horisontal, yaitu terbuka pada
lain-lain pribadi. Manusia yang bersifat subsistens itu pada dasarnya juga menyadari
bahwa di samping dirinya masih ada diri yang lain. Manusia sebagai pribadi
mempunyai ke-diri-sendiri-an, namun akibat pergaulan hidup sehari-hari manusia
mempunyai kesadaran dan keyakinan bahwa terdapat makhluk lain yang mempunyai
kesamaan sifat-sifat dengan dirinya. Keyakinan ini nyata dalam sikapnya terhadap
pribadi lain, yang dengan sendirinya berlainan dengan sikapnya terhadap makhlukmakhluk
yang tidak menyatakan dirinya sebagai eksistensi, yaitu tumbuhan dan
binatang serta benda-benda. Hal itu berarti bahwa kenyataan adanya pribadi lain dalam
hidup manusia tidak sama dengan kenyataan bahwa terdapat benda, tumbuhan dan
binatang-binatang dalam hidup manusia. Adanya pribadi lain itu jauh lebih penting,
bahkan untuk sebagian besar menentukan seluruh arti dan makna hidup.36 Pribadi
manusia sebagai realitas yang bersifat terbuka secara horisontal mempunyai kesadaran
yang senantiasa terarah ke luar, yaitu ke suatu obyek yang di luar dirinya sendiri.
Inilah yang disebut karakter ?intensionalitas?37 pribadi manusia.38 Manusia sebagai
36 Bdk. Dr. Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Dunianya, Kanisius,
Yogyakarta, 1986, hal:40
37 Kata ?intensionalitas? berasal dari istilah bahasa latin ?intendere?, artinya
?mengarah kepada?. Kata ini dalam dunia filsafat mempunyai beberapa nuansa
arti yang berbeda. Dalam konteks pembahasan ini kata intensionalitas lebih
berarti sebagai kondisi, kemampuan kesadaran yang memungkinkan sesuatu
untuk mengarahkan, menunjukkan atau mengacu pada sesuatu yang
melampaui dirinya sendiri. Dalam kaca mata fenomenologi, kata intensionalitas
diartikan sebagai keseluruhan kesadaran akan obyek-obyek. (Bdk. Lorens Bagus,
Op.Cit., hal:362)
pribadi dengan demikian bukanlah suatu subyek yang terkurung dalam dirinya sendiri.
Dengan demikian karakter manusia sebagai realitas yang berifat terbuka itu bukanlah
suatu tambahan pada pribadi manusia, melainkan merupakan hakekat eksistensi
manusia sendiri. Hidup sebagai manusia berarti hidup sebagai yang ke luar dari
imanensinya dan terarah kepada yang lain. Maka eksistensi pribadi saya dan eksistensi
pribadi yang lain adalah korelatif: yang satu mengandaikan yang lain. Pribadi saya
terarah kepada pribadi yang lain dan obyek-obyek di luar diri saya, dan pribadi yang
lain dan obyek-obyek di luar diri saya juga terarah kepada diri saya.
2.1.3. Manusia Sebagai Pribadi Harus Mengembangkan Dirinya
Eksistensi manusia bukanlah eksistensi yang statis. Pribadi manusia bukanlah
sesuatu yang tak dapat berubah dan lengkap sejak semula. Karena itu sebagai substansi
yang bereksistensi dalam, untuk, dan oleh dirinya sendiri dan sebagai prinsip kegiatankegiatan
yang bersifat jasmani, inderawi dan intelektual, pribadi manusia merupakan
suatu eksistensi yang harus berkembang.39 Tugas utama manusia sebagai pribadi yang
bereksistensi adalah merealisir dirinya sendiri. Gagasan perealisasian diri ini sebenarnya
juga terdapat atau berlaku bagi kelompok binatang dan tumbuh-tumbuhan. Namun
gagasan itu akan nampak secara khas pada species manusia. Dalam arti ini dapat
dikatakan bahwa hidup manusia adalah suatu ?tugas?. Artinya adalah manusia harus
berusaha untuk mengembangkan dirinya secara penuh. Manusia adalah manusia, tetapi
justru karena hidup selaku manusia belum ?selesai?, maka manusia harus berusaha
memberi isi dan bentuk kepadanya. Hidup telah dipercayakan kepada manusia sendiri
supaya manusia dengan kebebasan berkehendaknya memberi tanggapan secara konkrit
panggilan dan tugasnya untuk mewujudkan diri.40
Manusia, seperti juga tumbuhan dan binatang-binatang, berkembang dan
mengembangkan diri pertama-tama dengan asimilasi, yaitu dengan cara mengubah apa
yang dimakan dan dicerna menjadi substansi dirinya sendiri. Dengan kegiatan ini maka
manusia dan makhluk hidup lainnya merupakan subyek yang berkembang dari dalam
39 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:183
40 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:115
dirinya sendiri dan bukan ditentukan atau diperlengkapi dari luar. Manusia dan
makhluk-makhluk hidup itu merupakan keseluruhan natural. Selain itu manusia dan
makhluk-makhluk hidup lainnya juga mempunyai kemampuan untuk memulihkan dan
mereproduksikan dirinya. Makhluk hidup, karena mempunyai sistem organisme
sendiri, mampu untuk memulihkan luka-luka dalam dirinya dan juga mereproduksikan
serta melipat-gandakan kuantitas dirinya. Makhluk hidup dari substansinya sendiri
mampu ?melahirkan? suatu makhluk hidup lain yang mempunyai otonomi yang penuh
dan yang menjadi gambaran dirinya. Itulah ke-?ada?-an yang khas pada makhluk
hidup. Dan dengan cara itu makhluk hidup akan melestarikan dirinya. Ciri yang lain
dari makhluk hidup adalah kemampuan bereaksi, yaitu mengadaptasikan diri,
menghindari atau menentang bahaya, menyerang atau melarikan diri dari keadaankeadaan
yang mengkondisikan eksistensinya. Kemampuan ini sesungguhnya
merepresentasikan kemampuan makhluk hidup untuk menentukan dirinya sendiri.
Mereka semua selalu melakukan kegiatan untuk tujuan konservasi dirinya dan
pengembang-biakan species-speciesnya. Dalam konteks ini manusia menduduki tempat
yang istimewa, karena hanya manusia yang mempunyai kemampuan untuk menentukan
sendiri tujuan-tujuan hidupnya, sementara makhluk hidup yang lain menjadi tujuantujuan
bagi dirinya sendiri.
Secara metafisis ciri khas manusia sebagai makhluk yang menyempurnakan
dirinya adalah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kegiatan imanen dan
transitif. Kegiatan transitif adalah kegiatan yang memproduksi suatu efek di luar diri
pelakunya, misalnya melukis. Sedangkan kegiatan imanen adalah kegiatan yang
efeknya tetap di dalam makhluk. Pelakunya sekaligus merupakan prinsip dan akhir,
sebagai kausa dan yang memanfaatkan (beneficiary).41
Sebagai makhluk yang menyempurnakan diri, manusia mempunyai dalam
dirinya prinsip kesatuan substansial. Prinsip itu merupakan prinsip kesatuan yang
dinamis dan yang menstrukturkan antara ada manusia dan sesuatu yang menciri-khaskan
eksistensinya. Kesatuan itu adalah sesuatu yang oleh karenanya manusia
41 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:37
dimungkinkan untuk mengembangkan dirinya untuk mencapai cita-cita dan tujuan
hidupnya. Kesatuan substansial itu sekaligus juga merupakan sesuatu yang interior dan
natural. Disebut sebagai sesuatu yang interior karena dia bukan merupakan
penggabungan yang terjadi dari materi-materi. Sebaliknya karena dirinyalah manusia
mengembangkan dirinya. Kesatuan itu adalah pusat atau inti yang merupakan sumber
seluruh aktivitas manusia yang pada akhirnya juga akan kembali pada manusia sendiri.
Disebut natural karena kesatuan itu telah menstrukturkan manusia sejak saat pertama.
Karena itu kesatuan natural berada pada semua tahap perkembangan dan pada semua
aspek kegiatan manusia.42 Akhirnya kita dapat mengatakan bahwa kesatuan substansial
itu merupakan suatu yang secara esensial menyangkut kodrat manusia yang akan
merealisasikan dirinya. Kesatuan substansial merupakan dinamisme manusia yang
secara hakiki tak dapat direduksikan pada kategori sarana atau obyek. Manusia dengan
kesatuan substansialnya adalah subyek yang mampu bertanggung-jawab atas dirinya
sendiri.
2.1.4. Kesimpulan
Pemikiran Louis Leahy tentang manusia sebenarnya bukanlah merupakan suatu
pemikiran yang benar-banar baru. Louis Leahy dalam menggambarkan manusia tetap
menyandarkan diri pada pemikiran-pemikiran para pemikir sebelumnya. Misalnya
untuk mendefinisikan pribadi manusia, dia mengutip pemikiran Boetius: ?pribadi itu
ialah substansi individual dari kodrat yang berakal?.43 Hal yang baru dalam
pemahaman Louis Leahy tentang manusia adalah bahwa dia lebih menekankan aspek
manusia sebagai pribadi dalam konteks pemikiran kontemporer dan paham
personalisme. Manusia sebagai pribadi merupakan realitas yang mempunyai nilai dalam
dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia tak pernah dapat diperlakukan sebagai sarana
42 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:38
43 Bdk. Julius Runtu, Rasa Berontak Terhadap Kejahatan Sebagai Titik
Tolak Suatu Jalan Menuju Pengakuan Eksistensi Allah: Solusi Leahy Atas
Masalah Kejahatan, STFT Widya Sasana, Malang, 1993, hal:44
atau sebagai obyek dari suatu tindakan. Sebaliknya manusia sebagai pribadi adalah
tujuan setiap tindakan manusia. Louis Leahy berpendapat bahwa eksistensi pribadi
manusia merupakan suatu realitas yang penuh dengan misteri dan keunikan. Pribadi
manusia merupakan suatu eksistensi yang penuh dengan paradoks. Manusia sekaligus
terbatas dan terbuka kepada kenyataan yang tidak terbatas, terkondisi dan bebas,
kodrati dan budayani, fisik dan rohani, individual dan sosial, kosmik dan historik. 44
Pada tempat pertama Louis Leahy mengatakan bahwa manusia merupakan kesatuan
roh dan materi. Manusia adalah roh yang membadan dan badan yang menge-roh.
Sebagai realitas rohani manusia tidak terikat pada hukum ruang dan waktu. Manusia
mengatasi batas-batas kebertubuhannya. Namun sebagai realitas jasmani manusia
tunduk dan terbatas pada hukum ruang dan waktu. Paradoks kedua dari pribadi
manusia adalah bahwa pribadi manusia adalah realitas yang subsistens sekaligus
merupakan realitas yang terbuka. Manusia di satu pihak merupakan realitas dalam
dirinya sendiri. Manusia adalah dia sebagai dirinya sendiri dan bukan sebagai yang lain.
Dia tidak pernah bisa menjadi yang lain dari dirinya sendiri. Manusia tertutup terhadap
sesuatu yang ada di luar dirinya sendiri. Namun di lain pihak manusia adalah pribadi
yang terbuka secara horisontal dan vertikal. Manusia adalah eksistensi yang harus
mengembangkan dirinya sendiri.
Setelah berusaha menggali dan memahami pemikiran Louis Leahy tentang
manusia, pada bagian berikut kita akan berusaha menggali dan memahami konsep
Louis Leahy tentang kebebasan manusia.
2.2. Kebebasan Manusia
Keinginan manusia untuk hidup dengan bebas merupakan salah satu keinginan
insani yang sangat mendasar.45 Karena itu Louis Leahy memasukan prinsip kebebasan
ini dalam salah satu dimensi esensial pribadi manusia. Faktor esensial kebebasan
44 Bdk. L. Leahy SJ, ?Perihal Makna Hidup?, dalam Zaman Teknologi
Menantang Pewartaan Iman, (Orientasi No. 3), Kanisius, Yogyakarta, 1989,
hal:145
45 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:5
manusia inilah yang menyebabkan dan mendorong pelbagai tokoh untuk menyoroti
masalah kebebasan. Dan sebagai akibat penyelidikan yang variatif terhadap kebebasan
maka muncul bermacam-macam anggapan, pendapat dan pandangan yang sering kali
berbeda satu sama lain. Dalam arti tertentu adanya perbedaan konsep itu dapat
dimengerti karena kebebasan itu sendiri bukanlah sesuatu yang mutlak. Kebebasan
mempunyai karakter relatif atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia. Sebagai
sesuatu yang relatif atau bersituasi, kebebasan manusia selalu bercampur dengan
ketidak-bebasan. Maka manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh.46
Namun situasi dan kondisi manusia itu pada dasarnya bukan hanya merupakan faktor
yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia, tetapi juga dan serentak
merupakan faktor yang memungkinkan kebebasan. Alasannya adalah karena di luar
situasi yang sifatnya terbatas itu manusia tidak mungkin dapat bertindak.47 Sebagai
eksistensi, manusia selalu termuat dalam situasi-situasi tertentu, yaitu situasi-situasi
batas. Sebagai eksistensi, manusia dapat menemukan dan merealisasikan dirinya sendiri
di dunia ini.48 Oleh karena itu dalam kebebasan insani selalu terkandung berbagai aspek
atau komponen yang saling mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain.
2.2.1. Pengertian Kebebasan
Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang,
paksaan, beban atau kewajiban.49 Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya
tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar.50 Manusia yang bebas
46 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:6
47 Pembahasan mengenai persoalan kebebasan dalam situasi-situasi
keterbatasan manusia ini akan kami perdalam dalam pembahasan tentang
Solusi Leahy atas paham determinisme.
48 Bdk. Harry Hamersma, Filsafat Eksistensi: Karl Jaspers, Gramedia,
Jakarta, 1985, hal:13
49 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:44
50 Bdk. Peter King, Towards A Theory Of The General Will, dalam ?History
adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan
adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya.51 Manusia disebut bebas
kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas
perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang
mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya.52 Hal itu
juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal
definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. ?
Freedom is self-determination?.53 Berdasarkan pengertian itu dapat dikatakan bahwa
kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya
terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda. Kebebasan yang
nampak secara sekilas dalam binatang-binatang pada dasarnya bukan kebebasan sejati.
Mereka dapat menggerakkan tubuhnya ke mana saja, tetapi semuanya itu sebenarnya
bukan berasal dari diri binatang itu sendiri. Gerakan binatang bukanlah hasil dorongan
internal diri binatang. Kebebasan mereka adalah kebebasan sebagai produk dorongandorongan
instingtualnya. Dengan istilah instingtual dimaksudkan tidak adanya peran
akal budi dan kehendak. Dalam arti itu sebenarnya di dalam diri binatang-binatang
tidak ada kebebasan. Di dalam diri binatang tidak ada self-determination atau
kemampuan internal untuk menentukan dirinya. Sedang manusia mempunyai
kemampuan untuk berhasrat dan berkeinginan. Ia mempunyai kecenderungan dan
kehendak yang bebas. Manusia mempunyai kemampuan memilih. Karena itu dikatakan
Of Philosophy Quarterly?, Vol.4, No.1, Januari, 1987, hal: 42
51 Bdk. Richard Taylor, Metaphysics, (third edition), Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, United States of America, 1983, hal:41 dan Arthur Ripstein,
The General Will, dalam ?History Of Philosophy Quarterly?, Vol.9, No.1, Januari,
1992, hal:59
52 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:90
53 Definisi ini kami kutip dari sub-judul pembahasan ?Freedom Means
Responsibility?, (German Grisez / Russell Shaw, Beyond The New Morality:
The Responsibility Of Freedom, University Of Notre Dame Press, London,
1974, hal:6)
bahwa manusia adalah tuan atas perbuatannya sendiri.54 Kebebesan sejati hanya
terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan
kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri mengandaikan peran akal budi dan
kehendak bebas manusia.
Pengertian kebebasan yang diuraikan di atas merujuk pada pengertian
kebebasan secara umum. Dalam merenungkan arti dan makna kebebasan kita tidak
akan berhenti pada arti yang paling umum dan mendasar itu. Oleh karena itu pada
bagian ini kita akan memperdalam arti kebebasan dalam arti-arti yang lebih khusus.
Kebebasan dalam arti khusus ini tidak berarti lepas dari pengertian bebas secara
umum. Kebebasan dalam arti khusus merupakan pengkhususan arti dari kebebasan
dalam pengertian umum. Secara ringkas Louis Leahy membedakan tiga macam atau
bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis.
2.2.1.1. Kebebasan Fisik
Kebebasan fisik menurut Louis Leahy adalah ketiadaan paksaan fisik.55 Artinya
adalah tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang bersifat fisik
atau material.56 Dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas jika ia bisa
bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia dikatakan bebas
secara fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia
kehendaki. Seorang tahanan di sebuah sel tidak mempunyai kebebasan dalam arti ini
karena dia secara fisik dibatasi. Dia akan bebas jika masa tahanannya sudah lewat.57
Dengan demikian paksaan di sini berarti bahwa fisik manusia diperalat oleh faktor
eksternal untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang tidak ia kehendaki
54 Bdk. F.X. Mudji Sutrisno, Nilai Manusia, dalam ?Basis?, No.7, Tahun XXXVII,
1998, hal:244
55 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:116
56 Bdk. Lorens bagus,Op.Cit., hal:406
57 Bdk. Christopher Gilbert, Freedom And Enslavement: Descartes On
Passions And The Will, dalam ?History of Philosophy Quarterly?, Vol.15, No.2,
April 1998, hal:183
atau yang ia kehendaki. Jangkaun kebebasan fisik juga ditentukan oleh kemampuan
badan manusia sendiri. Jangkauan itu terbatas. Namun demikian hal itu tidak
mengurangi melainkan justru mencirikan kebebasan manusia. Contohnya: bahwa
manusia tidak bisa terbang itu bukan merupakan pengekangan terhadap kebebasannya.
Hal itu semata-mata disebabkan oleh kemampuan badan manusia yang terbatas. Jadi
sekali lagi yang dimaksud paksaan terhadap kebebasan fisik ini adalah pengekangan
atau paksaan yang datang dari luar diri manusia. Misalnya dari lembaga atau orang
lain.58
Kebebasan dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang,
bahkan pada tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa. Yang membedakan manusia
dengan binatang dan benda-benda itu adalah aspek kehendak akal budi manusia.
Binatang menggerakkan tubuhnya sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah
dorongan instingtualnya. Sedangkan manusia bergerak karena dorongan kehendaknya.
Kebebasan fisik adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau dangkal.
Karena bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa sungguhsungguh
bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah ditahan atau
bahkan disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya kebebasan fisik bisa
disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam.59 Kebebasan fisik sebenarnya
bukan merupakan kebebasan yang sejati. Ia hanya merupakan bentuk kebebasan dalam
pengertian yang sangat sederhana.Namun demikian kebebasan ini mempunyai makna
yang esensial dan nilai yang positif. Kebebasan fisik dapat menjadi sarana untuk
mencapai kebebasan yang sejati.
2.2.1.2. Kebebasan Psikologis
58 Bdk. Laurentius Heru Susanto, Op.Cit., hal:84
59 Bdk. K. Bertens, Op.Cit., hal:103
Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis.60 Orang
dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk mengarahkan
hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan dan
kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif. Yang men-ciri-khas-kan kemampuan
itu adalah adanya kehendak bebas. Karena itulah Louis Leahy mengidentikkan
kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk memilih atau kebebasan berkehendak.61
Kebebasan memilih atau kebebasan berkehendak sering pula dikatakan dalam arti
kebebasan untuk mengambil keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau kebebasan
untuk berbuat dengan cara begini atau begitu, atau merupakan kemampuan untuk
memberikan arti dan arah kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan untuk
menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus
ditawarkan kepada manusia.62
Kebebasan psikologis berkaitan erat dengan hakekat manusia sebagai makhluk
yang berakal budi. Manusia ?bisa? berpikir sebelum bertindak. Ia menyadari dan
mempertimbangkan tindakan-tindakannya.63 Karena itu jika orang bertindak secara
bebas maka itu berarti ia tahu apa yang dilakukan dan tahu mengapa melakukannya.64
Jadi kebebasan berkehendak mengandaikan kesadaran dan kemampuan berpikir
maupun kemampuan menilai dan mempertimbangkan arti dan bobot perbuatan
sebelum manusia membuat suatu keputusan untuk bertindak.65 Dalam kebebasan
psikologis kemungkinan memilih merupakan aspek yang penting. Konsekuensinya
adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada kemungkinan untuk memilih. Orang
60 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:117
61 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:117
62 Bdk. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta,
1992, hal:408 dan Louis Leahy, Op.Cit., hal:117
63 Bdk. Antonio Maher Lopes, Konsep Kebebasan Menurut Jean Paul
Sartre, STFT Widya Sasana, Malang, 1991, hal:23-25
64 Bdk. K. Bertens, Op.Cit., hal:109
65 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:54
dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia mempunyai kemungkinan untuk
melakukan tindakan A dan bukan B.66 Kemungkinan untuk memilih adalah aspek yang
penting, namun demikian aspek ini tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai
kebebasan psikologis.67 Mengapa? Karena pemilihan bukan merupakan hakekat
kebebasan psikologis. Hakekat kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia
untuk menentukan dirinya sendiri.68
Berbeda dari kebebasan fisik, kebebasan psikologis tidak bisa secara langsung
dibatasi dari luar. Orang tidak bisa dipaksa untuk menghendaki sesuatu.69 Misalnya
dalam peristiwa perampokan. Seandainya saya terpaksa menyerahkan semua uang dan
harta yang saya punyai, penyerahan itu saya lakukan atas kehendak saya. Dalam arti
itu saya masih bebas secara psikologis, karena saya masih mempunyai kemungkinan
untuk memilih. Dan (mungkin) saya tidak bebas secara fisik, karena dalam
perampokan itu saya diancam untuk dibunuh. Secara tidak langsung bentuk paksaan
psikologis adalah pembatasan-pembatasan psikis yang memaksa seseorang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.70 Kebebasan psikologis juga dapat dihalangi
dengan mengkondisikan orang sehingga tidak mungkin melakukan beberapa kegiatan
tertentu. Misalnya seorang ibu yang mengharuskan anaknya untuk langsung pulang
setelah jam sekolah selesai. Ibu itu membatasi kebebasan psikologis anaknya karena
dia tidak memberi kemungkinan pada anaknya untuk melakukan tindakan lain selain
langsung pulang setelah sekolah.71
66 Louis O. Kattsoff, Op.Cit., hal:409
67 Bdk. K. Bertens, Op.Cit., hal:109
68 Bdk. DR. Franz Magnis-Suseno, SJ, Etika Sosial: Buku Panduan
Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989, hal:20
69 Bdk. DR. Franz von Magnis, Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1985, hal:48
70 Bdk. Drs. Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta, 1990,
hal:42
71 Bdk. Walter Glannon, Responsibility And The Principle Of Posible
Action, dalam ?The Journal Of Philosophy?, Vol.XCII, No.5, Mei, 1995, hal:261-
2.2.1.3. Kebebasan Moral
Louis Leahy mendefinisikan kebebasan moral sebagai ketiadaan paksaan moral
hukum atau kewajiban.72 Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan psikologis.
Meskipun demikian antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat.
Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya jika ada kebebasan
psikologis belum tentu ada kebebasan moral.73 Contohnya suatu ketika saya berjalan
dan melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir jalan tanpa pemilik. Pikiran yang
muncul saat itu adalah ?saya mengambil dompet itu.? Dan memang kemudian saya
mengambil dompet itu. Namun setelah mengambil dompet itu saya masih menimbang
lagi: ?atau dompet ini saya kembalikan pada pemiliknya, atau saya mengambil dan
tidak memberikan pada pemiliknya.? Dalam hal ini saya mempunyai kemungkinan
atau kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai kebebasan psikologis. Di lain pihak
dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan moral. Alasannya adalah tindakan saya
secara moral tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Saya telah mengambil barang orang
lain yang bukan hak saya. Contoh lain: Seorang wanita yang disandra yang harus
memilih di antara dua pilihan, yaitu atau menyerahkan semua perhiasannya atau
diperkosa. Pada akhirnya perempuan itu memilih untuk menyerahkan semua
perhiasannya. Dalam pengertian kebebasan psikologis perbuatan perempuan itu adalah
bebas karena perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Dalam pilihannya itu ia menjadi
penentu atas dirinya sendiri. Meskipun perempuan itu bebas secara psikologis, namun
ia tidak bebas secara moral. Alasannya ialah karena perempuan itu memilih secara
262
72 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:116
73 Bdk. K. Bertens, Op.Cit., hal:111
terpaksa.74 Ia dipaksa secara moral.75 Ia berhadapan dengan dua pilihan dilematis yang
sama-sama mempunyai konsekuensi negatif. Perempuan itu menjadi tidak berdaya.76
Jadi dalam pengertian inilah kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis.
Dan sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral. Dan
karena itulah kebebasan moral harus dibedakan dengan kebebasan psikologis dan
kebebasan fisik. Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan atau
pewajiban secara moral.77 Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah larangan
atau berada dibawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral.78
2.2.2. Alasan-alasan Yang Membenarkan Adanya Kebebasan
Kebebasan adalah suatu keadaan atau situasi di mana manusia benar-benar
merasa diri sebagai seorang pribadi yang berdiri sendiri dan tidak diasingkan dari diri
sendiri.79 Kebebasan adalah keadaan dan cara hidup yang stabil, yaitu suatu keadaan
bebas, yang olehnya manusia menjadi tuan atas hidupnya sendiri dan memiliki diri
sendiri. Di dalam keadaan seperti itu diandaikan manusia bisa mengambil dan
mengatur tanggung jawabnya sendiri. Kondisi ideal seperti itu dalam kenyataan
ternyata belum dialami oleh manusia secara penuh. Manusia masih harus berhadapan
dengan pelbagai hal yang tidak sempurna. Manusia masih harus berhadapan dengan
aneka pembatasan-pembatasan yang selalu menghalangi proses pengembangan
74 Bdk. Bernard Berofsky, Freedom From Necessity: The Metaphysical
Basis Of Responsibility (Book Reviews), Routledge and Kegan Paul, New York,
1987, dalam ?The Journal Of Philosophy?, Vol.XC, No.2, Pebruari, 1993, hal:98
75 Bdk. Bernard J.F. Lonergan, Insight, Darton Longman and Todd, London,
1958, hal:627
76 Bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal:28-29
77 Bdk. Contoh dalam: William H. Halverson, A Concise Introduction To
Philosophy, (third edition), New York, 1976, hal:260-261
78 Bdk. DR. Franz magnis-Suseno, SJ, dkk, Etika Sosial: Buku Panduan
Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989, hal:20-21
79 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:93
hidupnya. Manusia masih harus berusaha mendobrak segala macam rintangan yang
membelenggu kebebasan dirinya. Bahwa dalam kenyataan manusia senantiasa harus
berjuang melawan bentuk-bentuk rintangan dan paksaan yang membatasi
kebebasannya, merupakan tanda bahwa kebebasan manusia merupakan sesuatu yang
senantiasa menuntut penyempurnaan.
Manusia hidup dalam ruang dan waktu. Manusia adalah makhluk yang
bertubuh. Maka pada hakekatnya kebebasan itu selalu terbatas.80 Manusia selalu
tergantung pada lingkungan fisik dan sosial. Misalnya orang yang buta pasti tidak bisa
menikmati keindahan seni lukis karena ia tidak mempunyai kemampuan visual.
Seorang tuna rungu tidak bisa menikmati sebuah musik yang paling indah. Kenyataan
adanya keterbatasan-keterbatasan dalam hidup manusia itu pada akhirnya melahirkan
pandangan yang mengatakan bahwa kebebasan hanyalah sebuah slogan-slogan kosong
dan ?wishful thingking? yang tidak mungkin dapat dicapai oleh semua orang. Maka
pertanyaan-pertanyaan kritis juga muncul, yaitu: Apa manusia sungguh bebas?
Benarkah manusia adalah tuan atas tindakannya sendiri? Benarkah manusia
mempunyai kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri? Bukankah dalam
kenyataan kita sering berhadapan dengan pengalaman yang membuat kita berpikir
bahwa kita tidak bebas? Bukankah kita sering berjumpa dengan pembatasanpembatasan
dan rintangan-rintangan yang membuat kita tidak bebas? Kalau demikian
apakah kebebasan itu hanyalah sebuah teori yang sama sekali tidak sesuai dengan
kenyataan hidup manusia? Atau apakah kebebasan itu hanyalah sebuah ideal hidup
manusia yang selama hidupnya harus diperjuangkan namun tak pernah akan tercapai
secara penuh?
Pertanyaan-pertanyaan kritis di atas secara langsung mendorong orang untuk
membuktikan adanya kebebasan dalam hidup manusia. Atas pelbagai cara banyak
pemikir yang mencoba membuktikan kebebasan. Kita sendiri, sebagai makluk yang
bereksistensi sebenarnya juga ditantang untuk meyakinkan diri kita sendiri dan orang
lain, bahwa kita adalah bebas. Bagaimanapun kita menginginkan kepastian. Namun
80 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:95
ternyata tidak mudah memulai usaha untuk membuktikan adanya kebebasan, apalagi
kebebasan tidak mungkin dibuktikan secara matematis. Pembuktian selalu
mengandaikan adanya ?jarak? antara subyek yang meneliti dan obyek yang harus
diteliti. Dalam hal ini kita akan menemukan kesulitan jika kita harus membuktikan
kebebasan dalam diri manusia. Alasannya adalah karena antara kebebasan dan
eksistensi manusia itu terdapat hubungan yang sangat erat, sehingga seakan-akan tidak
mungkin manusia melepaskan diri dari padanya.81 Karena pembuktian secara
matematis tidaklah mungkin, maka satu-satunya pembuktian yang bisa ditempuh
adalah refleksi kritis. Louis Leahy dalam hal ini menempuh tiga jalan, yaitu dengan
argumen persetujuan umum, argumen psikologis, dan argumen etis. Tiga jalan itu
ditempuhnya terutama dalam kaitannya dengan pemikiran kritis para pemikir modern
dan para ahli psikologi yang mengingkari adanya kebebasan dalam diri manusia.
Sistem pemikiran mereka dikenal dengan sebutan ?Determinisme?. Mereka berkata
bahwa pada dasarnya manusia itu tidak bebas. Segala perbuatan manusia dalam
hidupnya telah ditentukan.
2.2.2.1. Argumen Persetujuan Umum
Adanya kebebasan dalam diri manusia dapat dibuktikan berdasarkan argumen
persetujuan umum. Artinya sebagian besar manusia percaya bahwa dirinya dan orang
lain adalah bebas. Dan hal ini bukanlah sesuatu yang sifatnya teoretis, melainkan
praktis, yaitu berdasarkan pengalaman. Setiap hari manusia mengalami bahwa dirinya
adalah bebas, walaupun mungkin hanya dalam batas-batas tertentu, karena manusia
harus berhadapan dengan pelbagai rintangan dan halangan. Kebebasan manusia
terdapat dalam pergumulan terus-menerus dalam kesulitan dan rintangan, baik yang
berasal dari dalam diri manusia sendiri maupun dari luar diri manusia. Perjuangan
dalam pelbagai kesulitan itu menyadarkan manusia akan kebebasannya. Seandainya
manusia tidak dibenturkan pada pelbagai bentuk rintangan dan halangan, ia tidak akan
81 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:100
menyadari kebebasannya. Sebaliknya seandainya manusia menyadari bahwa dirinya
tidak bebas, maka juga tidak mungkin ia akan berusaha berjuang mengatasi kesulitan
dan rintangan yang menghalangi kebebasannya. Apalagi tidak mungkin ia berjuang
mengubah sesuatu dalam diri pribadinya dan dalam lingkungan sekitarnya. Justru
karena benturan-benturan pada yang lain itulah manusia menjadi sadar akan dirinya
sendiri.82 Dengan demikian dimensi keterbatasan juga meniscayakan kesadaran akan
kebebasan. Memang dalam kenyataan hidup sehari-hari ada begitu banyak bentuk
pengalaman, serta ada pelbagai cara untuk menunjukkan bahwa manusia adalah bebas.
Dengan caranya sendiri manusia dapat menunjukkan bahwa tindakannya merupakan
corak asli dari ke-aku-annya dan bahwa pilihannya untuk melakukan suatu tindakan
atau tidak melakukan suatu tindakan benar-benar berasal dari dorongan internal dirinya
dan tidak dapat diterangkan melulu oleh pengaruh eksternal. Misalnya orang yang
mengalami kedamaian dalam batin atau suatu keadaan tenang. Dalam kondisi seperti
itu ada orang yang menemukan bahwa dia berada di atas situasi yang mengelilinginya.
Artinya bahwa dirinya tidak ditaklukkan oleh situasi itu dan bahwa dia mempunyai
kemampuan dalam dirinya untuk memilih dan menempuh jalan yang sesuai dengan apa
yang ia kehendaki. Dengan demikian dalam situasi terbatas pun manusia ternyata
masih mempunyai kemampuan dalam dirinya untuk memberi corak sendiri pada
hidupnya. Dan hal itu membuktikan bahwa manusia pada hakekatnya mempunyai
kesadaran dan kemampuan untuk melihat tanda-tanda kebebasan pada dirinya sendiri
dan kebebasan dalam konteks hidup sesamanya.83
2.2.2.2. Argumen Psikologis
Bahwa dalam kenyataannya manusia adalah bebas juga dapat dibuktikan secara
psikologis. Dalam pengalaman hidup sehari-hari manusia secara langsung atau tak
langsung dapat menyadari hal itu. Secara langsung artinya adalah pada saat manusia
melakukan suatu tindakan dia menyadari bahwa dirinya benar-benar mempunyai
82 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:36
83 Bdk. P. Leenhouwers, Op.Cit., hal:100
kehendak bebas untuk melakukan suatu tindakan. Secara tidak langsung artinya
berdasarkan pelbagai keadaan yang tak dapat dipisahkan dari tindakan manusia dan
yang sungguh-sungguh menuntut adanya kebebasan sebagai syarat untuk
dimengertinya tindakan itu.84
2.2.2.2.1. Kesadaran Langsung Akan Kebebasan
Kesadaran langsung akan kebebasan artinya kesadaran manusia akan dirinya
sebagai makhluk yang bebas yang muncul secara langsung pada saat dia melakukan
suatu tindakan secara bebas. Kesadaran ini terjadi tatkala manusia membuat suatu
pilihan atau ketika memutuskan untuk melakukan tindakan ini atau itu, atau bertindak
dengan cara begini atau begitu, atau bahkan untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal
penting yang harus digaris-bawahi di dalam pengertian ini adalah bahwa pilihan untuk
bertindak atau tidak bertindak itu selalu mengandaikan pemikiran manusia terlebih
dahulu.85 Pada saat itu manusia benar-benar merasakan dan menyadari bahwa dirinya
sama sekali tidak ditekan oleh faktor internal atau eksternal. Artinya bahwa ketika
manusia memilih untuk bertindak atau tidak bertindak dirinya benar-benar tidak
dikuasai oleh dorongan buta dan bahwa dia tidak diperlakukan seperti binatang yang
tidak mampu berpikir atau juga seperti benda-benda lain. Contohnya ada seorang
mahasiswa yang ketika pulang dari kampus melihat dompet tergeletak tanpa
pemiliknya di sebuah jalan kecil. Muncul pemikiran pada waktu itu, yaitu "mengambil
dompet itu". Namun pada saat pikiran itu muncul, di dalam diri mahasiswa itu juga
muncul kesadaran bahwa jika ia mengambil dompet itu dan tidak mengembalikan pada
pemiliknya, maka ia melakukan tindakan yang secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Setelah menimbang-nimbang, mahasiswa itu memutuskan: "Ya, saya akan
mengambil dompet itu", atau sebaliknya: "Saya akan mengembalikan dompet itu
kepada pemiliknya". Pada saat mahasiswa itu memutuskan dengan menjawab ya atau
84 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:121
85 Bdk. DR. P. Hardono Hadi, Jati Diri Manusia: Berdasarkan Filsafat
Organisme Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1996, hal:161-163
tidak, ia sadar secara penuh bahwa dirinya telah mengambil keputusan secara bebas.
Secara moral keputusan itu keluar dari "aku" mahasiswa yang terdalam atau dari
kehendaknya yang bebas. Keputusan itu diambil dalam kondisi tanpa adanya pengaruh
atau paksaan faktor-faktor eksternal. Keputusan itu lahir dengan dibarengi oleh
kesadaran bahwa secara moral saya bebas untuk mengambil keputusan untuk
melakukan tindakan.
2.2.2.2.2. Kesadaran Tak Langsung
Dalam pengalaman hidup sehari-hari yang kita sadari sering kita menemukan
bahwa suatu tindakan yang kita lakukan itu sungguh-sungguh tidak bisa terjadi
seandainya kita tidak bebas. Misalnya kita merundingkan sebuah persoalan. Di dalam
berunding diandaikan ada kebebasan dalam diri setiap orang yang ikut di dalamnya.
Karena jika tidak ada kebebasan, maka pasti juga tidak ada suatu perundingan.
Mungkin yang ada justru pemaksaan kehendak. Dan pengalaman itu mengisyaratkan
bahwa kita bisa berbuat lain. Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan itu tidak
dipaksa untuk melakukan tindakan secara demikian. Contoh lain misalnya kita
mengagumi seorang yang sangat cemerlang dalam prestasi akademis. Atau kita memuji
teman kita yang sukses dalam olah raga tinju. Prestasi-prestasi semacam itu
mengandaikan adanya kemampuan dari individu untuk mengatasi semua kesulitan atau
rintangan-rintangan. Dan kebebasan pada dasarnya merupakan kemampuan untuk
mengatasi rintangan-rintangan itu.
Di mana letak aspek ketidak-langsungan kesadaran akan kebebasan dalam
tindakan-tindakan di atas? Letaknya adalah di dalam sikap ?mengakui? akan adanya
kebebasan. Di dalam sikap memuji atau mengagumi keberhasilan prestasi itu orang
secara tidak langsung mengakui adanya kebebasan. Mengapa? Keberhasilan dalam
prestasi mengandaikan adanya kemampuan mengatasi ?kesulitan-kesulitan?.86 Dan
penguasaan kesulitan-kesulitan itu merupakan bentuk dari kebebasan manusia. Jadi
86 Pengertian kesulitan dalam konteks ini bukanlah dalam arti fisik, tetapi
psikologis. Dengan kata lain kesulitan yang kami maksudkan di sini adalah
kesulitan intern pada subyek
jika orang mengagumi keberhasilan prestasi maka secara tidak langsung orang juga
pasti mengakui adanya kebebasan.
2.2.2.3. Argumen Etik
Hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab moral sangat erat. Maka
tidak mengherankan kalau kedua istilah itu sering digunakan secara bersama-sama.
Seandainya tidak ada kebebasan maka tidak akan ada tanggung jawab moral.87 Di
dalam hidup manusia dikenal prinsip: ?harus melakukan yang baik dan menghindari
yang jahat?. Ungkapan itu merupakan suatu yang asasi dari hati nurani manusia. Ia
adalah dasar dari kewajiban moral dan di dalamnya terkandung arti sangat mendasar
kebebasan berkehendak. Hal itu karena kewajiban moral selalu adalah keharusan untuk
berbuat sesuatu secara bebas. Dan kewajiban moral selalu mengandaikan adanya
kebebasan.88 Nilai-nilai moral merupakan cita-cita setiap manusia, dan jarak yang
memisahkan manusia dari nilai-nilai itu dihayati oleh manusia sebagai ketidaksempurnaan
manusiawi. Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang dilingkupi
oleh ketidak-sempurnaan juga termasuk dalam penghayatan akan kebebasannya.
Dengan kata lain, manusia menghayati kebebasannya dalam situasi-situasi ketidaksempurnaan
moral manusiawi. Dalam sejarah perkembangan manusia hal itu terbukti
bahwa justru karena kesadaran akan kekurangan atau kesalahan dan ketidaksempurnaan
moralnya, manusia mempunyai kesadaran akan kebebasannya, yaitu
bahwa dirinya dapat berbuat lain dari pada apa yang ditentukan dari lingkungan di luar
dirinya.89
2.2.3. Kebebasan Horisontal dan Kebebasan Vertikal
Kebebasan yang ada dalam diri manusia memperlihatkan diri sebagai suatu
87 Bdk. Walter Glannon, Op.Cit., hal:261-263
88 Bdk. Franz Magnis-Suseno, Op.Cit., hal:21
89 Bdk. Kej. 3:1-24.
kemampuan yang dengannya manusia membentuk diri secara moral. Ada bentukbentuk
kebebasan yang pada dasarnya tidak berkaitan dengan bidang-bidang moral,
seperti kebebasan fisik. Namun keputusan-keputusan kebebasan yang sejati biasanya
senantiasa berhubungan dengan tanggung jawab moral.90 Keputusan kebebasan sejati
biasanya tidak tergantung hanya pada soal puas atau tidak puas, atau soal untung atau
tidak untung secara jasmani. Artinya keputusan itu tidak didasarkan pada pemuasan
aspek inferior manusia, atau tuntutan-tuntutan egoisme manusia, atau keuntungankeuntungan
pribadi yang sempit, namun lebih dalam dari itu, keputusan itu di dasarkan
pada pertimbangan pemuasan kodrat spiritual, atau tuntutan cinta kasih dan
kemurahan hati terhadap sesama manusia. Inilah yang oleh Louis Leahy disebut
kebebasan horisontal.91 Jadi dalam pemahaman Louis Leahy kebebasan manusia yang
sejati adalah kebebasan yang senantiasa terarah kepada sesama manusia. Dengan kata
lain kebebasan itu tidak dilakukan ?hanya? demi ?kepentingan-kepentingan? diri
saya secara pribadi malainkan juga demi tuntutan cinta kasih dan kemurahan hati
kepada sesama manusia. Dan inilah yang disebut aspek horisontal kebebasan manusia.
Dasar pemahaman ini adalah aspek moral dari kebebasan manusia. Manusia yang
bebas tidak hanya dutuntut untuk mempertanggung-jawabkan kebebasannya kepada
dirinya sendiri, malainkan juga kepada sesamanya.
Aspek lain dari kebebasan adalah aspek vertikal. Louis Leahy mengartikan
kebebasan vertikal sebagai keputusan yang menyangkut tingkatan di mana orang ingin
membangun seluruh hidupnya; sebagai keputusan yang tidak lagi menyangkut saranasarana,
tetapi tujuan.92 Tujuan manusia adalah kebahagiaan. Di sini muncul persoalan
apa itu isi kebahagiaan manusia? Bisa saja orang mengartikan kebahagiaan itu dari
mengejar keuntungan-keuntungan pribadi. Kebahagiaan juga dapat diartikan sebagai
apa yang memberikan kesenangan terbesar padanya. Misalnya uang banyak atau harta
90 Bdk. Robert Sokolowski, Moral Action: A Phenomenological Study,
Indiana University Press, Blommington, 1985, hal:71
91 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:133-134
92 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:135
berlimpah yang menguntungkan dirinya. Dalam semua kegiatan itu manusia memang
bebas. Namun kebebasan vertikal tidak diartikan secara demikian. Kebebasan vertikal
mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang lebih tinggi dari sekedar kepuasan
egoisme, seksual, finansial, sosial, politik dan sebagainya. Kebebasan vertikal
merupakan kebebasan yang terarah kepada kebahagiaan yang sejati. Dalam pemikiran
Louis Leahy kebahagiaan sejati itu adalah Tuhan. Jadi kebebasan vertikal adalah
kebebasan yang tertuju pada Tuhan. Dasar pemikiran ini adalah karena hakekat
manusia yang terbuka baik secara horisontal maupun secara vertikal.93 Sebagai
makhluk yang mempunyai keterbukaan vertikal secara moral manusia juga harus
mengarahkan kebebasannya secara vertikal.
93 Bdk. Pembahasan kami pada bagian 2.1.2 tentang hekekat manusia sebagai
makhluk yang subsisten dan terbuka
BAB III
DETERMINISME DAN KEBEBASAN MANUSIA
Pengantar
Pada bab II kami sudah menguraikan secara lebih terinci gagasan-gagasan
pokok Louis Leahy tentang kebebasan. Pada dasarnya Louis Leahy ?setuju? bahwa
manusia itu bebas. Mengapa? Karena memang ada bukti-bukti akurat yang ditemukan
dalam kehidupan manusia yang secara hakiki mengatakan bahwa manusia itu bebas.
Pada bab III ini kami akan menguraikan pendapat yang sebaliknya, yaitu pendapat
yang berusaha menyangkal bahwa manusia itu bebas. Pendapat itu muncul dalam aliran
determinisme. Mereka menyangkal kebebasan manusia karena memang ada bukti-bukti
yang menunjukkan bahwa manusia itu tidak bebas.
3.1. Pengertian Determinisme
Kata determinisme berasal dari bahasa latin ?determinare? yang berarti
menentukan batas atau membatasi. Determinisme merupakan tesis filosofis yang
menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk manusia, ditentukan oleh
hukum sebab akibat.94 Tidak ada hal yang terjadi berdasarkan kebebasan berkehendak
atau kebebasan memilih. Juga di dunia ini tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan.95
Artinya sesuatu hal itu bisa terjadi karena telah ditentukan untuk terjadi. Dengan tesis
itu aliran determinisme hendak mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada kebebasan.96
Determinisme menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-
94 Bdk. Encyclopedia International, Vol.5, Grolier Incorporated, New York,
Montreal, 1963, hal:566 dan Antony Harrison-Barbet, Mastering Philosophy,
The macmillan Press Ltd., London, 1990, hal:326
95 Bdk. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol. 4, PT. Cipta Adi Pustaka,
Jakarta, 1989, hal:317 dan William F. Frankena, Ethics, second edition, Prentice-
Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1973, hal:73
96 Bdk. J.L. Mackie, Ethics: Inventing Rights And Wrong, Pinguin Group,
London, 1990, hal:217
faktor yang dapat ditunjukkan secara jelas. Faktor-faktor itu berupa motif yang tidak
disadari, 97 pengaruh masa kecil, pengaruh keturunan, pengaruh kultural, dan lain
sebagainya.98 Dan aliran ini berpendapat bahwa seandainya manusia mengingat dan
mengetahui apa saja yang dapat mempengaruhinya, maka semua tindakan manusia
dapat diperhitungkan sebelumnya. Kalau sekarang manusia belum bisa menentukan
dan belum mengetahui apa yang akan dilakukan dalam menghadapi hal-hal tertentu
yang mungkin akan terjadi, itu karena manusia belum mempunyai pengetahuan yang
cukup mendalam tentang hal-hal yang menentukan tindakan-tindakannya.99 Atau
bahkan karena manusia tidak mau memperhatikan sebab-sebab yang menentukan
setiap tindakan mereka.100
Dalam dunia ilmu pengetahuan kata determinisme itu mendapat pelbagai
bentuk istilah. Istilah-istilah itu muncul karena aneka ragam pandangan dan
pertimbangan dalam pemikiran. Dalam pembahasan ini kita akan mencoba melihat
sekilas bentuk-bentuk istilah itu. Di antaranya adalah determinisme universal,
behaviorisme, fatalisme, dan predestinasi.
3.1.1. Determinisme Universal
Determenisme universal merupakan teori tentang alam semesta. Teori ini
mengatakan bahwa setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta merupakan
konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari sebab-sebab yang mendahului. Sebabsebab
itu adalah hukum alam.101 Determinisme universal juga berpendapat bahwa
97 Bdk. DR. H. Devos, Pengantar Etika, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta,
1987, hal:144
98 Bdk. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.4, Op.Cit., hal:317
99 Bdk. Prof. I.R. Poedjawiyatna, Manusia Dengan Alamnya: Filsafat
Manusia, Bina Aksara, Jakarta, 1981, hal:117
100 Bdk. Robert C. Solomon dan Drs. R. Andre Karo-Karo, Etika: Suatu
Pengantar, Erlangga, Jakarta, 1987, hal:93
101 Bdk. Michael Slote, Selective Necessity And The Free-Will Problem,
dalam ?The Journal Of Philosophy?, Vol.LXXIX, No.1, January, 1982, hal:5
bentuk jagat raya ini merupakan hasil determenasi dari hukum-hukum alam yang ada di
dalamnya.102
3.1.2. Behaviorisme
Behaviorisme berasal dari kata ?behavior? yang berarti tingkah laku.
Behaviorisme merupakan aliran dalam psikologi yang mempelajari perilaku manusia.103
Secara khusus pusat perhatian mereka adalah perilaku manusia yang nampak. Di
dalamnya mereka berusaha mengamati hubungan antara stimulus (rangsangan) dan
respon (tanggapan). John B. Watson104 menyatakan bahwa kepribadian manusia
merupakan hasil pembentukan kebiasaan dan kemampuan, terutama yang ditentukan
oleh orang lain. Pembiasaan ini pada akhirnya menciptakan ?refleks kondisional?,
yaitu suatu pola tingkah laku yang terjadi secara spontan karena pembiasaan terusmenerus.
105
Pavlov, seorang penganut behaviorisme di Rusia, membuktikan bahwa jika
seekor anjing terus-menerus mendengar suatu tanda (bunyi) tertentu, misalnya
lonceng, sebelum diberi makan, maka binatang itu akan mengeluarkan air liur setiap
kali mendengar lonceng.106 Suatu refleks kondisional terjadi. Teori ini juga mengatakan
bahwa keputusan-keputusan dan pilihan manusia merupakan hasil gabungan dari
102 Bdk. William H. Halverson, A Concise Introduction To Philosophy,
third edition, Random Hause, New York, 1976, hal:247
103 Bdk. A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dari A Sampai Z, Kanisius,
Yogyakarta, 1997, hal:32
104 John B. Watson adalah pendiri aliran psikologi behaviorisme. Ia pernah
belajar di Universitas Chicago yang merupakan pusat fungsionalisme. Namun
karena tidak setuju dengan fungsionalisme akhirnya ia pindah ke Universitas
John Hopkins. Karya Watson yang dianggap sebagai titik tolak berdirinya
psikologi behaviorisme adalah ?Psychology as the Behaviorist Views It?. (Bdk.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989,
hal:238-239)
105 Bdk. Dr. A. Supratiknya, Teori-Teori Sifat Dan Behavioristik, Kanisius,
Yogyakarta, 1993, hal:211
106 Bdk. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, Op.Cit., hal:328
rentetan sebab-sebab yang sangat kompleks.107
3.1.3. Fatalisme
Fatalisme berasal dari kata Latin ?fatum? yang berarti nasib atau takdir.108
Fatalisme adalah paham yang menyatakan bahwa semua kejadian alam semesta dan
hidup manusia berada di bawah kuasa penuh suatu prinsip mutlak, yaitu nasib.
Menurut aliran ini manusia tidak memiliki kebebasan karena semua pilihannya sudah
ditentukan oleh nasib.109
3.1.4. Predestinasi.
Predestinasi berasal dari bahasa Latin ?praedestinare? yang berarti meramal
atau menebak. Predestinasi mengajarkan bahwa peristiwa yang sudah terjadi, sedang
terjadi, dan yang akan terjadi telah ditentukan untuk terjadi oleh Allah.110 Dalam
konteks teologi aliran ini mengajarkan bahwa keselamatan atau penghukuman
manusia, mulai dari awal sampai akhir, sudah ditentukan oleh Allah.111 Dengan
gagasannya itu penganut predestinasi menyatakan bahwa Allah memiliki kekuasaan
absolut. Allah menentukan bukan hanya disposisi final manusia tetapi juga seluruh
peristiwa hidup manusia. Dan karena itulah predestinasi juga termasuk salah satu aliran
determinisme.112
107 Bdk. R.A. Hinde, Biological Bases Of Human Social Behaviour,
McGraw-Hill Book Company, New York, 1974, hal:35
108 Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal 228
109 Bdk. Joseph M. de More, Christian Philosophy, Vera-Reyes, Inc.,
Philippines, 1980, hal:188
110 Bdk. Paul Edward (ed), The Encyclopedia Of Philosophy, Vol.3,
Macmillan Pub. Co. Inc and The Free Press, 1967, hal:363
111 Bdk. Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, Gandum Mas, Malang,
1996, hal:32
112 Bdk. Lorens Bagus, Op.Cit., hal:881
3.2. Determinisme Fisik
Determinisme fisik atau juga disebut determinisme naturalis menurut Louis
Leahy adalah determinisme hukum-hukum dari alam semesta sebagai sistem
material.113 Hukum-hukum alam semesta pada dasarnya merupakan rangkaian dari
hukum sebab dan akibat.114 Aliran ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di
dunia ini telah dideterminasikan secara kausal. Atau dengan kata lain segala sesuatu
yang ada di dunia ini harus mempunyai sebab.115 Jika tidak memiliki sebab pasti tidak
ada.116 Karena manusia hidup dalam alam semesta, maka manusia secara pasti tidak
bisa menghindarkan dirinya dari hukum-hukum itu.117 Semua tindakan dan keputusan
yang diambil oleh manusia merupakan bentuk determinasi faktor-faktor fisik yang bisa
dikalkulir lebih dahulu. Dengan demikian pada dasarnya manusia tidak memiliki
kebebasan selama dia hidup dalam kosmos. Manusia di dalam kosmos adalah manusia
yang hidupnya terikat pada determinisme lingkungan fisik.
Dalam pandangan determinisme fisik, manusia dimengerti sebagai sebuah
sistem material yang tidak memiliki kehendak bebas.118 Dengan demikian determinisme
fisik pada dasarnya merupakan bentuk aliran materialisme. Materialisme mereduksi
pribadi manusia menjadi sistem material belaka. Aliran materialisme yang ekstrim
disebut materialisme mekanistik. Aliran ini mengembangkan prinsip bahwa dunia dan
113 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:136
114 Bdk. Grolier Universal Encyclopedia, Vol.3, Grolier Incorporated, New
York, Montreal, 1965, hal:467
115 Bdk. Michael E. Levin, Metaphysics And The Mindbody Problem,
Qlorendom Press, Oxford, 1979, hal:227
116 Bdk. Ed. L. Miller, Questions That Matter: An Invitation To
Philosophy, second edition, McGraw-Hill, Inc., United States Of America, 1987,
hal:175
117 Bdk. Prof. Ir. Poedjawiyatna, Etika: Filsafat Tingkah Laku, Rineka
Cipta, Jakarta, 1996, hal:18
118 Bdk. Prof. Ir. Poedjawiyatna, Op.Cit., hal:18
segala sesuatu yang ada di dalamnya dideterminasikan oleh hukum-hukum yang pasti
dan tak dapat berubah. Dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah sebuah
mesin. Dikatakan sebagai sebuah mesin karena segalanya telah ditentukan secara
demikian oleh sebab-sebab yang mendahuluinya. 119 Begitu juga manusia, sebagai yang
ada di dunia ini, dimengerti sebagai sebuah mesin. 120 Ajaran mekanistik berawal dari
para filsuf atomis (Leukippos, Demokritos dan Epikuros). Dalam perkembangan
kemudian, aliran ini dihidupkan kembali oleh Thomas Hobbes dan dikembangkan oleh
La Mettrie.121
3.2.1. Para Filsof Atomis
Leukippos adalah pendasar aliran atomisme.122 Sedangkan Demokritos dari
Abdera merupakan salah satu filsof atomis yang mengembangkan ajaran Leukippos.
Menurut Leukippos dan Demokritos semua substansi terdiri atas atom-atom.123 Atomatom
itu tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan serta tidak berubah. Aliran
atomisme ini kemudian dikembangkan oleh Epikuros. Epikuros berpendapat bahwa
segala yang ada terdiri atas atom-atom.124 Dia juga mengatakan bahwa segala sesuatu
yang ada ditentukan oleh hukum-hukum fisik. Dan tentang manusia dia mengatakan
bahwa manusia tidak memiliki kebebasan karena semua tindakan manusia
119 Bdk. The Catholic Encyclopedia For school and Home, Vol.3, St.
Joseph?s Seminary and College, Philiphines, 1965, hal:474
120 Bdk. Ed. L. Miller, Op.Cit., hal:177
121 Bdk. Encyclopedia Americana, Vol.12, Americana Corporation, New
York, 1975, hal: 47
122 Bdk. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta,
1997, hal:61
123 Bdk. Dagobert D. Runes and 72 Authorities, Dictionary Of Philosophy:
Ancient-Medieval-Modern, Littlefield, Adams and Co., United States Of
America, 1959, hal:75
124 Bdk. Vernon J. Bourke, History Of Ethic: Grace-Roman To Early
Modern Ethics, Vol.1, A. Division of Doubleday and Company, Inc., Garden City,
Yew York, 1968, hal:56
dideterminasikan oleh gerakan atom-atom.125 Dengan ajarannya itu kaum atomis
mereduksir seluruh realitas menjadi unsur-unsur yang terdiri dari atom-atom.126
Konsep mereka tentang manusia juga didasarkan pada pandangannya tentang
atom-atom. Antara lain Demokritos mengatakan bahwa jiwa manusia terdiri atas atomatom.
127 Konsekuensinya semua pengenalan pada manusia juga berlangsung
berdasarkan atom-atom. Sistem pemikiran para atomis ini disebut materialisme karena
mereka menyamakan realitas dengan unsur-unsur material yang mekanistis.128 Di
Jerman aliran materialisme diajarkan oleh Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan
Haeckel. Menurut mereka alam semesta ini terdiri dari atom-atom yang dikuasai oleh
hukum-hukum fisis-kimiawi. Kemungkinan tertinggi atom-atom itu adalah membentuk
manusia.129 Kesadaran dan jiwa yang ada dalam diri manusia itu pada dasarnya hanya
sebuah sistem kerja dari otak. Karena itu manusia, sebagaimana juga dunia, tetap
merupakan suatu yang bersifat material. Kemungkinan-kemungkinan manusia untuk
bertindak tidak melebihi kemungkinan kombinasi-kombinasi atom. Dan karena itu
tindakan manusia juga tidak pernah melampaui potensi-potensi jasmani.130 Dengan
menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, ditentukan oleh hukum-hukum
material, aliran ini beranggapan bahwa sebenarnya manusia tidak memiliki
kebebasan.131
125 Bdk. P. Huby, Greek Ethic, St. Martin?s Press, Inc., Yew York, 1967,
hal:14
126 Bdk. Eduard Zeller, Outlines Of The History Of Greek Philosophy,
thirteenth edition, Meridian Book, Yew York, 1957, hal:82
127 Bdk. P. Huby, Op.Cit., hal:14
128 Bdk. Dr. K. Bertens, Op.Cit., hal:65
129 Bdk. DR. P.A. van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia,
Gramedia, Jakarta, 1988, Hal:108
130 Bdk. DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:108
131 Bdk. Ed. L. Miller, Op.Cit., hal:153
3.2.2. Thomas Hobbes
Thomas Hobbes dikenal sebagai tokoh materialisme modern. Tentang
materialisme Hobbes mengatakan dua hal. Yang pertama adalah bahwa segala sesuatu
yang ada di dunia ini bersifat material (korporeisme). Yang kedua adalah bahwa segala
kejadian di dunia ini merupakan gerak yang terjadi karena keharusan (mekanisisme).132
Gagasan tentang alam semesta itu juga diterapkan pada manusia. Manusia pada
dasarnya hanyalah sebuah bagian dari sistem material yang ada di dunia.
Konsekuensinya manusia tidak bisa melepaskan diri dari determinisme alamiah.
Kebebasan manusia merupakan ilusi belaka.133 Selain itu, hidup manusia adalah gerak
anggota-anggota tubuhnya yang pada dasarnya disebabkan oleh pengaruh mekanistis
hawa atmosfir.134 Bila realitas manusia ditentukan oleh dunia material dan gerak, maka
tidak ada tempat lagi bagi kebebasan. Di dalam mekanisisme Hobbes tidak ada
kemungkinan lain bagi manusia untuk tidak bereaksi dengan gerak itu.135
3.2.3. La Mettrie
Pandangan La Mettrie tentang materialisme terlihat secara jelas dalam dua
bukunya, yaitu ?L?homme Machine? (manusia mesin) dan ?L?homme Plante?
(manusia tumbuhan).136 Melalui bukunya yang berjudul ?L?homme Machine?
(manusia mesin), La Mettrie hendak menggambarkan hakekat manusia yang seperti
mesin. Mesin merupakan sesuatu yang direncanakan dan distrukturkan untuk
132 Bdk. Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius,
Yogyakarta, 1980, hal:33
133 Bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal:204
134 Bdk. Dr. Harun Hadiwijono, Op.Cit., hal:33
135 Bdk. Silvano Ponticelli, CM, Sejarah Filsafat Renaisan, Sekolah Tinggi
Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1996, hal:66
136 Bdk. DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:108
melakukan suatu pekerjaan.137 Mesin dibuat dengan tujuan tertentu. Mesin mempunyai
pola-pola fungsional yang ditentukan oleh pembuatnya. Mesin sama sekali tidak
mempunyai kebebasan, karena semua yang ada di dalamnya telah disusun dan
dirangkai sedemikian rupa sehingga dapat bekerja sesuai dengan keinginan
pembuatnya. Begitu juga di dalam diri manusia tidak ada kebebasan. Alasannya adalah
karena manusia merupakan bagian dari dunia. Padahal dunia dalam pandangan
materialisme adalah dunia yang dikuasai oleh hukum-hukum material. Sebagai bagian
dari dunia, manusia dikuasai oleh dunia. Maka manusia dikuasai oleh hukum-hukum
material. Dalam hal ini manusia tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk dan
menyerahkan diri pada hukum yang telah menentukannya itu.
3.3. Determinisme Biologis
Determinisme biologis berpretensi bahwa hidup manusia telah diprogram
sebelumnya oleh faktor-faktor hereditas (gen-gen). Gagasan pokok determinisme ini
didasarkan pada pengalaman universal bahwa secara psikologis manusia tergantung
secara mutlak pada keadaan biologis organismenya.138 Dengan kata lain seluruh
kegiatan psikis manusia itu secara mutlak ditentukan oleh keadaan aktual
organismenya.139 Determinisme biologis dengan demikian memandang hidup manusia
sebagai suatu sifat atau menifestasi organisme. Selanjutnya organisme merupakan
suatu sistem kompleks dan terorganisir yang mampu memperbanyak dirinya berdasar
organisme terdahulu.140 Sifat dan perilaku manusia ditentukan oleh unsur DNA.141
137 Bdk. The Catholic Encyclopedia For school and Home, Op.Cit.,
hal:474
138 Bdk. Robert Maynard Hutchins, Charles Darwin: The Origin Of
Species, Encyclopaedia Britannica, Inc., Chicago, 1990, hal:9
139 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:137
140 Bdk. DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Konsep Manusia Dalam Biologi,
dalam ?Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai?, Erlangga,
Jakarta, 1986, hal:19
141 Bdk. Frank N. Magill, Survey Of Social Science: Psychology, Vol.3,
3.3.1. Charles Darwin
Menurut Darwin manusia tunduk pada hukum alam.142 Manusia adalah
organisme yang telah mencapai tingkat perkembangan tertinggi. Dikatakan begitu
karena manusia adalah organisme yang mampu beradaptasi dan mempunyai peradaban
serta kebudayaan. Manusia mempunyai sifat yang dinamis dan sifat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekitarnya. Manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan pasti akan musnah.143 Karena itu perilaku manusia pada dasarnya
merupakan bentuk respons terhadap lingkungan yang mempunyai nilai survival. Dalam
arti ini manusia tunduk pada alam. Konsekuensinya manusia sama sekali tidak
mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri hidupnya. Darwin juga mengatakan
bahwa hidup organisme, termasuk manusia, diatur oleh faktor-faktor genetis (gengen).
144
3.3.2. James Watson
James Watson bersama sejumlah ahli-ahli molekuler mereduksikan pengertian
hidup manusia ke dalam tingkat organisasi makromolekul. Dan dia berpendapat bahwa
organisasi makromolekuler itu merupakan pola dasar bagi semua organisme yang
hidup di dunia. Manusia sebagai salah satu bentuk organisme yang hidup juga terdiri
dari segala macam makromolekuler. Proses hidup pada sel diatur oleh DNA yang
sekaligus menentukan sifat dan perilaku manusia.145
Salem Press, Inc., United States Of America, 1993, hal:1192-1195
142 Bdk. DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Op.Cit., hal:21
143 Bdk. DR. Franz Dahler, Asal Dan Tudjuan Manusia (Teori Evolusi),
Kanisius, Yogyakarta, 1971, Hal:21
144 Bdk. Y. Silabakti, Konsep Tentang Manusia Dalam Biologi, dalam ? Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai?, Erlangga, Jakarta,
1986, hal:19
145 Bdk. DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Op.Cit., hal:23
3.4. Determinisme Sosiologis
Determinisme sosiologis mengatakan bahwa manusia begitu ditentukan oleh
faktor-faktor sosial.146 Manusia adalah hasil hubungan-hubungan sosial. Manusia tidak
memiliki kebebasan karena tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya selalu
ditentukan oleh lingkungan sosialnya.147 Dengan demikian manusia selalu dilihat dalam
kerangka jaringan struktur lingkungan sosialnya.148 Tindakan manusia bukanlah
sesuatu yang spontan, melainkan sebagai hasil perhitungan dengan struktur
sosialnya.149
3.4.1. Auguste Comte
Auguste Comte mengambil alih gagasan Aristoteles yang melihat masyarakat
sebagai suatu ?orde?.150 Orde adalah susunan yang tetap dan tertib. Orde dilatarbelakangi
oleh pemikiran bahwa manusia saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Dengan kata lain orde didasarkan pada sifat sosial manusia. Manusia adalah Zoon
Politicon. Namun demikian menurut Comte, susunan masyarakat yang tetap dan tertib
itu bukanlah masyarakat yang statis. Comte berpendapat bahwa masyarakat bersifat
dinamis.151 Masyarakat bersifat dinamis karena kehidupan manusia berada dibawah
146 Bdk. Kingsley Davis, Human Society, The Macmillan Company, New York,
1969, hal:52
147 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:138
148 Bdk. Peter Worsley, dkk, Introducing Sociology, Penguin Book Ltd,
England, 1970, hal:356
149 Bdk. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., Gambaran Tentang Manusia Dari
Sudut Sosiologi, dalam ?Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga
Rampai?, Erlangga, Jakarta, 1986, hal:64
150 Bdk. K.J. Veeger, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas
Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal:19
151 Bdk. K.J. Veeger, Op.Cit., hal:19
kuasa hukum evolusi.152 Hukum evolusi mengandaikan perubahan yang terus-menerus.
Hukum evolusi tidak bisa dibelokkan oleh manusia. Maka manusia harus ikut saja dan
harus mengadaptasikan diri. Kalau tidak, manusia akan digilas oleh roda sejarah.153
Dalam arti itulah manusia tidak memiliki kebebasan. Dan memang menurut Comte
kebebasan individu justru harus ditolak. Comte melihat manusia sebagai makhluk nonrasional.
Maka kebebasan individu justru akan menimbulkan bahaya bagi keutuhan
masyarakat itu sendiri. Kebebasan manusia dalam masyarakat sama absurd-nya dengan
kebebasan manusia dalam dunia matematika. Dalam dunia matematika manusia tidak
punya pilihan lain kecuali harus menerima bahwa dua ditambah dua adalah empat.154
Demikian juga dalam masyarakat manusia tidak punya pilihan lain kecuali harus
menerima keputusan golongan tertinggi dalam masyarakat.
3.4.2. David Emile Durkheim
Durkheim melihat masyarakat atau realitas sosial sebagai wadah paling
sempurna bagi kehidupan manusia.155 Masyarakat berada di atas segala-galanya.156
Masyarakat sangat menentukan perkembangan individu-individu yang hidup di
152 Hukum evolusi yang dimaksud oleh Comte terjadi melalui tiga tahap,
yaitu tahap teologis, tahap metafisis, dan tahap positif-ilmiah. Di sebut tahap
teologis karena manusia dalam tahap ini masih memerlukan dewa-dewa untuk
menerangkan realitas hidupnya. Dalam tahap metafisis manusia mulai memakai
prinsip-prinsip abstrak-metafisis untuk merenangkan kenyataan. Dan dalam
tahap positif-ilmiah manusia sudah menggunakan metode positif-ilmiah dalam
menerangkan kenyataan. (Bdk. DR. Harry Hamersma, Pintu Masuk Ke Dunia
Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1981, hal:41 dan Doyle Paul Johnson, Teori
Sosiologi: Klasik dan Modern, jilid 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1994, hal:84-86)
153 Bdk. K.J. Veeger, Op.Cit., hal:19
154 Bdk. Dr. Loekman Soetrisno, Konsep Tentang Manusia Dalam
Sosiologi, dalam ?Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai?,
Erlangga, Jakarta, 1986, hal:57-58
155 Bdk. Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim Dan
Pengantar Sosiologi Moralitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal:16
156 Bdk. Johaness Messner, Social Ethics: Natural Law In The Western
World, B. Herder Book, Inc., St. Louis and London, 1965, hal:4
dalamnya. Kehendak, agama, kategori pikir, bahkan realitas jiwa yang paling dalam
pun bersifat sosial.157 Masyarakat atau kenyataan sosial mempunyai kemampuan
menguasai segala kehidupan, termasuk individu-individu, dengan tekanan eksternal.
Hal itu terjadi ketika norma-norma dan nilai-nilai sosial diterapkan, atau bahkan
dipaksakan pada individu-individu.158 Dalam arti inilah manusia tidak memiliki
kebebasan.
3.4.3. Talcolt Parsons
Sama dengan Comte, Parsons juga melihat manusia sebagai makhluk nonrasional.
Menurut Parsons manusia memiliki kebebasan untuk memperjuangkan apa
yang mereka inginkan, akan tetapi manusia tidak mempunyai kebebasan memperoleh
apa yang mereka perjuangkan. Manusia memiliki kebebasan untuk memperjuangkan
suatu perubahan, akan tetapi ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan jenis
perubahan yang mereka inginkan.159 Jadi jelas sekali bahwa dalam kaca mata Parsons,
manusia tidak memiliki kebebasan ?menentukan? dirinya sendiri. Kebebasan manusia
adalah kebebasan yang ?ditentukan? oleh golongan tertinggi dalam masyarakat.160
Parsons berpikir seperti itu karena dia melihat bahwa manusia bersifat non-rasional.
Manusia dapat diibaratkan dengan benda yang kosong. Dan adalah tugas masyarakat
untuk mengisinya dengan norma-norma dan nilai-nilai. Norma-norma dan nilai-nilai itu
akan membuat hidup manusia menjadi lebih manusiawi. Dengan demikian hidup
manusia adalah hidup yang ditentukan oleh norma dan nilai yang ditentukan oleh
157 Bdk. Djuretna A. Imam Muhni, Moral Dan Religi: Menurut Emile
Durkheim dan Henri Bergson, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hal:28
158 Bdk. DR. W.A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, PT. Eresco,
Bandung, 1991, hal:36
159 Bdk. Dr. Loekman Soetrisno, Op.Cit., hal. 58
160 Bdk. Ian Craib, Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai
Habermas, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hal:61
masyarakat.161
3.5. Determinisme Teologis
Determinisme teologis menyatakan bahwa hidup manusia telah ditentukan oleh
Tuhan.162 Allah adalah Kebaikan sempurna. Ia Maha-mengetahui dan Maha-kuasa. Ia
berada di atas segala sesuatu dan menguasai segala sesuatu. Berdasarkan keyakinan ini
kaum determinis teologis menyusun dua tesis. Tesis pertama adalah bahwa Tuhan telah
meramalkan semua yang akan dilakukan oleh manusia. Apa yang telah diketahui oleh
Tuhan sebelumnya secara mutlak harus direalisasikan. Jadi semua yang akan kita
lakukan telah ditentukan dan diputuskan terlebih dahulu oleh Tuhan. Karena itu
manusia tidak memiliki kebebasan. Manusia tidak mempunyai kemungkinan lain selain
tunduk pada kehendak Allah.163 Tesis kedua yang dijadikan dasar determinisme
teologis adalah bahwa seandainya manusia bebas maka ia pasti tidak tergantung pada
Tuhan. Seandainya manusia bebas maka ia pasti tidak membutuhkan Tuhan. Karena itu
Tuhan tidak perlu ada.164 Kenyataannya manusia tergantung pada Tuhan. Maka
manusia tidak bebas.
3.5.1. Spinoza
Spinoza mengatakan bahwa ?Yang Tak Berhingga? (Tuhan dan Alam)
merupakan yang satu dan merupakan segala-galanya. Sedangkan yang disebut ?
berhingga? (gejala-gejala dan benda-benda di dunia) itu hanya bisa berada dan hanya
161 Bdk. Prof. DR. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Ratih Lestarini, S.H.,
Fungsionalisme Dan Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar
Grafika, Jakarta, 1988, hal:38
162 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:139-140
163 Bdk. St. Pinanggiyo, Tanggung Jawab Dan Kebebasan Manusia
Dalam Perspektif Islam-Kristen, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya
Sasana, Malang, 1994, hal:26
164 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:139-140
bisa dipikirkan berkat keberadaan Yang Tak Berhingga.165 Spinoza kemudian membuat
pembedaan di dalam Alam dan Allah. Dia menggunakan istilah ?Natura naturans?
dan ?Natura naturata?. Natura naturans adalah Allah ?atau?166 Alam sebagai asalusul
atau pencipta yang asali. Sedangkan natura naturata adalah Allah atau Alam yang
kelihatan.167 Dalam konteks pemahaman itu, manusia dimengerti sebagai cara berada
?dari? Yang Tak Berhingga. Dan tugas manusia adalah berusaha melihat dengan mata
rasionya bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan manifestasi dari Tuhan. Dengan
demikian manusia tidak mempunyai kemungkinan lain untuk bertindak selain ?harus?
melihat semua pengalaman dan segala sesuatu yang ada di dunia ini sebagai substansi
yang satu, yaitu Tuhan.
3.5.2. Leibniz
Menurut Leibniz dunia ini terdiri dari banyak substansi. Substansi-substansi itu
disebut ?monade?.168 Monade-monade itu tidak bersifat jasmani dan tidak dapat
dibagi-bagi. Monade bersifat tertutup. Suatu monade tidak dapat mempengaruhi
monade lain. Namun demikian suatu monade dapat mengenal realitas di luar dirinya,
karena setiap monade mencerminkan semua monade yang lain.169 Monade menurut
kodratnya bersifat aktif. Monade memiliki dua aktivitas, yaitu mengenal dan
menghendaki. 170 Ajaran Leibniz tentang monade itu juga diterapkan pada manusia.
165 Bdk. DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:75-76
166 Kami menggunakan kata sambung ?atau? karena Spinoza rupanya
menyebut sejajar antara Allah dan Alam. Keduanya disebut dengan sebutan
yang sama, yaitu ?Yang Tak Berhingga?.
167 Bdk. DR. P.A. van der Weij, Op.Cit., hal:77
168 Bdk. Frederick Mayer, A History Of Modern Philosophy, American
Book Company, United States Of America, 1951, hal:159
169 Bdk. DR. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,
1995, hal:48
170 Bdk. DR. K. Bertens, Op.Cit., hal:49
Menurutnya jiwa manusia merupakan suatu monade, sedangkan tubuh manusia terdiri
atas banyak monade. Dalam hal ini jiwa dapat menjalin hubungan dengan tubuh karena
ada prinsip harmoni yang mengaturnya. Prinsip itu adalah Allah. Allah adalah ?preestablished
harmony? antara monade-monade.171 Leibniz menjelaskan konsep preestablished
harmony ini dengan dua arloji yang menunjukkan waktu yang persis sama.
Bagimana hal itu bisa terjadi? Bukan karena yang satu mempengaruhi yang lain, tetapi
karena ada seorang tukang yang telah mencocokkan dua arloji itu. Demikian juga
dengan semua hal yang ada di dunia ini. Pada saat penciptaan semua monade diatur
sedemikian rupa oleh Allah sehingga terdapat keselarasan antara semua monade.172
Dengan ajaran tentang monade, Leibniz berkeyakinan bahwa semua peristiwa
di dunia ini telah diatur oleh Allah. Karena manusia termasuk bagian dari dunia, maka
seluruh hidup manusia pada hakekatnya sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah pada
saat penciptaan. Dalam arti ini manusia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan
sendiri hidupnya.
3.5.2. Agustinus
Dalam pemikiran Agustinus, Allah adalah kebaikan tertinggi. Tak ada yang baik
kecuali karena kaitannya dengan Allah. Apapun yang baik mendapat kebaikannya dari
Allah. Apapun yang bernilai, bernilai karena berpartisipasi dalam Allah. Allah adalah
prinsip terakhir segala kebaikan moral.173 Dan dalam kaitannya dengan manusia,
Agustinus mengatakan bahwa hakekat manusia senantiasa ?sudah? terarah kepada
Allah. Manusia adalah ciptaan Allah.174 Dan Allah adalah rahasia hakekat manusia.
Karena itu manusia secara batin senantiasa terikat pada Allah. Allah adalah sumber
171 Bdk. Frederick Mayer, Op.Cit., hal:159
172 Bdk. DR. K. Bertens, Op.Cit., hal:49
173 Bdk. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani
Sampai Abad Ke-19, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:67
174 Bdk. FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed), Para Filsuf Penentu
Gerak Jaman, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal:34
eksistensi manusia.
Agustinus sebenarnya menekankan dimensi kehendak dalam diri manusia.175
Artinya bahwa Agustinus juga mengakui adanya kebebasan manusia untuk memilih
antara yang baik dan yang buruk. Namun pengakuan dimensi kebebasan itu dalam arti
tertentu tidak ada artinya. Mengapa? Karena, seperti Louis Leahy sendiri katakan,
manusia senantiasa mengarahkan semua tindakannya kepada kebaikan. Walaupun
manusia itu secara obyektif (dilihat dari sudut pandanag moral) melakukan kejahatan,
namun paling tidak kejahatannya itu dalam arti tertentu (secara subyektif) merupakan
suatu kebaikan. Dalam pengertian ini secara hakiki manusia telah dideterminasikan
untuk senantiasa mengarahkan tindakan-tindakannya kepada kebaikan. Dan Kebaikan
tertinggi dalam konsep Agustinus adalah Tuhan.
3.6. Determinisme Ketidaksadaran
Determinisme ketidaksadaran berpendapat bahwa tindakan-tindakan manusia
merupakan akibat dari kecenderungan-kecenderungan instingtif yang tidak disadari.176
Motif-motif yang sadar merupakan suatu penipuan. Motif-motif sadar itu sebenarnya
hanyalah bentuk semu kebebasan manusia.177 Manusia dikuasai oleh struktur-struktur
ketidaksadaran,178 tetapi manusia sendiri tidak menguasai struktur ini.179
3.6.1. Sigmund Freud
175 Bdk. Robert Paul Mohan, Philosophy Of History: An Introduction, The
Bruce Publishing Company, United States Of America, 1970, hal:35-36
176 Bdk. Ronie, Manusia Dan Tujuan Hidup: Menurut Teologi
Pembebasan, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1993,
hal:67
177 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:141
178 Bdk. K. Bertens, Sigmund Freud: Memperkenalkan Psikoanalisa,
Gramedia, Jakarta, 1984, hal:xii
179 Bdk. K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Gramedia, Jakarta, 1985,
hal:402
Dengan menemukan aspek ketidaksadaran dalam diri manusia, Freud membuka
dimensi baru pemahaman tentang manusia.180 Freud percaya bahwa alam semesta
dikuasai oleh hukum-hukum alam yang sifatnya Universal. Konsekuensinya manusia,
sebagai bagian dari alam, juga dikuasi dan harus tunduk pada hukum-hukum itu.181 Di
dalam alam semesta ini tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara spontan dan
kebetulan. Menurut Freud kebebasan manusia pada dasarnya hanyalah sebuah ilusi.
Mengapa? Karena keterikatakan pada hukum-hukum alam semesta itu mencakup
segala-galanya. Dengan kata lain segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini
telah dideterminir oleh hukum-hukum alam. Semua peristiwa dan segala sesuatu yang
ada di dunia ini mempunyai penyebab,182 walaupun sifatnya tak sadar.183
Pandangan bahwa segala sesuatu di dunia ini mempunyai penyebab dibuktikan
oleh Freud dengan teorinya tentang hidup psikis. Menurut Freud psikis manusia terdiri
atas tiga instansi, yaitu Id, Ego, dan Superego.184 Freud juga melihat manusia sebagai
sistem energi yang kompleks. Dan Freud menamakan energi dalam hidup psikis
manusia itu dengan ?energi psike?.185 Energi psikis ini dapat berpindah dari satu
tempat ke tempat lain, tetapi tidak dapat hilang. Energi psikis ini diarahkan pada
tujuan-tujuan tertentu dan sering kali tanpa disadari. Jembatan antara energi psikis dan
180 Bdk. John A. Hutchison, Living Options In World Philosophy, The
University Press Of Hawaii And The Research Corporation Of The University Of
Hawaii, Honolulu, 1977, hal:95
181 Bdk. K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 1987,
hal:46
182 Bdk. William Hasker, Metaphysics: Constructing A World View,
Downers Grove, Illionis: Intervarsity Press, 1983, hal:32
183 Bdk. K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Op. Cit., hal:46
184 Bdk. John W.M. Verhaar, SJ, Identitas Manusia: Menurut Psikologi
Dan Psikiatri Abad Ke-20, Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta),
1989, hal:18
185 Bdk. Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Theories Of Personality, third
edition, John Wiley & Sons, Inc., Canada, 1978, hal:36
kepribadian adalah Id dengan insting-instingnya. Insting merupakan sumber
perangsang bagi tindakan manusia.186 Dalam konteks ini Freud mengatakan bahwa
tindakan manusia juga dapat dirangsang oleh pangaruh dari luar dirinya. Namun
pengaruh atau perangsang dari luar itu pada umumnya sangat sedikit pengaruhnya bila
dibanding pengaruh dari dalam dirinya. Orang dapat menghindarkan pengaruh dari
luar, akan tetapi ia tidak bisa menghindarkan diri dari perangsang dari dalam (instinginsting).
187 Jadi dalam pemikiran Freud dorongan-dorongan dari insting-insting ini
diartikan sebagai penyebab semua perbuatan manusia.188 Freud memberikan contoh
lain yang memperlihatkan bahwa perbuatan manusia selalu mempunyai penyebab
berdasarkan kejadian-kejadian remeh sehari-hari. Misalnya orang melupakan nama
atau peristiwa, orang yang salah ucap, orang yang salah tulis dan lain sebagainya.
Menurut Freud kejadian-kejadian remeh itu ternyata bukan merupakan kejadian yang
terjadi secara kebetulan. Sebaliknya semua kejadian itu mempunyai alasan, walaupun
alasan itu tidak disadari.189 Mengapa orang lupa mengirim surat? Hal itu tidak terjadi
secara kebetulan, akan tetapi karena isi surat itu tidak sesuai dengan hatinya. Dan
Karena itu ia tidak ingin mengirimkannya.
Berdasarkan pemikiran di atas akhirnya Freud mengambil kesimpulan bahwa
hidup psikis manusia terbukti dideterminir seluruhnya. Hal itu terlihat bahwa semua
perbuatan manusia tidak terjadi secara kebetulan, melainkan selalu mempunyai
alasan,190 walaupun alasan itu tidak disadari.
186 DR. Rudolf Metz, A Hundred Years Of British Philosophy,The
Macmillan Company, New York, 1950, hal:769
187 Bdk. Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Rajawali Pers, Jakarta,
1990, hal:150
188 Bdk. Robert Maynard Hutchins, (ed), The Major Works Of Sigmund
Freud: Great Book Of The Western World, Encyclopaedia Britannica, Inc.,
Chicago, 1990, hal:428
189 Bdk. K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Op. Cit., hal:48
190 Bdk. John Hospers, An Introduction To Philosophical Analysis,
second edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1967, hal:317
3.7. Kesimpulan
Aliran determinisme, apapun bentuk dan istilahnya, pada dasarnya berpijak
pada garis pemikiran yang sama, yaitu bahwa segala sesuatu di dunia ini ditentukan
oleh hukum sebab akibat.191 Konsekuensi logis dari pemikiran itu adalah bahwa di
dunia ini tidak ada kebebasan. Perbedaan di antara pelbagai bentuk aliran determinisme
itu terletak pada aspek sudut pandang dan tekanan yang berbeda dalam melihat ?jenis
? faktor-faktor determinan. Misalnya determinisme biologis mengatakan bahwa
manusia tidak memiliki kebebasan karena hidup manusia tergantung pada faktor-faktor
genetis. Sedangkan determinisme teologis berpendapat bahwa manusia tidak bebas
karena seluruh hidupnya telah ditentukan oleh Tuhan dan seluruh hidup manusia
tergantung pada Tuhan, dan lain sebagainya.
191 Bdk. Antony Harrison-Barbet, Op.Cit., hal:326
BAB IV
SOLUSI LOUIS LEAHY ATAS PAHAM DETERMINISME
Pengantar
Dalam bab II kami telah menguraikan pandangan Louis Leahy tentang
kebebasan manusia. Gagasan dasar yang muncul dalam pemikiran Louis Leahy tentang
kebebasan adalah ?pengakuan? bahwa manusia itu bebas. Kemudian dalam bab III
kami mencoba mengemukakan pemikiran aliran determinisme yang menyangkal
adanya kebebasan. Kedua bab tersebut bertujuan memperlihatkan adanya dua paham
kebebasan yang saling bertolak-belakang. Berdasarkan realitas itu, pada bab IV ini,
kami mencoba menggali sikap-sikap Louis Leahy atas paham determinisme yang
menyangkal ide kebebasan manusia.
4.1. Louis Leahy Dan Determinisme Universal
Determinisme naturalis berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan.
Dasar pendapat itu adalah realitas bahwa manusia hidup di dalam dunia yang dikuasai
oleh hukum-hukum alam semesta. Hukum-hukum itu merupakan rangkaian hukum
sebab akibat. Hukum sebab akibat berarti bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
terjadi secara kausal.192 Atau dapat juga dikatakan bahwa segala sesuatu yang ada di
dunia ini harus mempunyai sebab. Konsekuensinya adalah segala sesuatu itu tidak ada
seandainya tidak ada sebab-sebab yang mendahuluinya.193 Manusia merupakan bagian
dari dunia. Karena itu manusia juga tidak bisa menghindarkan dirinya dari hukum
sebab akibat itu. Dalam arti inilah determinisme naturalis mengartikan bahwa manusia
tidak memiliki kebebasan. Jadi gagasan dasar yang diterapkan oleh aliran determinisme
naturalis untuk menyangkal kebebasan manusia bukanlah apakah sebab-sebab fisik
192 Bdk.Harold H. Titus, Living Issues In Philosophy: An Introductory
Textbook, third edition, American Book Company, New York, 1959, hal:131
193 Bdk. Y.I. Iswarahadi, Kebebasan Sebagai Segi Filosofis Dalam
Pendidikan, dalam ?Basis?, Juni, XXXVII, no.6, 1988, hal:202
atau hukum sebab akibat itu ada atau tidak. Dalam pandangan para determinis
naturalis persoalan-persoalan itu justru tidak mendapat tempat yang cukup berarti.
Mengapa? Karena dalam pandangan mereka sudah diandaikan bahwa hukum sebab
akibat itu sudah ada. Dan yang lebih ekstim lagi hukum sebab akibat itu telah
menguasai manusia sehingga manusia sama sekali tidak bebas untuk menentukan
dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia, karena hukum sebab akibat itu, tidak lagi
mempunyai kemampuan otodeterminasi.194 Bukti bahwa di dunia ini ada hukum sebab
akibat adalah adanya peristiwa-peristiwa. Aliran determinisme naturalis berpendapat
demikian karena menurut mereka tidak ada sesuatupun di dunia ini yang terjadi tanpa
sebab-sebab yang mendahuluinya.195
Titik pangkal pendapat aliran determinisme untuk menyangkal kebebasan
manusia adalah realitas bahwa manusia tidak bisa ?luput? dari hukum sebab akibat
itu. Postulat dasar yang mereka kedepankan adalah ?jika manusia memang bebas,
dalam arti otodeterminasi atau menentukan dirinya sendiri, maka ia luput dari
determinasi dunia fisik.196 Padahal manusia tidak bisa lepas dari determinasi dunia fisik
itu, maka manusia tidak bebas.?Jadi dalam pandangan determinisme naturalis manusia
akan dikatakan bebas jika ia, di tengah dunia yang dikuasai oleh hukum sebab akibat
ini, dapat melepaskan diri dari hukum sebab akibat itu. Artinya manusia itu bebas, jika
ia mempunyai kemampuan otodeterminasi di tengah-tengah hukum sebab akibat yang
mengitarinya. Atau dapat juga dikatakan bahwa manusia dikatakan bebas jika ia
mampu menguasai hukum-hukum alam semesta ini. Manusia itu bebas jika ia tidak
terseret oleh hukum alam semesta ini. Bagaimanakah sikap Louis Leahy terhadap
pemikiran determinisme ini?
4.1.1. Kebebasan Terjadi Pada Tingkat Alasan-alasan Dan Bukan Pada Tingkat
194 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal.124
195 Bdk.Harold H. Titus, Op.Cit., hal:131
196 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal.124
Sebab Akibat
Louis Leahy menolak kebenaran pandangan determinisme universal.
Alasannya adalah karena determinisme universal menempatkan masalah kebebasan
manusia secara salah. Di mana letak kesalahan itu? Aliran determinisme universal
mengartikan kebebasan manusia sebagai yang menuntut pelanggaran terhadap hukumhukum
alam semesta. Padahal kebebasan manusia pada dasarnya tidak terletak dalam
dimensi sebab-sebab fisik, melainkan terletak dalam tingkat motif-motif tindakan
manusia.197 Dan hal itu terjadi tanpa harus melanggar prinsip kausalitas universal.
Dengan berpendapatnya itu Leahy hendak mengatakan bahwa dia tetap mengakui
adanya sebab-sebab fisik yang mengitari tindakan-tindakan manusia. Atau dengan kata
lain dia tetap mengakui adanya hukum sebab akibat. Jadi yang ditolak oleh Louis
Leahy bukanlah adanya hukum sebab akibat itu sendiri, melainkan Louis Leahy
menolak pendapat bahwa adanya hukum sebab akibat itu merupakan bukti bahwa
manusia tidak memiliki kebebasan.
4.1.2. Manusia Mempunyai Kemampuan Mengorganisir Hukum Sebab Akibat
Titik tolak argumen penyangkalan Louis Leahy terhadap determinisme
universal di atas adalah pengalaman bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
mengorganisir dan menguasai sebab-sebab. Karena kemampuan itulah, maka sebabsebab
itu juga akan menghasilkan akibat-akibat sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh manusia. Organisasi sebab-sebab itu sendiri juga sangat tergantung pada tujuantujuan
yang ingin kita capai dan sarana-sarana yang akan kita gunakan. Contohnya kita
?menyodok? sebuah bola bilyar, dan bola itu menyentuh bola yang lain, yang
seterusnya menyentuh bola-bola yang lain lagi. Di sini kita dapat menerima bahwa
sentuhan-sentuhan bola bilyar yang kita sodok itu merupakan peragaan hukum sebab
akibat. Dalam hal ini berarti hukum sebab akibat itu menguasai bola-bola bilyar yang
kita sodok. Akan tetapi, secara bebas, kitalah yang mengorientasikan atau mengatur
bola-bola bilyar itu ke arah hasil semacam ini atau itu. Dengan kata lain kitalah yang
197 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:136
menentukan terjadinya hukum sebab itu menurut motif-motif atau alasan-alasan dan
tujuan-tujuan yang ingin kita capai.198 Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam lingkup
hukum sebab akibat, manusia tetap mempunyai kebebasan.
4.2. Louis Leahy Dan Determinisme Biologis
Menurut determinisme biologis hidup manusia telah diprogram sebelumnya
oleh faktor-faktor hereditas.199 Karena itu pada dasarnya manusia tidak memiliki
kebebasan. Dasar pemahaman ini adalah pengalaman bahwa secara psikologis manusia
tergantung secara mutlak pada keadaan biologis organismenya.
4.2.1. Determinisme Biologis Hanya Merupakan Hipotesa Yang Tidak
Diverifikasikan Kebenarannya
Louis Leahy mengakui argumen yang mengatakan bahwa ativitas roh dan
kehendak manusia tergantung pada organisme.200 Akan tetapi Leahy menolak bahwa
sifat tergantung itu merupakan sesuatu yang absolut. Mengapa? Karena dalam
aktivitas kehidupannya, manusia ternyata mempunyai kemampuan untuk menahan diri,
untuk menyesuaikan diri,201 untuk mengontrol proses-proses organik, dan lain
sebagainya. Manusia adalah makhluk yang mempunyai peradaban dan kebudayaan.202
Berkat kedua unsur ini manusia telah mampu melepaskan diri dari seleksi alamiah.
Atau lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa berkat kedua unsur tersebut manusia
198 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy S.J., Manusia Di Hadapan Allah 1: Masalah
Ketuhanan Dewasa Ini, Yayasan Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia
(Jakarta), 1984, hal:133-134
199 Bdk. Koentjaraningkrat, Sejarah Teori Antropologi, jilid I, Penerbit
Universitas Indonesia, tanpa kota penerbit, 1982, hal:26
200 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:137
201 Bdk. Koentjaraningkrat, pengantar Antropologi, Universitas Indonesia,
Jakarta, 1974, hal:55
202 Bdk. Clifford Greertz, Tafsir Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1992,
hal:65
mempunyai kemampuan untuk menjadi makhluk yang dapat berdiri sendiri.203 Karena
itu Leahy berpendapat bahwa pada dasarnya determinisme biologis hanyalah
merupakan suatu hipotesa yang belum terbukti kebenarannya, bahkan dapat dikatakan
bahwa determinisme biologis bertentangan dengan pengalaman manusia sendiri.
Sebagai makhluk yang berdiri sendiri atau sebagai makhluk yang mempunyai
kemampuan melepaskan diri dari seleksi alamiah, manusia mempunyai kebebasan
untuk menentukan dirinya sendiri.
4.2.2. Evolusi Mengandaikan Kesadaran
Para ahli biologi dalam memandang hakekat manusia cenderung menitikberatkan
pendapatnya pada segi jasmani manusia dan pada segi perkembangannya.
Misalnya Darwin sebagai salah seorang tokoh dalam disiplin ilmu biologi ini menitikberatkan
pendapatnya tentang manusia pada segi perkembangan manusia secara
evolutif. Perkembangan secara evolutif itu menyangkut tidak hanya bentuk dan
kemampuan jasmani, melainkan juga menyangkut struktur dan ragam bagian dari
jasmani manusia.204 Dengan pola pemikiran semacam itu akhirnya para ahli biologi
memandang hakekat manusia sebagai mahkluk jasmani.205
Makhluk jasmani itu dalam pemikiran Darwin dimengerti hanya sebagai
makhluk yang tunduk pada hukum alam semesta. Pemikiran ini didasarkan pada
realitas bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta. Dan alam semesta
merupakan lingkungan sebagai keseluruhan di mana manusia hidup. Alam semesta itu
sendiri bukanlah sesuatu yang sudah jadi atau bukanlah sesuatu yang sempurna. Alam
semesta merupakan suatu realitas yang bersifat dinamis, suatu proses yang terus
203 Bdk. DR. Soelaksono Sastrodihardjo, Konsep Tentang Manusia Dalam
Biologi, dalam ?Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai?
Erlangga, Jakarta, 1986, hal:26
204 Bdk.C.A. van Peursen, Orientasi Di Alam Filsafat, PT Gramedia, Jakarta,
1980, hal:212
205 Bdk. Prof. Dr. Kasmiran Wuryo Sanadji, MA, Filsafat Manusia, Erlangga,
Jakarta, 1985, hal:30
menjadi. Alam semesta ini merupakan produk dari rangkaian peristiwa dan pengalaman
hidup manusia. Dalam hubungan dengan ini manusia dilihat sebagai manusia secara
utuh jika ia menyatukan diri dengan lingkungannya.206 Di sini ada semacam ?
keharusan? bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.207
Mengapa? Karena manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya pasti akan musnah. Sebaliknya manusia yang mempunyai kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya akan bertahan hidup.208 Karena itulah Darwin
mengambil kesimpulan bahwa perilaku manusia pada dasarnya merupakan bentuk
respon terhadap lingkungan yang mempunyai nilai survival. Dalam arti ini perilaku
manusia bukanlah bentuk ungkapan kebebasan.209
Louis Leahy menolak pandangan tersebut. Louis Leahy memang mengakui ide
evolusi dan adaptasi dari manusia. Hal itu tercermin dalam pandangannya tentang
manusia. Manusia menurut Louis Leahy adalah makhluk yang menyempurnakan diri.210
Aktivitas menyempurnakan diri mengandaikan adanya perubahan atau evolusi. Dalam
proses ini unsur yang ada dalam diri manusia, sekaligus sebagai unsur yang
membedakannya dengan benda mati dan binatang adalah kesadaran.211 Manusia adalah
makhluk yang sadar. Manusia mempunyai kemampuan untuk memikirkan masa
lampau, masa depan, mengambil keputusan, dan merencanakan. Manusia adalah
pendorong aktivitas evolusi itu sendiri.212 Manusia dengan demikian juga mempunyai
206 Bdk. Hans J. Daeng, Adaptasi Dan Integrasi Nilai Budaya Tradisional-
Modern, dalam ?Basis?, Maret, XLII, no.3, 1993, hal:90
207 Bdk.Harold H. Titus, Op.Cit., hal:131
208 Bdk. Koentjaraningkrat, Op.Cit., hal:23
209 Bdk. Pembahasan Tentang ?Determinisme Biologis?, dalam 3.3.1
210 Bdk. Pembahasan tentang ?Manusia Sebagai Pribadi Harus
Mengembangkan Dirinya?, dalam 2.1.3
211 Bdk. Joseph v. Kopp, Teilhard de Chardin: Sintese Baru Tentang
Evolusi, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1971, hal:43
212 Bdk. DR. Franz Dahler, Op.Cit., hal:73-74
kemampuan untuk menciptakan perilaku yang baru dalam perjalanan hidupnya.213
Karena itulah harus dikatakan bahwa evolusi bukanlah merupakan sesuatu yang
terjadi dan berkembang secara kebetulan,214 melainkan evolusi merupakan sesuatu
yang terjadi secara terarah berdasarkan kesadaran batin dan kebebasan manusia untuk
menentukan dirinya.215 Jadi di dalam proses evolusi hakekat manusia terutama bukan
dibentuk dan ditentukan oleh lingkungannya, melainkan oleh bagaimana manusia itu
menciptakan dan menyempurnakan dirinya. Dalam hal ini lingkungan mempunyai
pengaruh yang besar terhadap proses pembentukan pribadi manusia. Meskipun
demikian manusia tetap merupakan subyek utama yang berperanan besar dalam
menentukan hidupnya.216 Inilah wujud kebebasan manusia itu.
4.3. Louis Leahy Dan Determinisme Sosiologis
Determinisme sosiologis melihat manusia sebagai hasil hubungan-hubungan
sosial. Menurut pandangan determinisme sosiologis manusia tidak memiliki kebebasan
karena tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya selalu ditentukan oleh
lingkungan sosialnya.217 Atau dapat juga dikatakan bahwa tindakan dan keputusan
yang dibuat oleh manusia bukanlah sesuatu yang spontan atau yang lahir dari
kebebasan menentukan dirinya sendiri, melainkan selalu sebagai hasil perhitungan
dengan struktur sosial.
4.3.1. Determinisme Sosiologis Tidak Absolut
213 Bdk. Karl Mannheim, Sosiologi Sistematis: Suatu Pengantar Studi
Tentang Masyarakat, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal:10
214 Bdk. Louis Leahy, Sains Dan Agama Dalam Konteks Zaman Ini,
Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:36
215 Bdk. DR. Franz Dahler, Op.Cit., hal:73-74
216 Bdk. Hans J. Daeng, Op.Cit., hal:89
217 Louis Leahy, Esai Filsafat Untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-
Materi Berdasarkan Data Empiris Baru, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991,
hal:4
Terhadap pendapat ini Leahy mengatakan bahwa determinisme sosiologis
bukanlah sesuatu yang absolut. Itu berarti bahwa dalam arti tertentu argumen
determinisme sosiologis mengandung kebenaran. Namun dalam arti lain pendapat itu
bukanlah sesuatu yang sama sekali benar. Dengan kata lain pendapat determinisme
sosiologis juga mengandung kelemahan-kelemahan. Di mana letak kelemahan
argumennya? Dan di mana letak kebenaran argumennya?
Kelemahan argumen aliran determinisme sosiologis terutama terletak dalam
sikapnya yang memutlakkan peran sosial dalam menentukan hidup manusia.218
Determinisme sosiologis hanya melihat realitas kehidupan bahwa masyarakat ?
menciptakan? manusia. Sebaliknya determinisme sosiologis belum melihat bahwa
manusia juga ?menciptakan? masyarakat.219 Dengan demikian manusia dalam konsep
determinisme sosiologi belum dilihat sebagai suatu makhluk yang utuh dan mandiri.
Manusia sebagai makhluk yang utuh dan mandiri menurut Louis leahy
merupakan suatu interioritas.220 Dalam istilah Interioritas ini terkandung arti bahwa
manusia masuk di dalam dirinya sendiri, hadir di dalam dirinya sendiri.221 Karena
manusia adalah suatu interioritas, maka manusia adalah subyek. Karena manusia
adalah subyek maka dia tidak akan hanyut begitu saja dalam arus gerak masyarakat di
mana dia hidup. Manusia sebagai subyek dengan demikian merupakan makhluk yang
mempunyai kebebasan untuk menentukan dirinya.222 Kebebasan manusia dalam
konteks hidup sosial itu terlihat misalnya dalam keleluasaannya untuk menentukan
218 Bdk. Drs. A.W. Widjaja, Manusia Indonesia: Individu Keluarga Dan
Masyarakat, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hal:147
219 Bdk. J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar,
Yayasan Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1984, hal:61
220 Bdk. Pembahasan tentang konsep Louis Leahy tentang manusia: Manusia
sebagai ?Kombinasi Roh Dan Materi?, dalam 2.1.1
221 Bdk. Driyarkara, Driyarkara Tentang Kebudayaan, Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, 1980, hal:56
222 Bdk. J. van Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya
(Hingga Dekade 1970), jilid 2, PT. Gramedia, Jakarta, 1988, hal:204
tempat tinggalnya, bebas memilih teman hidupnya, dan lain sebagainya.
4.3.2. Tidak Ada Pertentangan Antara Manusia Sebagai Pribadi Dan
Masyarakat
Sekali lagi menurut Louis Leahy hakekat manusia adalah sebagai makhluk
yang menyempurnakan diri. Dalam hal ini juga harus dikatakan bahwa dinamika
manusia itu adalah dinamika kearah penyempurnaan sesamanya. Mengapa? Karena
manusia adalah makhluk sosial.223 Manusia selalu hidup bersama dan membentuk
kesatuan dengan sesamanya.224 Manusia tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan
menyempurnakan diri bersama-sama dengan sesamanya. Karena itu dinamika
penyempurnaan diri manusia tidak bisa tidak juga merupakan penyempurnaan
sesamanya. Hal itu juga berarti bahwa manusia harus menyempurnakan masyarakat
sekitarnya.225 Maka pada dasarnya sama sekali tidak ada pertentangan antara tujuan
manusia sebagai pribadi dan tujuan masyarakat di mana dia hidup dan
menyempurnakan dirinya. Menyempurnakan diri berarti menyempurnakan masyarakat.
Begitu pula sebaliknya, menyempurnakan masyarakat berarti menyempurnakan diri
manusia sendiri.226 Di sinilah terkandung makna yang sangat jelas mengenai ide
kebebasan manusia. Manusia yang menyempurnakan diri adalah manusia yang bebas.
Hubungan timbal balik antara manusia sebagai pribadi dan masyarakat tersebut
dalam arti tegas bukan berarti mencampurkan begitu saja antara pengertian manusia
sebagai pribadi dan masyarakat. Masyarakat dalam konteks ini diartikan sebagai suatu
223 Bdk. DR. Soedjono Dirdjosisworo, S.H., Asas-Asas Sosiologi, Armico,
Bandung, 1985, hal:57-59
224 Bdk. Sutarjo Adisusilo, Problematika Perkembangan Ilmu
Pengetahuan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1983, hal:99
225 Bdk. M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia
Dan Budaya, Usaha Nasional, Surabaya, 1989, hal:200
226 Bdk. Prof. DR. N. Drijarkara SJ. Filsafat Manusia, Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, 1969, Hal:52-53
asosiasi individu-individu227 yang mempunyai tugas menyempurnakan dirinya.
Sedangkan manusia dipandang sebagai persona yang terbuka terhadap masyarakatnya.
Jadi manusia merupakan bagian dari masyarakat. Jika masyarakat itu dianalogikan
dengan sebuah tubuh. Maka manusia sebagai pribadi merupakan bagian-bagian tubuh
itu, seperti tangan, kaki, dan semacamnya. Dalam posisinya itu, kebebasan manusia
sebagai pribadi terletak dalam keterbukaannya untuk senantiasa menyempurnakan
dirinya dan menyempurnakan masyarakatnya.
4.4. Louis Leahy Dan Determinisme Teologis
Determinisme teologis berpendapat bahwa manusia tidak bebas karena telah
dideterminasikan oleh Tuhan. Tesis aliran ini didasarkan pada dua sifat Tuhan, yaitu
Tuhan sebagai yang Maha-tahu dan Tuhan sebagai yang Maha-kuasa. Sebagai yang
Maha-tahu, Tuhan telah meramalkan segala sesuatu yang akan terjadi dalam hidup
manusia. Dan sebagai yang Maha-kuasa Tuhan adalah satu-satunya tempat manusia
menggantungkan dirinya.
4.4.1. Determinisme Teologis Meletakkan Masalah Secara Salah
Louis leahy mengatakan bahwa determinisme teologis menempatkan masalah
secara salah. Mereka beranggapan seakan-akan Tuhan itu merupakan lawan bersaing
dari manusia. Penempatan masalah yang secara salah dilakukan oleh determinisme
teologis terlihat juga dalam pola pemikirannya yang menyamakan begitu saja antara
apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Tuhan dengan apa yang dilakukan dan
dipikirkan oleh manusia. Determinisme teologis berusaha meletakkan kehendak Allah
yang berada dalam taraf transenden itu dalam taraf manusiawi.228 Dengan kata lain
aliran determinisme teologis mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat konteks
hubungan antara Tuhan dan manusia ini melulu berdasarkan kaca mata manusia.
227 Bdk. Johannes Messner, Social Ethhics: Natural Law In The Western
World, B. Herder Book Co., St. Louis And London, 1965, hal.99
228 Bdk. Prof.Dr. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius
(Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1993, hal:225
Misalnya aliran determinisme teologis mengatakan bahwa Tuhan telah
meramalkan dan menentukan segala sesuatu yang akan terjadi dan yang akan
dilakukan oleh manusia. Itu berarti Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak atas hidup
manusia. Apa saja yang ada dalam otak manusia dapat diwujudkan oleh Tuhan.
Selanjutnya kehendak Tuhanlah yang harus direalisasikan. Dan kehendak manusia
harus tunduk pada kehendak Tuhan itu.229 Dengan demikian pada dasarnya tidak ada
kebebasan sama sekali di dalam dunia manusia karena semua sudah diramalkan dan
ditentukan oleh Tuhan. Manusia dalam pandangan aliran ini sama seperti sebuah
wayang yang dijalankan oleh seorang dalang.230 Dengan berpikir dan mengatakan
bahwa Tuhan ?meramalkan? maka determinisme teologis secara jelas telah
meletakkan Tuhan dalam konteks waktu. Padahal Tuhan tidak terikat waktu. Jadi
pendapat itu sama dengan menyangkal keabadian Tuhan. Terhadap tesis determinisme
teologis itu Louis Leahy mengatakan bahwa Tuhan itu tidak meramalkan, Dia melihat,
Dia tidak berada dalam waktu. Tuhan itu bersifat transenden.231 Tuhan tetap memberi
kebebasan pada manusia untuk menentukan sendiri pilihan hidupnya. Dengan demikian
semua tindakan dan keputusan yang diambil oleh manusia merupakan sesuatu yang
lahir dari kebebasan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
4.4.2. Kebebasan Manusia Tidak Berarti Ketidaktergantungan Pada Tuhan
Determinisme teologis juga mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai
kebebasan karena pada kenyataannya manusia tergantung pada Tuhan. Terhadap
pendapat yang kedua ini Louis Leahy mengatakan bahwa kebebasan manusia sama
sekali tidak berarti ketidaktergantungan pada Tuhan. Sebaliknya kebebasan manusia
229 Bdk. Dr. Harus Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1979,
hal:102
230 Bdk.Dr. Harun Nasution, Op.Cit., hal:102 dan Ahmad Syafi Maarif,
Kebebasan Dan Keniscayaan, dalam ?Basis?, Oktober, XXXVII, no.10, 1988,
hal:395
231 Bdk. Prof.Dr. Louis Leahy SJ, Aliran-Aliran Besar Ateisme: Tinjauan
Kritis, Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1992, hal:132
lebih merupakan kebebasan yang diterima dari Tuhan.232 Kebebasan manusia
merupakan bentuk partisipasi dalam kebebasan Tuhan. Partisipasi itu mengandaikan
sikap terbuka terhadap Allah. Dan dalam hal ini keterbukaan manusia terhadap Allah
merupakan keputusan yang bebas.233 Jadi meskipun tergantung pada Allah, manusia
tetap memiliki kebebasan. Mengapa? Karena keputusan untuk tergantung pada Tuhan
itu pun dibuat oleh manusia dengan kebebasannya.234
4.4.3. Manusia Adalah Makhluk Yang Berdialog Dengan Allah
Kebebasan manusia di hadapan Tuhan juga bisa direfleksikan dalam kerangka
teologi biblis. Dalam konteks teologi biblis manusia dilihat sebagai makhluk yang
berdialog dengan Allah.235 Manusia adalah makhluk rohani.236 Realitas ini dalam
hubungannya dengan antropologi filsafat dilihat sebagai bentuk keterbukaan manusia
pada Tuhan. Manusia dengan kebebasannya telah memutuskan untuk percaya kepada
Tuhan.237 Bagi manusia Tuhan adalah realitas tertinggi yang sangat dicintai dan
sungguh-sungguh nyata.238 Keterbukaan semacam ini tentu saja tidak lahir begitu saja.
Artinya bahwa manusia tidak bisa menyandarkan diri pada Tuhan jika manusia tidak
yakin akan Eksistensi Allah sendiri. Maka keterbukaan semacam ini lahir pertama-tama
232 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:140
233 Bdk.DR. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Agama Kristen:
Mempertanggungjawabkan Iman Akan Wahyu Allah Dalam Yesus
Kristus, Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1985, hal:102
234 Bdk.DR. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:102
235 Bdk. Kej. 18:16-33, dan masih banyak perikop lain. Perikop-perikop ini
menunjukkan sekaligus merupakan bukti adanya dialog dalam suasana
kebebasan antara manusia dan Tuhan sendiri.
236 Bdk. Louis Leahy, Manusia Dan Usahanya Mencari Makna, dalam ? Basis?, Nopember, XXXVI, no.11, 1987, hal:404
237 Bdk. Prof.Dr. Louis Leahy SJ, Aliran-Aliran Besar Ateisme: Tinjauan
Kritis, Op.Cit., hal:46
238 Bdk. Louis Leahy, Iman Kristiani Dan Paham Freud, dalam ?Basis?,
Oktober, XXXVIII, no.10, 1989, hal363
dari keyakinan manusia bahwa Tuhan itu sungguh-sungguh ada. Selain dibutuhkan
pengakuan dari manusia bahwa Tuhan itu ada, juga dalam relasi yang penuh
keterbukaan itu diperlukan komunikasi ekstistensial antara Allah dan Manusia.239
Komunikasi eksistensial artinya adalah relasi yang berdasarkan logika hati atau
hubungan personal antara Tuhan dan manusia.
Dalam relasi antar Tuhan dan manusia itu seringkali dijumpai fakta yang
seolah-olah mengatakan bahwa manusia ?harus? taat kepada Tuhan. Dalam arti
tertentu pemikiran semacam itu dapat kita terima karena memang dalam kenyataannya
manusia banyak menemukan kesulitan untuk sungguh-sunguh memilih kebenaran yang
sejati. Kesulitan manusia untuk memutuskan memilih sesuatu yang adalah benar itu
secara teologis dilihat sebagai akibat dosa manusia sendiri.240 Dosa itulah yang
mengekang kebebasan manusia. Dan bukan Tuhan. Dengan melihat hal ini kita bisa
menyimpulkan bahwa kebebasan manusia itu pertama-tama bukan ditentukan oleh
Tuhan. Melainkan kebebasan manusia merupakan sesuatu yang ditentukan oleh
manusia sendiri.
4.5. Louis Leahy Dan Determinisme Ketidaksadaran
Detereminisme ketidaksadaran memandang manusia sebagai makhluk yang
tidak memiliki kebebasan karena seluruh aktivitasnya pada dasarnya merupakan
produk dorongan kecenderungan-kecenderungan instingtif yang tidak disadarinya.241
Sedangkan motif-motif yang sadar hanyalah merupakan suatu penipuan. Oleh karena
itu motif-motif sadar itu sebenarnya hanyalah bentuk-bentuk semu dari kebebasan.
Freud juga berpendapat bahwa kaidah hukum sebab akibat yang ada dalam
alam semesta ini berlaku untuk seluruh umat manusia. Apapun yang terjadi pada masa
239 Bdk. Joao Inocencio Piedade, Problematika Manusia Dalam
Antropologi Filsafat, dalam ?Basis?, Nopember, XXXV, no.11, 1986, hal428
240 Bdk. Joao Inocencio Piedade, Op.Cit., hal:428
241 Bdk. Philip L. Harriman, Modern Psychology, Littlefield, Adam and Co,
Ames, Iowa, 1958, hal:96
sekarang ini secara teoritis dapat dimengerti dengan kembali melihat peristiwaperistiwa
yang terjadi pada masa lampau.242 Jika pada masa sekarang seseorang
membunuh yang lain, maka menurut Freud kita harus melihat masa lalu untuk mencari
sebab-sebab tindakan itu. Dengan cara itu Freud hendak menunjukkan bahwa segala
sesuatu yang terjadi pada masa sekarang pasti mempunyai sebab-sebab. Dan sebabsebab
itu ada di masa lampau. Dalam konteks inilah Freud berpendapat bahwa
tindakan manusia pada masa sekarang sebenarnya bukan merupakan realisasi
perbuatan yang bebas, melainkan hanya merupakan produk dari masa lampau.243
4.5.1. Pribadi Manusia Mengandung Unsur Yang Kompleks
Di sini Leahy mengakui adanya kebenaran-kebenaran yang ditemukan oleh
penyelidikan psikoanalisa dan psikologi pada umumnya. Mengapa? Karena Leahy
menyadari bahwa manusia adalah makhluk hidup yang mengandung unsur-unsur
sangat kompleks. Kebebasan manusia pun juga bukanlah sesuatu yang lengkap dan
sempurna secara total. Meskipun demikian bukan berarti bahwa manusia tidak
memiliki kebebasan. Mengatakan bahwa manusia tidak bebas sama sekali adalah tidak
tepat. Namun menurut Leahy akan lebih tepat apabila dikatakan bahwa kebebasan
manusia itu bukanlah sesuatu yang total. Kebebasan manusia selalu mempunyai batasbatas.
244 Dalam konteks ini tugas manusia adalah menaklukkan kepada dirinya sendiri
segala sesuatu yang bersifat irasional-instingtif dan menguasainya dengan bebas serta
menurut keteraturan-keteraturannya sendiri.245
Sedangkan berkaitan dengan pendapat Freud mengenai hukum sebab akibat
yang menguasai seluruh umat manusia, Leahy mengatakan bahwa kebebasan manusia
242 Bdk. Thomas A. Harris, MD, Saya Oke-Kamu Oke, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 1987, hal:52
243 Bdk. Thomas A. Harris, MD, Op.Cit., hal:52
244 Bdk. Harry Hamersma, Op.Cit., hal:13
245 Bdk. Dr. P.A. van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, PT
Gramedia, Jakarta, 1988, hal:96
tidak terdiri dari penyangkalan terhadap hukum alam semesta itu.246 Sebaliknya,
menurut Leahy, kebebasan manusia itu terdiri dari mengorientasikan mereka (alam)
dengan mempergunakan kekuatan-kekuatan mereka sendiri.247
4.5.2. Psikoanalisa Mengandaikan Kebebasan manusia
Selanjutnya harus dikatakan bahwa penyangkalan kebebasan oleh dan
berdasarkan psikoanalisa sebenarnya tidak mempunyai dasar-dasar yang kokoh.
Mengapa demikian? Karena pada dasarnya Freud sendiri mengakui dan bahkan
menuntut adanya kebebasan dalam diri manusia.248 Hal itu terlihat secara jelas dalam
metode-metode penyembuhan bagi pasien-pasien histeria, penafsiran mimpi, dan lain
sebagainya. Dalam perjuangan ini kerjasama dan keinginan yang kuat untuk sembuh
dari para pasien merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat keberhasilan
(kesembuhan). Dan memang dari pihak Freud sendiri tujuan utama usaha
penyembuhan itu adalah ?membebaskan? pasien dari kecenderungan-kecenderungan
instingtif yang menguasainya.249 Dengan kata lain Freud ingin mengangkat unsur-unsur
ketidaksadaran manusia ke dalam kesadaran. Dan menurut Freud tujuan itu akan
berhasil jika si pasien memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan. Atau dapat
juga dikatakan bahwa dalam usaha penyembuhan itu Freud sangat menekankan peran
kesadaran, keinginan untuk hidup secara lebih baik, dan kebebasan dari para pasien.
Dengan demikian kebebasan memainkan peranan yang sangat penting dalam
psikoanalisa Freud. Dan karena itulah penyangkalan kebebasan manusia dalam hal ini
246 Dalam hal ini Freud memberi jawaban yang persis sama dengan
jawabannya atas paham determinisme fisik atau determinisme universal. (Bdk.
Pembahasan tentang ?Louis Leahy Dan Determinisme Universal?, dalam
4.1)
247 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:141
248 Bdk. K. Bertens M.S.C., Perhatian Filsafati Atas Psikoanalisa, dalam ? Orientasi: Pustaka Filsafat Dan Teologi?, Th. 2, no.1, 1970, hal:14
249 Bdk. DR. Franz von Magnis, Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1975, hal:68
sebenarnya tidak mempunyai dasar-dasar yang kokoh.
4.5.3. Unsur Ketidak-sadaran Sulit Dijadikan Dasar Pendorong Tindakan
Manusia
Determinisme ketidak-sadaran berpendapat bahwa tindakan-tindakan manusia
merupakan hasil dorongan unsur ketidaksadaran dalam diri manusia. Tesis semacam ini
sulit diterima pertama-tama karena masih belum jelas apa dan bagaimana ketidaksadaran
itu, justru karena unsur itu merupakan unsur yang tidak disadari. Dan oleh
karenanya unsur ketidak-sadaran juga tidak memberi keterangan yang berarti bagi
kehendak, kesadaran dan kebebasan manusia.
Alasan kedua mengapa determinisme ketidak-sadaran harus ditolak adalah
karena pandangannya yang terlalu mekanistis. Manusia dimengerti seperti sebuah
mesin. Padahal mesin dan bagian-bagiannya bertindak tidak demi suatu tujuan. Bagianbagian
dari sebuah mesin itu memang berada dalam keseluruhan, misalnya sebuah
mobil. Namun mereka berjalan menurut hukumnya masing-masing. Dengan demikian
sebuah mobil dari dalam dirinya sendiri tidak mempunyai tujuan. Melainkan tujuan
adanya sebuah mobil itu ditentukan oleh manusia, yang merangkainya, atau yang
mengemudikannya, dan lain sebagainya.250 Cara berpikir secara mekanistis seperti
tersebut harus ditolak. Mengapa? Karena manusia berbeda dengan sebuah mesin yang
harus diprogram oleh manusia sendiri. Manusia adalah makhluk yang secara bebas
dapat menentukan tujuan-tujuan hidupnya sendiri.
4.6. Kesimpulan Louis Leahy Atas Paham Determinisme
4.6.1. Determinisme Dan Ketidak-koherenannya
Pemikiran yang dikedepankan oleh aliran determinisme tidak bisa diterima.
Alasannya adalah karena pemikiran para determinis mengandung banyak ketidakkoherenan.
Hal itu terjadi karena para penganut aliran determinisme tidak
mempertahankan pendapatnya karena pendapat itu ?in se? adalah benar, melainkan
250 Bdk. Prof. I.R. Poedjawiyatna, Op.Cit., hal:64-65
karena para determinis hanya mewarisi pola pemikiran tertentu.251 Artinya para
determinis itu mengungkapkan buah pemikirannya bukan karena struktur alam semesta
itu bersifat begini atau begitu secara objektif, melainkan karena struktur otak para
determinis yang terbentuk sedemikian rupa sehingga menghasilkan pandanganpandangan
yang sifatnya deterministis.252 Dan karena pemikirannya itu akal budi para
determinis akan tertutup terhadap kebenaran-kebenaran yang lain dan terhadap
argumen-argumen baru yang mungkin akan terpikirkan kemudian. Pendek kata para
determinis tetap mempertahankan bahwa pendapat atau argumennya adalah yang
paling benar.253 Lebih lagi mereka menginginkan pengakuan secara ilmiah bahwa
gagasan-gagasannya juga bersifat rasional dan bersifat obyektif dan bukan hanya
semacam propaganda-propaganda yang sama sekali tidak mengandung kebenaran. Di
sinilah terlihat dengan jelas ketidak-koherenan pola pemikiran aliran determinisme.
Aliran determinisme merasa bahwa pernyataan-pernyataan yang mereka kedepankan
adalah satu-satunya pernyataan yang benar. Artinya mereka merasa sangat yakin
bahwa manusia itu tidak mempunyai kebebasan. Sebaliknya mereka kurang menyadari
bahwa pada saat membuat pernyataan itu mereka telah mengeluarkan suatu keputusan
yang kontradiktif. Suatu keputusan yang menyangkal keputusan atau argumen mereka
sendiri. Mengapa? Mereka yakin bahwa di dunia ini tidak ada kebebasan. Namun
mereka tidak sadar bahwa argumen itu sebenarnya merupakan bentuk kebebasan
manusia untuk memutuskan dan memilih yang benar daripada yang salah. Di dalam
konteks inilah terlihat secara jelas letak ketidak-koherenan pemikiran kaum
determinisme. Di satu pihak mereka menyangkal kebebasan. Di pihak lain mereka
tidak menyadari bahwa kebebasan itu ada dalam diri mereka sendiri.
251 Bdk. Prof. DR. H.M. Rasjidi, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1978,
hal209-210
252 Bdk. Louis Leahy, Op.Cit., hal:144
253 Bdk. Prof. DR. H.M. Rasjidi, Op.Cit., hal209-210
4.6.2. Manusia Adalah Makhluk Yang Bebas254
Manusia berbeda dengan binatang dan tumbuhan serta benda-benda mati
lainnya. Manusia merupakan bagian dari alam semesta, namun ia terpisah dari alam
semesta. Artinya walaupun dalam kenyataannya manusia hidup di dalam alam semesta
ini, namun manusia mempunyai kemampuan untuk tidak begitu saja ikut arus gerak
alam semesta ini. Manusia mempunyai kemampuan untuk menyatukan, sekaligus
melepaskan diri dari semua pengaruh lingkungan alam sekitarnya.255 Manusia adalah
makhluk yang selalu mempunyai keinginan-keinginan. Namun dengan kebebasannya
manusia mampu mengekang keinginan-keinginan yang muncul dalam dirinya untuk
suatu tujuan yang lebih tinggi. Demikian juga manusia mempunyai keinginan untuk
hidup bahagia dan sejahtera selama hidup di dunia. Namun semua itu dapat saja
dikorbankan, tentu saja dengan landasan kebebasannya, untuk mencapai kebahagiaan
sejati, yaitu persatuan abadi dengan Allah di surga.256
Manusia hidup dalam ruang dan waktu. Manusia sadar bahwa hidupnya
tergantung pada kondisi-kondisi tertentu dari alam semesta. Manusia tidak bisa
melawan dan menolak gejala-gejala alamiah, seperti terbit dan tenggelamnya matahari,
bulan dan bintang-bintang.257 Meskipun demikian, tanpa harus melanggar hukumhukum
alam itu, bahkan dengan mematuhi hukum-hukum itu, manusia dengan
kebebasannya mampu mengubah dunia.
Manusia adalah makhluk yang bertubuh. Dalam konteks ini kebebasan
manusia memang harus dipahami sebagai sesuatu yang terbatas.258 Kebebasan
merupakan sesuatu yang harus terus-menerus diperjuangkan oleh manusia. Namun hal
254 Kami sebenarnya sudah menyajikan pembahasan yang kurang lebih
lengkap tentang alasan-alasan Louis Leahy untuk membuktikan adanya
kebebasan manusia dalam bagian 2.2.2. Uraian dalam bagian ini berfungsi
melulu sebagai penegasan atas penjelasan tersebut.
255 Bdk. Prof. DR. H.M. Rasjidi, Op.Cit., hal209-210
256 Bdk. Pembahasan tentang ?Kebebasan Horisontal Dan Kebebasan
Vertikal? dalam 2.2.2.3.
257 Bdk. Ernst Cassirer, Manusia Dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang
Manusia, Gramedia, Jakarta, hal:70
tidak berarti bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bebas. Manusia tetap
merupakan makhluk yang mempunyai kebebasan.259
Kontingensi dan keterbatasan dunia manusia ini menuntut adanya seorang
Allah pencipta untuk menerangkan segala sesuatu yang tidak dapat diterangkan oleh
keberadaan manusia.260 Dan atas nama akal budilah manusia menerima adanya sebuah
eksistensi Allah Pencipta. Dia adalah yang Tak-Terbatas dan yang mengatasi segala
kemampuan budi manusia. Dia tidak bisa ditangkap secara langsung oleh akal budi
manusia, melainkan Dia hanya bisa ditangkap melalui suatu analogi.261 Dengan kata
lain pada taraf konsep kita tidak pernah dapat memahami bagaimana yang terbatas
(manusia) dapat ber-koeksistensi dengan Yang-Tak-Terbatas. Bagaimana suatu
kebebasan dapat tetap nyata meskipun Allah mahakuasa dan meskipun tindakan-Nya
meresapi segala-galanya. Namun, menurut Louis leahy, melalui analogi manusia akan
melihat bahwa Yang-Tak-terbatas itu bukannya meniadakan keaslian dari yang
terbatas. Jadi Keberadaan Allah itu bukannya meniadakan kebebasan manusia.
Melainkan keberadaan Allah itu merupakan sumber yang wajib dari kebebasan
258 Bdk.Dr. Harun Nasution, Op.Cit., hal:103
259 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy S.J., Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos
Manusia Dan Allah, Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta),
1986, hal:63
260 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy S.J., Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos
Manusia Dan Allah, Op.Cit., hal:63
261 Metode analogi yang dimaksud oleh Louis Leahy adalah metode
pemahaman yang bertolak dari pengalaman manusia. Metode analogi dilakukan
dengan cara bertolak dari tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang paling
bawah untuk akhirnya sampai pada pemahaman akan kegiatan atau tindakan
yang paling tinggai, yaitu kegiatan Tuhan sendiri. Dengan metode itu Leahy
hendak menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi oleh manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan merupakan sebuah misteri. Dikatakan sebuah
misteri bukan karena kealpaan akal budi manusia, melainkan karena akal budi
manusia yang bersifat diskursif harus diatasi. Artinya adalah bahwa kesukaran
konseptual yang dijumpai oleh manusia dalam menerangkan Tuhan itu bukanlah
suatu yang absurd, melainkan merupakan suatu tanda dari misteri Tuhan yang
melampaui akal budi manusia.. (Bdk. Prof.Dr. Louis Leahy SJ, Filsafat
Ketuhanan Kontemporer, Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia
(Jakarta), 1993, hal:226-230
manusia.262
Leahy juga berusaha memberikan alasan-alasan yang mendasar tentang
kebebasan berdasarkan pengalaman hidup manusia sendiri. Secara garis besar Louis
Leahy menyodorkan tiga alasan, yaitu argumen persetujuan umum, argumen psikologis
dan argumen etis.263
262 Bdk. Prof. Dr. Louis Leahy S.J., Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos
Manusia Dan Allah, Op.Cit., hal:63
263 Bdk. Pembahasan tentang ?Alasan-Alasan Yang Membenarkan
Adanya Kebebasan? dalam 2.2.2
BAB V
PENUTUP
Pengantar
Kita telah menyimak secara cukup panjang lebar uraian tentang pemikiran
Louis Leahy tentang kebebasan manusia dalam hubungannya dengan determinisme.
Kini kita sampai pada bagian akhir dari proses pembicaraan itu. Pada bagian akhir ini
kami akan berusaha melihat kembali secara garis besar pokok-pokok pemikiran Louis
Leahy tentang kebebasan manusia dan determinisme. Kerangka besar peninjauan
kembali itu kami bagi dalam tiga bagian. Pertama-tama kami akan menyimpulkan
pembahasan tentang kebebasan dan determinisme. Kemudian kami akan berusaha
memberikan tinjauan kritis atas pemikiran Louis Leahy itu. Dan sebagai penutup, kami
akan mencoba relevansi pemikiran Louis Leahy itu dengan konteks realitas kehhidupan
masyarakat Indonesia dan konteks realitas kehhidupan gereja Indonesia saat ini.
5.1. Kesimpulan
5.1.1. Letak Persoalan Determinisme Dan Kebebasan
Tema besar pembahasan karya ilmiah ini adalah kebebasan manusia dan
determinisme. Itu berarti kita membicarakan dua hal yang bertolak belakang satu
dengan yang lain. Dikatakan saling bertolak belakang karena gagasan kedua aliran itu,
yaitu aliran yang berpihak pada kebebasan dan aliran yang berpihak pada determinisme
saling bertentangan. Aliran yang berpihak pada paham kebebasan mengatakan bahwa
manusia itu bebas. Sebaliknya aliran yang berpihak pada paham determinisme tetap
bertahan pada posisi pendapatnya bahwa manusia tidak bebas. Berikut akan kita lihat
rincian pendapat dari masing-masing aliran.
5.1.1.1. Kebebasan Sebagai Unsur Esensial Pribadi Manusia
Aliran kebebasan, yang dalam konteks ini diwakili oleh Louis Leahy,
mengatakan bahwa kebebasan merupakan unsur esensial pribadi manusia. Kebebasan
merupakan salah satu karakter dasar manusia. Manusia adalah makhluk yang secara
esensial berkehendak. Dalam perbuatan berkehendaknya keakuan manusia hadir dalam
dirinya dan menguasainya. Karena itulah pada dasarnya manusia tidak dapat tidak
bekehendak. Secara mutlak obyek dari kehendak manusia adalah kebaikan atau ada
sebagai baik. Itu sama artinya dengan pernyataan bahwa manusia secara mutlak ingin
bahagia.
Kebebasan merupakan suatu nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia. Mengapa
demikian? Karena manusia hanya mungkin merealisasikan dirinya secara penuh jika
manusia itu bebas. Kata kebebasan itu sendiri pada umumnya diartikan sebagai
ketiadaan paksaan. Kebebasan fisik berarti ketiadaan paksaan fisik. Kebebasan moral
berarti ketiadaan paksaan moral. Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan
psikologis. Kebebasan psikologis disebut juga kebebasan untuk memilih atau
kebebasan berkehendak. Kebebasan psikologis memberi keleluasaan pada subyek
untuk memilih antara pelbagai tindakan yang mungkin.
Ada beberapa argumen yang menunjukkan adanya kebebasan. Yang pertama
adalah argumen persetujuan umum. Artinya bahwa sebagian besar manusia percaya
bahwa mereka diperlengkapi dengan kehendak bebas. Dan dengan realitas itu orang
kemudian menyimpulkan baha kehendak manusia itu adalah bebas. Orang bisa
mengatakan bahwa dirinya adalah bebas dan bahwa orang lain juga bebas. Argumen
kedua adalah argumen psikologis. Argumen ini mengatakan bahwa manusia bisa
menyadari kebebasannya secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung
artinya tepat pada saat kita sedang bertindak secara bebas, secara langsung kita
menyadari kebebasan itu. Kebebasan ini terjadi ketika manusia memilih atau
memutuskan untuk melakukan tindakan ini atau tindakan itu, atau ketika manusia
memutuskan untuk tidak melakukan tindakan ini atau tindakan itu. Sedangkan
kesadaran tak langsung terlihat ketika manusia berunding untuk suatu keputusan,
ketika manusia mempertimbangkan pro dan kontra, ketika manusia menyesalkan
keputusan-keputusan, ketika manusia memuji keberhasilan orang lain, dan sebagainya.
Dalam semua tindakan itu terkandung suatu arti bahwa manusia bisa berbuat lain. Dan
berbuat lain itu adalah wujud suatu kebebasan. Di dalam semua tindakan itu aspek
ketidak-langsungan kesadaran manusia terletak dalam sikap "mengakui" adanya
kebebasan. Ketika manusia memuji dan mengagumi keberhasilan orang lain, secara
tidak langsung dia mengakui adanya kebebasan. Mengapa? Karena keberhasilan
mengandaikan adanya kemampuan mengatasi kesulitan-kesulitan. Dan penguasaan
kesulitan itu merupakan bentuk kebebasan manusia. Jadi orang yang mengagumi
keberhasilan orang lain secara tidak langsung juga mengakui ide kebebasan. Argumen
ketiga adalah argumen etik. Argumen ini mengatakan bahwa seandainya tidak ada
kebebasan, maka tidak akan ada tanggung jawab moral. Mengapa? Karena tanggung
jawab moral selalu mengandaikan adanya kebebasan.
Akhirnya Louis Leahy mengatakan bahwa kebebasan manusia mempunyai dua
aspek mendasar. Pertama-tama kebebasan manusia mempunyai aspek horisontal.
Artinya kebebasan manusia secara mendasar merupakan kebebasan yang tidak sematamata
terarah pada kepentingan-kenpentingan manusia secara pribadi, melainkan
terutama terarah pada tuntutan-tuntutan cinta kasih dan kemurahan hati kepada
sesama manusia. Dengan pemikiran seperti ini Louis Leahy hendak menyampaikan
gagasan bahwa manusia yang bebas tidak hanya dituntut untuk mempertanggungjawabkan
kebebasannya kepada dirinya sendiri, melainkan juga kepada sesamanya.
Aspek kedua dari kebebasan manusia adalah aspek vertikal. Kebebasan vertikal
merupakan kebebasan yang terarah kepada kebahagiaan sejati. Dalam pemikiran Louis
Leahy kebahagiaan sejati itu adalah Tuhan. Jadi kebebasan vertikal adalah kebebasan
yang tertuju pada Tuhan.
5.1.1.2. Absurditas Kebebasan
Sepanjang sejarah perkembangan pemikiran ada pemikir yang berpendapat
bahwa manusia tidak bebas. Mereka itu adalah para penganut aliran determinisme.
Menurut para pemikir ini manusia hanya mengira bahwa dirinya bebas, padahal
sebenarnya tidak demikian. Mereka yakin bahwa manusia tidak bisa luput dai postulat
determinime universal. 264 Dengan demikian kebebasan manusia menjadi sesuatu yang
harus dipertanyakan. Kebebasan dalam pandangan determinisme merupakan suatu
yang absurd.
Postulat dasar dari determinisme adalah ?kalau manusia bebas, dalam arti
menentukan dirinya sendiri atau otodeterminasi, maka ia akan luput dari determinisme
dunia fisik. Padahal manusia tidak luput dari determinisme dunia fisik, maka manusia
tidak bebas.? Logika semacam ini muncul dari para determinis berdasarkan dua alasan
yang bersifat empiris. Dikatakan bersifat empiris karena pertama-tama mereka bertolak
dari fakta-fakta yang dapat ditangkap oleh panca indra. Lebih dari itu, aliran
determinisme juga mengejar suatu inteligibilitas yang dapat dikontrol dan dapat
diverifikasikan oleh pengalaman-pengalaman. Menurut aliran determinisme gejalagejala
tertentu dapat dikatakan benar jika bisa dibuktikan dalam kaitannya dengan
gejala-gejala lainya. Hal itu sama artinya dengan mengatakan bahwa antara fenomen
yang satu dengan fenomen yang lain harus ada hubungan ?antecedens? dan ?
consequens?.265 Hubungan itu dapat diungkapkan dengan proposisi hipotetis ini: ?
jika ada fenomen X, maka pasti ada pula fenomen Y?. Fenomen X adalah antecedens,
sedangkan fenomen Y adalah consequens. Dalam kaca mata aliran determinisme gejala
Y dikaitkan sedemikian rupa dengan fenomen Y sehingga fenomen X dianggap sebagai
penyebab fenomen Y. Dan justru karena postulatnya itu kaum determinisme melihat
bahwa kebebasan manusia itu merupakan sesuatu yang absurd. Menurut mereka, sama
seperti segala sesuatu yang ada di dunia ini, maka manusia pun tidak bisa melepaskan
diri dari determinisme-determinisme yang melingkupi dan menguasainya.
Aliran determinisme sebenarnya mengakui adanya keputusan dan perbuatan
yang muncul dari keinginan dan kehendak dalam diri manusia. Namun mereka tetap
menyangkal bahwa keputusan dan perbuatan macam itu merupakan sesuatu yang
keluar dari kebebasan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Di sini mereka
mengatakan bahwa dalam melihat keputusan dan perbuatan manusia, kita tidak boleh
264 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:123
265 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:6
hanya berhenti pada keinginan dan kehendak yang muncul dalam diri manusia.
Melainkan kita harus berusaha menggali sebab-sebab terdalam dari keputusan dan
perbuatan tersebut. Misalnya kita harus bertanya: Dari mana munculnya keinginan dan
kehendak itu? Dengan kata lain dari mana asal-usulnya keinginan dan kehendak itu?
Dari pertanyaan-pertanyaan semacan itu akhirnya kita akan menemukan jawaban
bahwa semua tindakan dan keputusan yang kita lakukan pertama-tama merupakan
produk perlengkapan psiko-fisik yang merupakan warisan dari pendahulu manusia.
Dan yang kedua adalah merupakan pengaruh lingkungan sosial di mana manusia itu
hidup.
Jadi jelaslah bahwa menurut kaum determinisme manusia benar-benar dikuasai
oleh sesuatu yang di luar dirinya. Karena itulah dalam pandangan kaum determinisme
manusia sungguh-sungguh tidak memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya.
5.1.2. Sikap Louis Leahy
5.1.2.1. Komplementaritas Determinisme Dan Kebebasan
Kebebasan merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam kehidupan manusia.
Meskipun demikian kebebasan manusia bukanlah sesuatu yang absolut.Kebebasan
mempunyai karakter relatif atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia. Sebagai
sesuatu yang relatif atau bersituasi, kebebasan manusia selalu bercampur dengan
ketidak-bebasan. Maka manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh.266
Namun situasi dan kondisi manusia semacam itu pada dasarnya bukan hanya
merupakan faktor yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia, tetapi juga
serentak merupakan faktor yang memungkinkan kebebasan. Alasannya adalah karena
di luar situasi yang sifatnya terbatas itu manusia tidak mungkin dapat bertindak.
Sebagai eksistensi, manusia selalu termuat dalam situasi-situasi tertentu, yaitu situasisituasi
batas. Sebagai eksistensi, manusia dapat menemukan dan merealisasikan dirinya
sendiri di dunia ini.267 Oleh karena itu dalam aspek atau komponen yang saling
266 Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Op.Cit., hal:6
mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain situasi-situasi batas dan
kebebasan merupakan dua hal yang saling mengandaikan. Dunia fisik dan kebebasan
manusia merupakan dua sisi dari manusia yang tak terpisah dari pribadi manusia
sendiri. Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia mempunyai karakter yang
bersifat rohani dan bebas. Namun sebagai mahkluk jasmani, manusia termasuk bagian
dari dunia dengan segala hukum-hukumnya. Dan kerena dua sifat manusia inilah, maka
kebebasan dan determinisme tidak saling meniadakan.
5.1.2.2. Ketidakmutlakan Determinisme Dan Kebebasan
Manusia berbeda dengan binatang dan benda-benda yang lain. Manusia adalah
makhluk yang berbudi. Karena itulah manusia dikatakan sebagai makhluk yang
berkehendak bebas. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan untuk
menentukan dirinya sendiri. Namun demikian harus diakui bahwa kebebasan manusia
bukanlah sesuatu yang absolut. Melainkan, kebebasan manusia merupakan kebebasan
yang bersituasi. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk yang hidup di dalam dunia
yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Dalam konteks ini berarti harus dikatakan
bahwa di samping diri manusia sendiri, juga ada faktor-faktor di luar dirinya yang ikut
menentukan hidupnya. Namun faktor-faktor dari luar diri manusia ini pun pada
dasarnya juga bukan merupakan sesuatu yang secara absolut mempengaruhi dan
menentukan keputusan dan tindakan bebas manusia. Karena manusia ternyata
mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan bebasnya, walaupun dia hidup
ditengah-tengah dunia yang bersifat deterministis. Berdasarkan realitas semacam itu
maka disimpulkan bahwa antara determinisme dan kebebasan manusia merupakan dua
hal yang sama-sama terbatas.
5.2. Tinjauan Kritis
5.2.1. Louis Leahy Dan Para Pemikir Pendahulu
Pemikiran Louis Leahy tentang manusia dan kebebasan sebenarnya bukanlah
sesuatu yang sama sekali baru. Sebagai seorang pemikir, Leahy dan pandanganpandangannya
masih dipengaruhi oleh pola pemikiran para pemikir sebelumnya.268 Hal
itu terutama terlihat dalam banyak karyanya. Louis Leahy sering kali mengutip
pemikiran-pemikiran para filsuf sebelumnya sebagai dasar pemikirannya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Louis Leahy sebenarnya berusaha membangun
filsafatnya di atas teori-teori atau di atas pemikiran-pemikiran yang sudah ada
sebelumnya. Kendati demikian tidak berarti Louis Leahy mengambil alih begitu saja
pemikiran para filsuf yang lain. Sebagai seorang pemikir, Leahy juga mempunyai
pemikiran sendiri. Dalam banyak hal dia memang mendasarkan pemikirannya pada
gagasan para filsuf yang lain, namun dia juga tidak jarang mengkritik pendapat dan
gagasan para pemikir yang lain.269
5.2.2. Louis Leahy Sebagai pemikir Yang "Seimbang"
Menurut kami, Louis Leahy merupakan seorang pemikir yang tidak berat
sebelah dalam mengambil sikap terhadap persoalan kebebasan dan determinisme. Hal
itu terlihat dari sikap Louis Leahy yang tidak begitu saja menyetujui satu pendapat dan
melawan pendapat yang lain. Sebaliknya, dalam menyikapi pelbagai persoalan yang
muncul berkaitan dengan kebebasan dan determinisme, Louis Leahy senantiasa
berusaha meletakkan dirinya dalam posisi yang seimbang. Dalam banyak hal Leahy
melawan argumen-argumen aliran determinisme yang berusaha menyangkal adanya
kebebasan manusia. Namun demikian Leahy juga menerima beberapa gagasan dari
aliran determinisme. Hal itu dilakukan karena dia melihat bahwa tidak seluruhnya apa
yang disampaikan oleh aliran determinisme itu adalah salah. Sebaliknya dia melihat
bahwa argumen-argumen aliran determinisme itu pun mengandung kebenaran. Prinsip
yang serupa juga diterapkan pada paham tentang kebebasan. Louis Leahy mengecam
paham yang mengatakan bahwa kebebasan adalah segala-galanya. Sebaliknya dia
berpendapat bahwa kebebasan manusia itu merupakan sesuatu yang harus terusmenerus
diperjuangkan. Kebebasan manusia merupakan sesuatu yang tidak absolut.
268 Bdk. Bagian Kesimpulan dalam 2.1.4
269 Bdk. Julius Runtu, Op.Cit., hal:132-133
Kebebasan manusia merupakan kebebasan yang bersituasi atau terbatas. Kebebasan
manusia merupakan kebebasan yang berada di tengah-tengah situasi dunia yang
dilingkupi oleh hukum-hukum alam semesta.
5.2.3. Louis Leahy Dan Pengalaman Sehari-hari
Dalam memberi jawaban tentang soal-soal kebebasan dan determinisme, Louis
Leahy sama sekali tidak mendasarkan diri pada teori-teori yang melangit dan yang sulit
diterima oleh kebanyakan orang. Melainkan, Louis Leahy berusaha memberi jawaban
yang praktis berdasarkan pengalaman hidup manusia sehari-hari. Sehingga jawabanjawaban
yang dilontarkan dapat dengan mudah dicerna oleh semua orang. Selain itu,
karena dasar pemikiran Louis Leahy terutama adalah pengalaman hidup manusia,
maka pemikiran Leahy menjadi sesuatu yang konkrit.
5.3. Relevansi: Pemikiran Louis Leahy Dan Karya Pastoral Gereja Indonesia
Dalam bab pendahuluan kami telah mengemukakan dua alasan mendasar
pengangkatan tema kebebasan dalam karya ilmiah ini. Pertama-tama adalah karena ide
kebebasan itu merupakan sesuatu yang terus aktual. Dikatakan aktual karena sampai
dewasa ini pun kebebasan terus menjadi semacam dilema yang harus dialami dan
diterima oleh umat manusia. Di mana letak dilema itu? Dilemanya terletak dalam
realitas bahwa di satu pihak dikatakan bahwa kebebasan manusia merupakan karakter
dasar yang selalu melekat dalam diri manusia, namun di pihak lain kebebasan manusia
itu ternyata merupakan sesuatu yang harus terus-menerus diperjuangkan oleh manusia.
Sulit sekali dibayangkan dengan akal budi yang sehat bahwa apa yang sudah menjadi
milik manusia, justru menjadi sesuatu yang harus dikejarnya.
Alasan kedua yang kami angkat berkaitan dengan pemilihan tema kebebasan
adalah adanya realitas bahwa di jaman modern ini muncul kecenderungan yang kuat
untuk mendewakan ?kebebasan?. Kata kebebasan kami tulis dengan tanda kutip
untuk menegaskan bahwa ternyata dewasa ini terlalu banyak orang mengartikan
kebebasan secara salah. Kebebasan sering diartikan sebagai wujud otonomi pribadi
yang berat sebelah. Dengan kata lain kebebasan hanya dipahami sebagai itu yang harus
sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Sebaliknya segala sesuatu yang tidak sesuai
dengan apa yang dikehendaki dan dipikirkan oleh akal budi manusia harus ditolak.
Berdasarkan dua alasan ini kami berusaha menggali secara mendalam
pemikirian Louis Leahy tentang kebebasan manusia. Kemudian kami berusaha
menggandengkan pemikiran itu dengan realitas hidup manusia dewasa ini, khususnya
dalam konteks kehidupan manusia Indonesia. Berkaitan dengan hal itu kami melihat
ada dua hal yang sangat mendasar yang relevan untuk kehidupan manusia (Indonesia)
dewasa ini. Pertama adalah kebebasan manusia dalam hubungannya dengan tanggung
jawab moral. Dan yang kedua adalah kebebasan manusia dalam hubungannya dengan
situasi-situasi konkrit hidup manusia yang mencerminkan adanya tekanan-tekanan
terhadap kebebasan.
5.3.1. Kebebasan Dan Tanggung Jawab Moral
Kebebasan pada jaman sekarang telah menjadi semacam kata-kata mutiara.270
Atas nama kebebasan, maka semua hal yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki
dan dipikirkan oleh manusia dipersoalkan. Kebebasan dalam dunia dewasa ini sering
menjadi semacam sarana yang paling hebat untuk membenarkan diri atau menentang
keputusan dan tindakan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dan berakar dari
realitas semacam itu, maka sering muncul pemikiran yang menjadikan arti mendasar
dari kebebasan itu menjadi kabur. Di tengah-tengah situasi seperti itu adalah sangat
penting untuk menanamkan kesadaran baru tentang makna kebebasan. Dan dalam hal
ini Louis Leahy memberi gambaran yang sangat jelas bahwa kebebasan manusia pada
dasarnya merupakan sesuatu yang harus dipertanggung-jawabkan secara moral.271
270 Bdk. DR. Franz von Magnis, Op.Cit., hal:43
271 Bdk. Pembahasan tentang ?Kebebasan Horisontal dan Kebebasan
Artinya keputusan dan tindakan yang kita ambil harus kita pertanggung-jawabkan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Dengan kata lain, sikap yang kita
ambil secara bebas hanya memadai apabila sesuai dengan tanggung jawab secara
objektif. Jadi pengertian kebebasan di sini tidak berarti bahwa kita boleh memutuskan
apa saja, mengkritik apa saja, menentang apa saja dengan seenaknya. Sebaliknya
kebebasan berarti bahwa kita memutuskan sesuatu secara bertanggung-jawab.
Dalam hal ini gereja (Indonesia) juga menyuarakan nada yang serupa. Gereja
menegaskan bahwa otonomi manusia itu berarti suatu tanggung jawab. Dan kesadaran
akan tanggung jawab itu disebut kesadaran moral.272 Dalam arti ini kesadaran moral
sama sekali tidak dipahami sebagai bekal yang jelas akan aturan-aturan tugas dan
kewajiban manusia. Melainkan, kesadaran moral merupakan kesadaran manusia akan
dirinya sendiri sebagai subyek yang harus mengambil keputusan dan bertindak.273
Namun gereja juga menyadari bahwa manusia sering menyimpang dari arah tugas dan
kewajibannya. Maka dalam hal ini gereja menekankan peran dan fungsi suara hati.
Suara hati berperan bukan hanya sebagai kontrol akan apa yang harus dilakukan oleh
manusia; atau hanya sebagai yang menilai sarana dan tujuan usaha manusia. Melainkan
juga sebagai pedoman dan daya penggerak tindakan mmanusia.274
5.3.2. Makna Kebebasan Di Tengah Situasi Yang Tidak Membebaskan
Dewasa ini sering pula terjadi keragu-raguan akan kebebasan. Hal itu muncul
terutama dari kondisi-kondisi yang sungguh-sungguh menekan kebebasan manusia.
Manusia mengharapkan kebahagiaan dan ketentraman dalam hidupnya. Namun yang
terjadi adalah peperangan, kemiskinan, pelanggaran hak-hak asasi manusia,
ketidakadilan hukum, penindasan, pemerkosaan, dan sebagainya. Tidak jarang kondisi
Vertikal?, dalam 2.2.3
272 Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi
Dan Referensi, Kanisius (Yogyakarta) dan Obor (Jakarta), 1996, hal:13
273 Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Op.Cit., hal:14
274 Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Op.Cit., hal:14
semacam itu akhirnya membuahkan pemikiran yang secara terus-terang meragukan
makna kebebasan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kebebasan harus
dimengerti dalam situasi semacam itu? Apa makna kebebasan dalam situasi semacam
itu? Di mana peran Tuhan yang diyakini sebagai Yang-Mahakuasa? Dalam hal ini Louis
Leahy memberikan pemikiran bahwa kebebasan manusia merupakan sesuatu yang
terbatas dan tidak sempurna. Kebebasan manusia adalah kebebasan yang ber-situasi.
Oleh karena itu adalah tugas semua orang untuk senantiasa memperjuangkan
kebebasan dalam hidupnya.
Gereja juga mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan dunia dan segala isinya
karena kebaikan-Nya dan untuk membagikan kebahagiaan-Nya sendiri.275 Konsep
ajaran semacam ini bagi banyak orang memang sulit sekali didamaikan dan dipahami
terutama dalam kaitannya dengan penderitaan yang ada di dunia ini. Di sini manusia
individual ditantang dalam iman. Bagaimana manusia dalam situasi yang menderita
tetap dapat mengakui kebaikan Tuhan dengan sikap bebasnya. Iman Kristen yang
hendak mengikuti jejak Kristus mengajak setiap manusia untuk terus berusaha
menerima hidup sebagai anugerah dari Tuhan. Penderitaan tidak perlu diterangkan,
namun harus dihadapi. Salib Kristus berarti bahwa Tuhan sendiri ikut menghadapi
kemalangan dunia dan kejahatan manusia. Iman mencari dasar kekuatannya dalam
solidaritas Allah dengan manusia. Sebab kemalangan dan penderitaan adalah beban
yang tidak dapat dimengerti, namun harus dihadapi. Dengan siapa? Yaitu bersama
dengan Kristus. Memanggul salib bersama dengan Kristus merupakan sikap dan
tindakan beriman.276
275 Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Op.Cit., hal:156
276 Bdk. John Powell, SJ, Visi Kristiani: Kebenaran Yang Memerdekakan
Kita, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal:176
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku-Buku Dan Artikel-Artikel Utama
* Buku-Buku Utama
Leahy, Louis, Manusia Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk
Paradoksal, Gramedia, Jakarta, 1984
--------, Aliran-Aliran Besar Ateisme: Tinjauan Kritis, Yayasan Kanisius
(Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1992
--------, Esai Filsafat Untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi
Berdasarkan Data Empiris Baru, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991
--------, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung
Mulia (Jakarta), 1993
--------, Manusia Di Hadapan Allah 1: Masalah Ketuhanan Dewasa Ini, Yayasan
Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1984
--------, Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos Manusia Dan Allah, Yayasan
Kanisius (Yogyakarta) dan BPK Gunung Mulia (Jakarta), 1986
--------, Sains Dan Agama Dalam Konteks Zaman Ini, Kanisius, Yogyakarta, 1997
*Artikel-Artikel Utama
--------, Perihal Makna Hidup, dalam: Banawiratna, J.B., SJ., dkk., Zaman
teknologi Menantang Pewartaan Iman, (Orientasi No.3), Kanisius,
Yogyakarta, 1989
--------, Manusi Dan Usahanya Mencari Makna, dalam ?Basis?, Nopember, Tahun
XXXVI, No.11, 1987
--------, Iman Kristiani Dan Paham Freud, dalam ?Basis?, Oktober, Tahun
XXXVIII, No.10, 1989
II. Buku-Buku Dan Artikel-Artikel Pendukung
*Buku-Buku Pendukung
Abdullah, Taufik dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim Dan Pengantar Sosiologi
Moralitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1965
Adisusilo, Sutarjo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Yayasan
Kanisius, Yogyakarta, 1983
Asy?arie, Musa, Drs., (ed), Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial: Sebuah
Bungan Rampai Filsafat, Sinar Harapan, Jakarta, 1986
Baal, J. Van, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga
Dekade 1970), jilid 2, PT. Gramedia, Jakarta, 1988
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Bakker, J.W.M., SJ, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Yayasan Kanisius
(Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1984
Banawiratna, J.B., SJ., dkk., Zaman Teknologi Menantang Pewartaan Iman,
(Orientasi No.3), Kanisius, Yogyakarta, 1989
Berofsky, Bernard, Freedom From Necessity: The Methaphysical Basis Of
Responsibility, Routledge and Kegan Paul, New York, 1987
Bertens, K., Filsafat Abad XX, Gramedia, Jakarta, 1985
--------, Panorama Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 1985
--------, Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1995
--------, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1997
--------, SigmundFreud: Memperkenalkan Psikoanalisa, Gramedia, Jakarta, 1984
Bourke, Vernon J., History Of Ethics: Grace-Roman To Early Modern Ethics,
Vol.1, A Division of Doubleday and Company, Inc., Garden City, New York,
1968
Cassirer, Ernst, Manusia Dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia,
Gramedia, Jakarta, 1987
Craib, Ian, Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai Habermas, CV.
Rajawali, Jakarta, 1986
Dahler, Franz, Asal Dan Tudjuan Manusia (Teori Evolusi), Kanisius, Yogyakarta,
1971
Darmanto, JT dan Sudharto PH, (penyunting), Mencari Konsep Manusia
Indonesia: Sebuah Bungan Rampai, Erlangga, Jakarta, 1986
Davis, Kingsley, Human Society, The Macmillan Company, New York, 1969
Devos, H., DR., Pengantar Etika, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1987
Dister, Nico Syukur, DR, OFM, Filsafat Agama Kristen: Mempertanggungjawabkan
Iman Akan Wahyu Allah Dalam Yesus Kristus, Yayasan
Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1985
--------, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta, 1993
Dirdjosisworo, Soedjono, DR., S.H., Asas-Asas Sosiologi, Armico, Bandung, 1985
Drijarkara, N., Prof. DR., SJ., Filsafat Manusia, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1969
--------, Driyarkara Tentang Kebudayaan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1988
Edward, Paul (ed), The Encyclopedia Of Philosophy, Vol.3, Macmillan Pub. Co. Inc
and The Free Press, 1967
Encyclopedia Americana, Vol.12, Americana Corporation, New York, 1975
Encyclopedia International, Vol.5, Grolier Incorporated, New York, Montreal, 1963
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.3, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Vol.4, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1989
Frankena, William F., Ethics, second edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs,
New Jersey, 1973
Gerungan, W.A., DR., Dipl.Psych., Psikologi Sosial, PT. Eresco, Bandung, 1991
Greertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1992
Grisez, German, dan Russell Shaw, Beyond The New Morality:The Responsibility
Of Freedom, University Of Notre Dame Press, London, 1974
Grolier Universal Encyclopedia, Vol.3, Grolier Incorporated, New York, Montreal,
1965
Hadi, P. Hardono, DR., Jati Diri Manusia: Berdasarkan Filsafat Organisme
Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1996
Hadiwijono, Harun, Dr., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Hall, Calvin S., dan Gardner Lindzey, Theories Of Personality, third editions, John
Wiley & Sons, Inc., Canada, 1978
Halverson, William H., A Concise Introduction To Philosophy (third edition), New
York, 1976
Hamersma, Harry, Filsafat Eksistensi: Karl Jaspers, Gramedia, Jakarta, 1985
--------, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1981
Harriman, Philip L., Modern Psychology, Litlefield, Adam and Co, Iowa, 1958
Harris, Thomas A., MD., Saya Oke-Kamu Oke, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1987
Harrisin-Barbet, Antony, Mastering Philosophy, The Macmillan Press Ltd., London,
1990
Hasker, William, Metaphysics: Constructing A World View, Downers Grove,
Illionis: Intervarsity Press, 1983
Hinde, R.A., Biological Bases Of Human Social Behaviour, McGraw-Hill Book
Company, New York, 1974
Hospers, John, An Introduction To Philosophical Analysis, second edition, Prentice-
Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1967
Huby, P., Greek Ethics, St. Martin?s Press, Inc., New York, 1967
Huchison, John A., Living Options In World Philosophy, The University Press Of
Hawaii And The Risearch Corporation Of The University Of Hawaii,
Honolulu, 1977
Huijbers, Theo, DR., Mencari Allah: Pengantar Ke Dalam Filsafat Ketuhanan,
Kanisius, Yogyakarta, 1992
--------, Manusia Merenungkan Dunianya, Kanisius, Yogyakarta, 1986
Hutchins, Robert Maynard, (ed) Charles Darwin: The Origin Of Species,
Encyclopaedia Britanica, Inc., Chicago, 1990
--------, The Major Works Of Sigmund Freud: Great Book Of The Western
World, Ensyclopaedia Britannica, Inc., Chicago, 1990
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Jilid 1, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992
Koentjaraningkrat, Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta, 1982
--------, Pengantar Antropologi, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1974
Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi Dan Referensi,
Kanisius (Yogyakarta) dan Obor (Jakarta), 1996
Kopp, Joseph v., Teilhard de Chardin: Sintese Baru Tentang Evolusi, Yayasan
Kanisius, Yogyakarta, 1971
Langeveld, M.J., Dr., Menuju Kepemikiran Filsafat, P.T. Pembangunan, Jakarta,
Tanpa tahun penerbitan
Leenhouwers, P., Manusia Dalam Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang
Manusia, Gramedia, Jakarta, 1988
Levin, Michael E., Metaphysics And The Mindbody Problem, Qlorendom Press,
Oxford, 1979
Lonergan, Bernard J.F., Insight, Darton Longman and Todd, London, 1958
Lopes, Antonio Maher, Konsep Manusia Menurut Jean Paul Sartre, STFT Widya
Sasana, Malang, 1991
Mackie, J.L., Ethics: Inventing Rights And Wrong, Pinguin Group, London, 1990
Mannheim, Karl, Sosiologi Sistematis: Suatu Pengantar Studi Tentang
Masyarakat, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987
Magill, Frank N., Suvey Of Social Science: Psychology, Vol.3, Salem Press, Inc,
United States Of America, 1993
Magnis-Suseno, Franz, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,
Kanisius, Yogyakarta, 1993
--------, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999
--------, Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989
--------, Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius,
Yogyakarta, 1985
--------, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19, Kanisius,
Yogyakarta, 1992
Mangunhardjana, A., Isme-Isme dari A Sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997
Mayer, Frederick, A History Of Modern Philosophy, American Book Company,
United States Of America, 1951
Messner, Johaness, Social Ethics: The Natural Law In The Western World, B.
Herder Book, Inc., St. Louis and London, 1965
Metz, Rudolf, DR., A Hundred Years Of British Philosophy, The Macmillan
Company, New York, 1950
Miller Ed. L., Questions That Matter: An Invitation To Philosophy, second edition,
McGraw-Hill, Inc., United States Of America, 1987
Mohan, Robert Paul, Philosophy Of History: An Introduction, The Bruce
Publishing Company, United States Of America, 1970
More, Joseph M. de, Christian Philosophy, Vera-Reyes, Inc., Philippines, 1980
Morris, Leon, Teologi Perjanjian Baru, Gandum Mas, Malang, 1996
Muhni, Djuretna A. Imam, Moral Dan Religi: Menurut Emile Durkheim Dan
Henri Bergson, Kanisius, Yogyakarta, 1994
Mustopo, M. Habib, Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia Dan
Budaya, Usaha nasional, Surabaya, 1989
Nasution, Harun, Dr., Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1979
Peursen, C.A. van, Orientasi Di Alam Filsafat, PT. Gramedia, Jakarta, 1980
--------, Tubuh Jiwa Roh: Sebuah Pengantar Dalam Filsafat Manusia, BPK
Gunung Mulia, Jakarta Pusat, 1983
Pinanggiyo, St., Tanggung Jawab Dan Kebebasan Manusia Dalam Perspektif
Islam-Kristen, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1994
Poedjawiyatna, Prof. Ir., Etika: Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta, 1996
--------, Manusia Dengan Alamnya: Filsafat Manusia, Bina Aksara, Jakarta, 1981
Poespowardojo, Soerjanto, dan K. Bertens, Sekitar Manusia: Bunga Rampai
Tentang Filsafat Manusia, Gramedia, Jakarta, 1978
Ponticelli, Silvano, CM, Sejarah Filsafat Renaisan, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi
Widya Sasana, Malang, 1996
Powell, John SJ, Visi Kristiani: Kebenaran Yang Memerdekakan Kita, Kanisius,
Yogyakarta, 1997
Putra, Nusa, Pemikiran Soedjatmoko Tentang Kebebasan, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1994
Rasjidi, H.M., Prof. DR., Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1978
Ronie, Manusia Dan Tujuan Hidup: Menurut Teologi Pembebasan, Sekolah
Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang, 1993
Runes, Dagobert D., and 72 Authoroties, Dictionary Of Philosophy: Ancient-
Medieval-Modern, Litlefield, Adams and Co., United States Of America,
1959
Runtu, Julius, Rasa Berontak Terhadap Kejahatan Sebagai Titik Tolak Suatu
Jalan Menuju Pengakuan Eksistensi Allah: Solusi Leahy Atas Masalah
Kejahatan, STFT Widya Sasana, Malang, 1993
Sanadji, Kasmiran Wuryo, Prof. Dr, MA, Filsafat Manusia, Erlangga, Jakarta, 1985
Soekanto, Soerjono, Prof. DR., S.H., M.A., dan Ratih Lestarini, S.H.,
Fungsionalisme Dan Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar
Grafika, Jakarta, 1988
Sokolowski, Robert, Moral Action: A Phenomenological Study, Indiana University
Press, Blommington, 1985
Solomon, Robert C. dan Drs. R. Andre Karo-Karo, Etika: Suatu pengantar,
Erlangga, Jakarta, 1987
Sudarminta, J., DR., Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred
North Whitehead, Kanisius, Yogyakarta, 1991
Supratiknya, A., Dr., Teori-Teori Sifat Dan Behavioristik, Kanisius, Yogyakarta,
1993
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, Rajawali Pers, Jakarta, 1990
Susanto, Laurentius Heru, Filsafat Kebebasan Albert Camus, STFT Widya Sasana,
Malang, 1991
Sutrisno, F.X. Mudji, dan F. Budi Hardiman (ed), Para Filsuf Penentu Gerak
Jaman, Kanisius, Yogyakarta, 1992
Taylor, Richard, Metaphysics, (third edition), Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs,
United States of America, 1983
The Catholic Encyclopedia For School and Home, Vol.3, St. Joseph?s Seminary
and College, Philiphines, 1965
Titus, Harold H., Living Issues In Philosophy: An Introductory Texbook, third
edition, American Book Company, New York, 1959
Weij, P.A. van der, DR., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta,
1988
Widjaja, A.W., Drs., Manusia Indonesia: Individu keluarga Dan Masyarakat,
Akademika Pressindo, Jakarta, 1986
Worsley, Peter, dkk, Intoducing Sociology, Penguin Book Ltd., England, 1970
Veeger, K.J., Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-
Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1993
Verhaar, John W. M., SJ, Identitas Manusia: Menurut Psikologi Dan Psikiatri
Abad Ke-20, Kanisius (Yogyakarta) dan Gunung Mulia (Jakarta), 1989
Zeller, Eduard, Outlines Of The History Of Greek Philosophy, thirteenth edition,
Meridian Book, New York, 1957
Zubair, Achmad Charris, Drs., Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta, 1990
* Artikel-Artikel Pendukung
Bertens, K., M.S.C., Perhatian Filsafati Atas Psikoanalisa, dalam ?Orientasi:
Pustaka Filsafat Dan Teologi?, Th.2, No.1, 1970
Daeng, Hans J., Adaptasi Dan Integrasi Nilai Budaya Tradisional-Modern, dalam
?Basis?, Maret, Tahun XLII, No.3, 1993
Gilbert, Christopher, Freedom And Enslavement: Descartes On Passion And The
Will, dalam ?History Of Philosophy Quarterly?, Vol.15, No.2, April, 1998
Glannon, Walter, Responsibility And The principle Of Posible Action, dalam ?The
Journal Of Philosophy?, Vol.XCII, No.5, Mei, 1995
Iswarahadi, Y.I., Kebebasan Sebagai Segi Filosofis Dalam Pendidikan, dalam ?
Basis?, Juni, Tahun XXXVII, No.6, 1988
King, Peter, Towards A Theory Of The General Will, dalam ?Hostory Of
Philosophy Quarterly?, Vol.4, No.1, Januari, 1987
Maarif, Ahmad Syafi, Kebebasan Dan Keniscayaan, dalam ?Basis?, Oktober,
Tahun XXXVII, No.10, 1988
Piedade, Joao Inocencio, Problematika Manusia Dalam Antrolopogi Filsafat,
dalam ?Basis?, Nopember, Tahun XXXV, No.11, 1986
Ripstein, Arthur, The General Will, dalam ?History Of Philosophy Quarterly?, Vol.9,
No.1, Januari, 1992
Sutrisno, Mudji, F.X., Nilai Manusia, dalam ?Basis? No.7, Tahun XXXVII, 1998
Slote, Michael, Selective Necessity And The Fee-Will Problem, dalam ?The Journal
Of Philosophy?, Vol.LXXIX, No.1, January, 1982